Polisi berhasil mengungkap kasus penculikan dan pembunuhan seorang bocah berinisial APH, 5 tahun, yang jasadnya ditemukan di Pantai Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (19/9). Korban sendiri merupakan warga Kota Cilegon, Banten.
Lima tersangka, yakni RH, SA, EM, UH, dan YH sudah ditangkap. APH ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dengan wajah dilakban. Di sekujur tubuh korban juga ditemuka luka lebam bekas hantaman benda tumpul.
Tiga pelaku utama kenal dengan ibu korban.Polisi mengungkap, motif perbuatan keji itu adalah utang piutang, dendam, dan cemburu. Kapolres Cilegon, Kemas Indra Natanegara, seperti dikutip dari Antara mengatakan, pelaku SA dan RH diketahui menggunakan identitas ibu korban untuk pinjaman online Rp75 juta. Ibu korban tak terima karena identitasnya digunakan untuk pinjol. Akibatnya, ibu korban berselisih dengan SA dan RH.
Motif cemburu karena ada hubungan terlarang antara SA dan RH. SA cemburu terhadap ibu korban, yang sering dekat dengan RH. RH dan SA yang menjadi otak penculikan dan pembunuhan anak itu, memerintahkan EM untuk menjadi eksekutor dengan janji bayaran Rp50 juta. Sedangkan UH dan YH diminta membuang jenazah korban, dengan janji imbalan Rp100.000.
Sementara itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan menilai, kasus tersebut sangat memprihatinkan. “Karena rasa sakit hati bisa membuat orang gelap mata. Bahkan tidak bisa berpikir secara rasional,” kata Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu kepada Alinea.id, Senin (23/9).
Menurutnya, pelaku melampiaskan rasa sakit hati terhadap orang terdekat. Pelampiasannya pun bisa dikatakan sistematis karena sangat terencana. Sani menegaskan, perbuatan tersebut tidak manusiawi karena korban dinilai lebih lemah dari pelaku. Kondisi itu, menurut Sani, selain emosi juga karena pelaku tidak dapat menyalurkan rasa sakit hati yang diterima dengan cara yang sehat. Akibatnya, memunculkan kekejaman yang tak dapat dimaafkan.
“Kesadaran minta maaf pelaku kepada keluarga korban sudah tidak relevan lagi, mengingat luka batin yang tidak bisa terobati. Jadi, kalapun minta maaf, (hal itu) tidak bisa mengembalikan kesedihan keluarga korban,” ujar Sani.
Menanggapi kasus ini, dosen kriminologi Universitas Indonesia (UI) Mamik Sri Supatmi mengatakan, sakit hati yang ekstrem atau sangat parah dapat dilampiaskan dengan melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap orang yang dianggap telah menyakitinya. Tak sedikit sasarannya seseorang yang dinilai sangat bermakna bagi orang yang telah menimbulkan sakit hati.
“(Tujuannya) agar merasakan sakit yang sama atau lebih menderita. Paling banter (pelaku) melakukan perundungan,” ujar Mamik, Rabu (25/9).
Tindakan dari para pelaku pembunuhan bocah lima tahun asal Cilegon itu, menurut Mamik, memenuhi unsur pembunuhan berencana. Meski levelnya sangat sederhana, tidak seperti pembunuhan berencana yang dilakukan pembunuh profesional, mafia, aparat negara, atau penguasa.
“Perlu diungkap yang sebenar-benarnya fakta di balik pembunuhan anak tersebut,” kata dia.
Di sisi lain, Mamik mengingatkan, selain penting untuk melakukan analisis individual atau pemeriksaan psikologis kepada para tersangka, perlu pula analisis sosial dan struktural untuk mendapatkan fakta di balik peristiwa tersebut.
“Dalam pandangan saya, kejahatan tidak semata-mata adanya niat jahat karena mendendam, tapi lebih sebagai produk dari situasi struktural pelaku, kesulitan hidup pelaku, konteks sosio-struktural yang menghimpit, dan minimnya daya dukung kehidupan,” tutur Mamik.
“Tidak ada alasan pembenar bagi kekerasan terhadap anak, tapi bersikap adil adalah kewajiban kita dan aparat penegak hukum. Adil bagi korban dan pelaku.”