close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembunuhan berantai. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi pembunuhan berantai. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Minggu, 05 Februari 2023 06:18

Jejak berdarah Sumiarsih dari Gang Dolly

Pembunuhan terhadap keluarga Letkol (Marinir) Purwanto yang dilakukan Sumiarsih cs, jadi salah satu pembunuhan berantai terheboh.
swipe

Tak ada sejengkal pun ruang bagi Sumiarsih untuk lari, menghadapi regu tembak Brimob di sebuah lapangan kawasan Surabaya, Jawa Timur, Sabtu dini hari, 19 Juli 2008. Sejumlah pemberitaan menyebut, kepala perempuan berusia 60 tahun tersebut ditutup kain hitam dan dalam posisi duduk, menanti peluru dimuntahkan dari senapan para penembak jitu.

Dengan cepat, peluru tajam eksekutor menembus jantungnya. Seketika pula, nyawanya melayang. Saat itu, Sumiarsih divonis hukuman mati, akibat perbuatan keji yang dilakukannya 20 tahun sebelumnya.

Berawal dari bisnis esek-esek

Kisah berawal dari perantauan. Demi memperbaiki kehidupan keluarganya di Jombang, Jawa Timur, Sumiarsih muda hijrah ke Jakarta awal 1970. Mulanya, ia bekerja di sebuah warung. Lalu, diajak seseorang mencari peruntungan di sebuah kelab malam kawasan Ancol, Jakarta Utara.

Di kelab malam itu, ia mengawali karier sebagai pelayan. Kemudian, naik menjadi hostes—perempuan yang menerima, menjamu, dan menghibur tamu. Kecantikannya membuat ia cepat dikenal tamu-tamu dari kalangan pejabat, pengusaha, dan militer. Ia lalu pindah-pindah kelab malam di Jakarta dan akhirnya memutuskan menjadi wanita panggilan kelas atas.

Singkat cerita, menurut jurnalis Ita Siti Nasyi’ah di buku Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati (2008), setelah menikah dengan duda asal Malang, Jawa Timur, Djais Adi Prayitno—akrab disapa Prayit—Sumiarsih membuka rumah bordil wisma Happy Home di kawasan prostitusi terbesar Asia Tenggara, Gang Dolly, Surabaya, pada awal 1975.

Kecantikan pekerja seks komersial (PSK) di Happy Home, membuat rumah bordil itu laris. Happy Home, tulis Ita, kerap dikunjungi kalangan militer. Salah satunya Letnan Kolonel (Marinir) Purwanto yang saat itu punya jabatan mentereng sebagai Kepala Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) di Pangkalan Angkatan Laut Ujung, Surabaya.

Ruang-ruang tahanan di salah satu penjara yang dihuni Sumiarsih./Foto repro buku Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati (2008) karya Ita Siti Nasyi’ah

Hubungan Sumiarsih dan Purwanto semakin dekat. Kehadiran Purwanto yang jadi pelanggan setia, dianggap sebagai pelindung usaha esek-eseknya. Purwanto pun tertarik bekerja sama dengan Sumiarsih. Pada 1980 bisnis patungan rumah bordil Sumber Rejeki didirikan. Sumiarsih dijadikan sebagai pengelolanya. Saat itu, ia pun jadi muncikari dua rumah bordil.

“Untuk mengepakkan sayapnya, Sumiarsih berinovasi. Dua wismanya diambah fasilitas mini bar dan musik dangdut live. Langkah ini adalah gebrakan pertama di Dolly,” tulis Ita.

Mengelola Sumber Rejeki, Sumiarsih diwajibkan menyetor Rp20 juta setiap bulan kepada Purwanto. Jika lewat batas waktu penyetoran tiap awal bulan, Sumiarsih harus menyertakan bunga 10%. Dari tahun ke tahun setoran tambah naik, hingga mencapai Rp30 juta.

Meski begitu, bisnis rumah bordil itu tak selalu moncer. Ada kalanya tamu sepi. Misalnya, selama seminggu usaha Sumiarsih sepi kala ada operasi Polres Surabaya Selatan dalam menanggapi laporan penculikan anak di bawah umur, yang dijual ke salah satu rumah bordil di Gang Dolly. Belum lagi bulan Ramadan, yang membuat lokalisasi Dolly jadi senyap.

Namun, terhadap segala kesulitan itu, Purwanto tak mau tahu. Ia tetap menagih uang setoran dan bunga. Menurut Ita, yang menerbitkan buku itu kurang lebih seminggu setelah Sumiarsih dieksekusi mati, perlakuan Purwanto juga membuat sang muncikari menyimpan dendam.

Sumiarsih mengaku pernah diludahi, disiram minuman, bahkan ditendang sepatu lars hingga pendarahan. Suaminya, Prayit pernah dipopor senjata. Anaknya, Sugeng sempat dimasukkan ke penjara markas Marinir karena mengirim uang setoran terlambat.

Purwanto, yang sudah beristri dan memiliki tiga anak juga tertarik dengan kecantikan anak Sumiarsih, yakni Wati. Untuk mengamankan Wati dari Purwanto, Sumiarsih menikahkan anaknya itu dengan Serda Polisi Adi Saputro pada akhir 1986. Meski sudah bersuami, hasrat Purwanto kepada Wati tak padam. Ia justru menginginkan Wati ditukar menggantikan utang usaha rumah bordil.

Latar belakang jeratan utang dan dendam kesumat itulah yang menyebabkan logika Sumiarsih hilang. Ia merencanakan pembunuhan terhadap Purwanto pada 12 Agustus 1988. Melibatkan suaminya Prayit, anak Prayit dari istri terdahulu Nanok, pegawainya Daim, serta menantunya Adi Saputro. Keesokan harinya, mereka datang ke rumah Purwanto, berbekal alu besi.

Celakanya, tak cuma Purwanto yang dihabisi dengan alu besi itu. Sebelum membunuh sasaran utama, berturut-turut mereka menghabisi anak remaja Purwanto, Haryo Bismoko; kerabat Purwanto, Sumariyatun; istri Purwanto, Sunarsih; dan anak Purwanto yang masih SD, Haryo Budi Prasetyo. Kasus ini menjadi salah satu serial killer terheboh dalam sejarah Indonesia.

Penantian panjang menanti ajal

Para terdakwa pembunuhan keluarga Letkol (Marinir) Purwanto, yakni Prayit, Sugeng, dan Sumiarsih mendengarkan pembacaan vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur pada 1989./Foto repro Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati (2008) karya Ita Siti Nasyi’ah

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya pada Februari 1989, Sumiarsih dan Prayit divonis hukuman mati karena perbuatannya. Sementara Daim dan Nanok seumur hidup. Adi, tulis Ita, yang saat kejadian menjabat Wakapolsek Kesemben, Jombang disidang di Mahkamah Militer III-12 Surabaya. Ia pun divonis hukuman mati.

Di antara terdakwa yang divonis mati, Adi menghadap Sang Pencipta lebih cepat. Ia dieksekusi pada 2 Desember 1992 lewat tengah malam. Belum sempat dieksekusi, Prayit justru lebih dahulu meninggal dunia karena serangan jantung di penjara Porong, Surabaya pada 2001.

Sementara itu, Sumiarsih menjalani hari-hari senyapnya di beberapa penjara. Ita menyebut, ia berpindah-pindah bui: lima tahun di penjara Kalisosok, Surabaya, lima tahun di Porong, Surabaya, dan sisa hidupnya di penjara Sukun, Malang. Kompas, 21 Agustus 1995 menyebut, Sumiarsih juga pernah ditahan di penjara wanita Kebonsari, Malang.

“Upaya hukum lanjutan berupa banding, kasasi, dan grasi yang dilakukan para terpidana selalu kandas,” ujar penulis Hermawan Aksan dalam Jejak Pembunuh Berantai: Kasus-kasus Pembunuhan Berantai di Indonesia dan Dunia (2008).

Saat ditahan di Blok II Nomor 4, penjara Kebonsari, Malang, Sumiarsih tertekan. Ia dilarang bertemu siapa pun, termasuk pembantu dekatnya yang dipercaya mengurus rumah bordil di Dolly. Ia hanya diizinkan bertemu kerabat, anak, dan sipir. Karena perlakuan itu, ia tak mau keluar dari selnya selama beberapa waktu.

“Dua hari terakhir ini, dia menangis mengeluhkan nasibnya. Raut mukanya pun selalu kelihatan muram, tak seperti biasanya,” kata seorang narasumber kepada Kompas, 21 Agustus 1995.

“Tak jelas mengapa larangan itu diterapkan. Sumiarsih juga tak diizinkan mengikuti acara yang berlangsung di ruang pertemuan LP (lembaga pemasyarakatan) wanita.”

Larangan itu, diduga kuat karena permohonan grasinya kepada Presiden Soeharto ditolak. Selama dua tahun menghuni penjara Kebonsari, menurut Kompas, Sumiarsih mengisi hari-harinya dengan membuat syal, boneka dari benang, bertanam kacang tanah, serta bunga mawar.

“Di akhir masa hidupnya, ia ingin memenuhi selnya dengan bunga mawar,” tulis Kompas.

Namun, hari-hari menanti ajal masih teramat panjang. Sumiarsih harus menjalani hidup di bui beberapa tahun lagi, sebelum benar-benar menghadapi malaikat pencabut nyawa.

Awal Juli 2008, berita eksekusi mati santer terdengar ke telinganya. Dilaporkan Kompas, 4 Juli 2008, Sumiarsih memberi jilbab merah muda kepada Kepala LP Wanita Kelas II A Sukun, Entin Martini berupa sebagai kenang-kenangan sebelum dieksekusi. Karena tertekan, ia sempat menulis surat untuk para wartawan, tak mau ditemui lantaran ingin menenangkan diri.

“Sempat mendapat kunjungan dari Kepala Divisi Hukum dan Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM Jawa Timur T Darmono, Sumiarsih berkeinginan bisa mati secara wajar dan tak dengan jalan dieksekusi,” tulis Kompas.

Hermawan menulis, banyak orang tak habis pikir mengapa proses pelaksanaan hukuman mati bagi Sumiarsih sangat lama. Dua puluh tahun menghabiskan waktu di penjara merupakan penantian yang amat panjang.

“Ada yang mengatakan bahwa Sumiarsih dan Sugeng menjalani dua hukuman, yaitu penjara 20 tahun dan hukuman mati,” kata Hermawan.

Sastrawan Goenawan Mohamad juga menyayangkan, Sumiarsih tetap dieksekusi mati, meski sudah bertobat dan meminta maaf kepada keluarga korban. Permintaan maafnya pun sudah diterima.

Infografik pembunuh berantai. Alinea.id/Firgie Saputra

“Dan ini yang penting, ‘mahapenting’, Sumiarsih sudah membayar kesalahannya selama 20 tahun di penjara dengan tulus, tanpa kejumawaan,” tulis Goenawan dalam esainya berjudul “Eksekusi” dimuat di Koran Tempo, 20 Juli 2008, yang diterbitkan ulang di buku Catatan Pinggir (2008).

“Jika pengampunan itu ujungnya mati, bukankah penjara 20 tahun dan eksekusi mati berarti hukuman ganda?”

Sugeng dieksekusi mati di waktu dan tempat yang sama dengan Sumiarsih, 19 Juli 2008 lepas tengah malam. Kasus Sumiarsih adalah anomali. Sebab, Hermawan menyebut, kebanyakan korban pembunuhan berantai adalah perempuan. Akan tetapi, dalam kasus Sumiarsih, justru perempuan pelaku utamanya.

Menurut Hermawan, para pembunuh berantai secara khusus didorong oleh berbagai alasan psikologis, terutama tekanan kekuasaan dan seksual. Mereka umumnya memiliki kekurangan dan ketidakberhargaan, kadang-kadang mengalami penghinaan, perundungan, dan pelecehan pada masa kecil, serta tekanan kemiskinan dan status ekonomi yang rendah.

“Dalam banyak kasus, para pembunuh berantai melakukan kejahatan untuk mengkompensasi faktor-faktor tersebut, memberikan rasa memiliki potensi, dan sering melakukan balas dendam dengan memberi mereka sebuah perasaan berkuasa, baik pada waktu melakukan pembunuhan maupun sesudahnya,” tulis Hermawan.

Kepada Ita, di hari-hari menjelang penghabisan hidupnya, Sumiarsih tetap berharap ia mati dengan wajar, tak dieksekusi.

“Maafkan perbuatan saya. Kalau eksekusi itu memang satu-satunya jalan sebagai pintu maaf, saya terima. Saya pasrah. Saya capek. Saya ingin tidur dalam keabadian…” kata Sumiarsih kepada Ita.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan