Usulan mengubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menjadi lembaga ad hoc alias lembaga sementara menyeruak dalam rapat dengar pendapat umum di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/10). Eksistensi KPU dan Bawaslu sebagai lembaga permanen dianggap tak lagi diperlukan lantaran pemilu sudah didesain digelar serentak.
Usulan itu mulanya diungkap Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Rendy NS Umboh. Menurut Rendy, KPU dan Bawaslu hanya bakal hanya efektif bekerja selama dua tahun, yakni jelang pemilu serentak dan pascapemilu.
"Setelah Pemilu Serentak 2024, KPU dan Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota, mau ngapain? Itu pertanyaan. Itu problem. Pertanyaannya, eksistensi KPU dan Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota, masihkah relevan permanen atau kembali ad hoc?” tanya Rendy.
Sebagaimana Pemilu 2024, Pemilu 2029 juga direncanakan digelar serentak. Artinya, Pilpres 2029, Pileg 2029 baik untuk tingkat DPR dan DPRD, serta pemilihan kepala daerah bakal dilaksanakan berbarengan atau didesain agar digelar dalam waktu yang berdekatan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Saleh Partaonan Daulay sepakat KPU dikembalikan jadi lembaga ad hoc. Setelah pemilu usai, menurut dia, KPU dan Bawaslu tak lagi punya pekerjaan yang relevan dengan tupoksinya sebagai penyelenggara pemilu.
"Ngapain kita ngehabisin uang negara. Kebanyakan untuk tahun ketiga sampai kelima, mereka itu hanya datang bimtek (bimbingan teknis) ke Jakarta. Enggak tahu juga kita apa yang dibimtekan itu,” kata politikus Partai Amanat Negara (PAN) tersebut.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal tak sepakat KPU diturunkan menjadi lembaga ad hoc. Ketimbang mempersoalkan eksistensi KPU, menurut dia, akan lebih baik jika pemerintah dan DPR menata ulang jadwal pemilu.
Haykal berkaca dari berantakannya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Ia berpendapat beban kerja KPU dan Bawaslu menumpuk lantaran pemilu nasional dan lokal digelar berbarengan.
"Oleh karena itu, kami lebih sepakat mengubah dan merekonstruksi ulang penataan jadwal itu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu 2 tahun," kata Haykal kepada Alinea.id, Sabtu (2/10).
Perludem, kata Haykal, menawarkan agar pemilu dilakukan dua gelombang. Pemilu nasional yang terdiri dari pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI diselenggarakan secara terpisah dengan pemilu lokal yang terdiri dari pilkada dan pileg DPRD.
"Ketika, misalnya, pemilu nasional dilaksanakan 2029, maka pemilu lokal akan dilaksanakan di tahun 2031. Menurut kami, penataan penjadwalan itu jauh lebih tepat dan jauh lebih baik untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia agar pelaksanaan pemilunya bisa lebih tertib dan lebih profesional dan lebih efisien," kata Haykal.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati berpandangan usulan KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc bisa dilakukan bila skema pemilu serentak pada 2024 masih diberlakukan pada 2029. Namun, KPU dan Bawaslu sebaiknya tetap harus dipertahankan sebagai lembaga permanen jika pemilu nasional dan lokal dipisah.
"Lalu, jika mau dijadikan ad hoc memang perlu dipikirkan seperti apa solusinya, termasuk juga bagaimana perawatan data KPU. Ini juga menjadi hal yang perlu dipikirkan bersama, termasuk juga berkaitan dengan pendidikan politik," kata Neni kepada Alinea.id, Sabtu (2/10).
Persoalan lainnya ialah terkait distribusi aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di Bawaslu dan KPU. Jika kedua lembaga itu jadi ad hoc, pemerintah dan DPR perlu merancang sistem untuk mengalokasikan para pegawainya ke institusi lain.
"Kalau dikembalikan lagi ke pemda, pemprov dan pemerintah pusat sistemnya seperti apa? Lalu, bagaimana kondisi pemeliharaan data karena akan ada risiko data pemilu ke pemilu yang tidak bisa terurus. Kecuali kalau memang tidak perlu ada komisioner, tetapi sekretariatnya masih tetap jalan," kata Neni.