Usul memperpanjang siklus pemilu hingga sepuluh tahun mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara perwakilan masyarakat sipil, pemerintah, dan DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, akhir Oktober lalu. Usul itu diutarakan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi NasDem Muslim Ayub di sela-sela RDP.
Menurut Muslim, siklus pemilu lima tahunan terlalu pendek. Dalam waktu lima tahun, caleg atau kepala daerah belum tentu bisa mengembalikan modal yang mereka keluarkan untuk berlaga pada kontestasi elektoral. Padahal, untuk maju jadi caleg DPR RI saja membutuhkan biaya di atas Rp20 miliar.
"Apa salahnya barangkali pemilu ini digelar sepuluh tahun sekali, ya kan? Karena untuk lima tahun ini, pimpinan, kita ini (sebentar lagi sudah) 2025. Tahun 2026 itu udah dekat. Tahun 2027 udah mulai pemilu lagi," kata Muslim.
Muslim menegaskan usul memperpanjang siklus pemilu itu berasal dari opini pribadi. Dalam RDP, ia tak berbicara atas nama NasDem. "Mohon maaf, rata-rata kita bukan sedikit menghabiskan uang. Minimal Rp20 miliar ke atas. Enggak ada yang Rp10 miliar," imbuhnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Darori Wonodipuro setali tiga uang. Darori berkelakar bahwa anggota DPR yang hadir dalam RDP saat itu termenung dan memikirkan cara untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk maju nyaleg. "Termasuk sayalah itu," kata dia.
Untuk memperkuat argumennya, Darori mengklaim fakta sebanyak 78% masyarakat memilih karena dipengaruhi politik uang. Peraturan KPU, kata dia, juga membuka peluang praktik itu dilakukan meski dalam jumlah terbatas. "Ini tolong dipikirkan rekomendasinya apa," kata dia.
Selain siklus pemilu, RDP membahas desain keserentakan pemilu, ambang batas parlemen dan presiden, hingga kelembagaan penyelenggara pemilu. Perwakilan LSM yang hadir meminta agar DPR kembali merevisi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu supaya tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai usulan memperpanjang siklus pemilu hingga 10 tahun demi balik model merupakan bentuk sesat pikir dari anggota DPR. Pemilu per lima tahun sekali, kata dia, yang paling ideal untuk memastikan fungsi check and balances berjalan.
"Jadi sebaiknya tidak diutak-atik, tapi kita perlu paket revisi UU terkait politik seperti UU Parpol maupun UU Pemilu agar sesuai tantangan zaman. Sementara usul ini hanya akan menunjukkan kerusakan demokrasi,” ujar Kaka kepada Alinea.id, Selasa (19/11).
Kaka menyayangkan usulan semacam itu justru keluar dari mulut anggota DPR. Jabatan sebagai wakil rakyat di Senayan, kata dia, semestinya tak dipersepsikan sebagai profesi untuk mencari duit. Usul semacam itu juga seolah membenarkan politik uang di kalangan masyarakat jelang pemilu.
“Ini alasan tidak adanya kemandirian partai, termasuk anggaran partai itu bukan anggaran pemilu. Itu anggaran eksternal. Ini politik uang yang justru menjadi poin demokrasi rusak. Kalau diteruskan, apa saja yang berubah? Ya, menyuruh demokrasi tidur atau mati suri karena tidak ada kontrol terhadap pemerintahan dengan DPR,” tuturnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menilai usulan memperpanjang siklus pemilu melanggar konstitusi. Ia juga menyebut anggota DPR salah kaprah jika memandang perpanjangan siklus pemilu adalah solusi bagi biaya politik yang mahal.
“Politik uang itu yang seharusnya dievaluasi. Jadi, bukan karena biaya mahal jadinya pemilu dimundurkan jadi 10 tahun sekali. Itu artinya ada kecenderungan kelompok-kelompok yang mendukung wacana ini ingin menyiapkan amunisi saja. Jadi, mengamini politik uang," kata Haykal kepada Alinea.id, Selasa (19/11).
Untuk meningkatkan kualitas penyelenggara pemilu, Haykal berpendapat perlu ada pemisahan pemilu nasional dan daerah. Ia tak setuju jika KPU dan Bawaslu dikembalikan jadi lembaga ad hoc lantaran pemilu diselenggarakan serentak.
Pemilu nasional, terdiri dari pemilu presiden, anggota DPR, dan DPRD digelar pada tahun yang sama. Adapun pemilu kepala daerah dan DPRD dilaksanakan 2,5 tahun setelah dari pemilu nasional.
“Oleh karena itu, kami sepakat perubahan jadwal keserentakan itu menjadi dua kelompok yaitu pemilu nasional dan lokal dengan jarak 2,5 tahun sekali,” kata dia.