close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto (kiri, berkopiah) menghadiri perayaan HUT Golkar ke-60 di di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12). /Foto Instagram @Prabowo
icon caption
Presiden Prabowo Subianto (kiri, berkopiah) menghadiri perayaan HUT Golkar ke-60 di di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12). /Foto Instagram @Prabowo
Politik
Minggu, 15 Desember 2024 12:01

Jangan sampai pilkada kembali ke tangan DPRD

Pemilihan kepala daerah di tangan DPRD membuka celah korupsi, suap, dan praktik-praktik transaksional lainnya.
swipe

Presiden Prabowo Subianto melempar wacana klasik pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Menurut Prabowo, pemilihan langsung calon gubernur, bupati, dan wali kota tidak efektif dan menelan banyak biaya. 

"Negara-negara tetangga kita lebih efisien, Malaysia, Singapura, India. Sekali milih anggota DPRD. Sekali milih, ya sudah. DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Prabowo saat memberikan sambutan di perayaan ulang tahub Partai Golkar ke-60 di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12).

Ini bukan kali pertama wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD menyeruak. Pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), wacana serupa juga timbul tenggelam. Namun, tak pernah ada upaya serius dari DPR dan pemerintah untuk merealisasikan wacana tersebut.

Kali ini, wacana tersebut sepertinya serius dipertimbangkan pemerintah. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah akan mengkaji wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ia berdalih pilkada tidak harus dilakukan secara langsung.

"Pilkada, baik di UUD maupun di UU Pemilu, itu diksinya dipilih secara demokratis. Dipilih demokratis itu tidak semua pilkada langsung," kata Supratman kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12).

Parpol-parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) pun setali tiga uang. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan wacana itu bisa disikapi serius usai digulirkan Prabowo ke masyarakat luas. 

"Kalau ini, Presiden yang memulai mengangkat wacana ini. Kelihatannya akan lebih mudah untuk ditawarkan kepada seluruh parpol yang ada dan sekarang ini pun sudah pasti disambut dan diperbincangkan secara internal di masing-masing parpol," kata Saleh.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati tak sepakat pilkada dikembalikan ke DPRD. Menurut Neni, pilkada berbiaya mahal lantaran politik uang yang dilakukan elite politik dan partai politik.

"Kenapa pilkada langsung yang disalahkan? Reformasi bisa dilakukan dengan meminimalisir biaya, misal dengan pemasangan alat peraga kampanye yang membutuhkan biaya besar. Padahal, hari ini semua serba digital," kata Neni kepada Alinea.id, Jumat (13/12).

Pilkada oleh DPRD, kata Neni, belum tentu menurunkan biaya politik. Menurut Neni, pilkada oleh DPRD justru potensial membuka celah korupsi, suap, dan praktik-praktik transaksional di kalangan elite politik.

"Apalagi kalau pemilihan sangat tertutup dan menjadi ruang gelap di mana masyarakat tidak bisa ikut mengawasi. Opsi mengembalikan pilkada tidak langsung adalah kemunduran demokrasi, elite semakin takut dengan rakyat dan mengkhianati semangat reformasi. Ini hanya akan menguntungkan elite saja," kata Neni. 

Neni menduga usulan mengembalikan pilkada oleh DPRD muncul lantaran Prabowo kecewa calon KIM kalah di Pilgub DKI Jakarta. "Kalau dikembalikan lagi ke pilkada tidak langsung, rakyat menjadi tidak bisa memiliki wewenang apa pun," kata Neni. 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai wacana mengembalikan pilkada oleh DPRD sarat kepentingan politik. Publik, kata dia, harus mengawasi agar wacana itu tak direalisasikan.

"Jangan sampai keinginan seketika dari Presiden justru akan mengacaukan tatanan. Paling penting melihat apakah sistem pilkada itu berkorelasi langsung dengan biaya politik tinggi seperti yang selalu dikeluhkan? Di titik mana sesungguhnya tuntutan biaya politik itu muncul," kata Lucius kepada Alinea.id.

Lucius tak setuju dalih pilkada mahal yang dijadikan alasan utama menghapus pilkada langsung. Penghapusan pilkada langsung justru akan merenggut demokrasi lokal.

"Pilkada mahal itu nampak hanya keluhan manja politisi saja karena biaya politik yang mereka habiskan tak pernah diungkap secara transparan ke publik. Kalau merujuk data terkait dana kampanye, ya bervariasi angkanya dan tak semuanya bisa mengonfirmasi mahalnya biaya pilkada itu," kata Lucius.

Dia menilai wacana mengembalikan pilkada ditentukan DPRD cuma akal-akalan Prabowo dan elite politik pendukung Prabowo. Tujuannya supaya pilkada lebih menguntungkan parpol semata. Ia sepakat penghapusan pilkada langsung tak serta merta jadi jaminan pilkada bakal lebih efisien dari sisi anggaran.

"Sifat pragmatisme parpol itu tak akan hilang sekalipun pilkadanya diubah menjadi tidak langsung. Jadi, enggak otomatis mengubah sistem dari langsung ke tidak langsung akan menjadikan biaya pilkada menjadi lebih murah... Persoalan utama itu ada di partai politik itu sendiri,  bukan di sistem pilkadanya," kata Lucius. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz berpendapat pilkada oleh DPRD bakal mendegradasi otonomi daerah dan desentralisasi. Masyarakat kehilangan hak memilih kepala daerah sendiri lantaran para kandidat disaring dan ditentukan oleh elite-elite politik di DPRD.

"Daripada kita menghapus pilkada yang sudah berjalan dengan baik dan sebetulnya sudah jadi tradisi kita, seharusnya yang utama dibenahi adalah menata bagaimana efisiensi anggaran dalam penyelanggaraan pilkada, sekaligus menata kekurangan partai politik dan keuangan kampanye," ujar Kahfi kepada Alinea.id.

Ketimbang menghapus pilkada langsung, menurut Kahfi, akan lebih tepat jika pemerintah dan DPR fokus mengeliminasi politik uang yang masif dalam setiap kontestasi pemilu. Itu bisa dilakukan dengan membatasi pengeluaran dan penerimaan dana kampanye serta pemberlakuan sanksi yang tegas bagi para pelaku politik uang.

Cara lainnya ialah dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal dengan jeda waktu dua atau tiga tahun. Menurut Kahfi, keserentakan pemilu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan politik uang menjadi semakin masif dan tidak terkendali. 

"Pemilu nasional dan pemilu lokal dipisah akan memberi keringanan kepada keuangan partai politik. Jadi, pemilu tidak menguras keuangan partai politik karena parpol tidak harus mendistribusikan uang dalam satu tahun yang sama. Biaya pemilu keluarnya bisa didistribusikan dalam lima atau tiga tahun," kata Kahfi.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan