Saatnya menyetop cawe-cawe Prabowo cs di pentas pemilu
Dukungan terbuka dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto turut mempengaruhi hasil akhir pilkada di berbagai daerah. Sejumlah kandidat dianggap sukses memenangi pilkada karena berkah suntikan elektoral dari Jokowi dan Prabowo. Apalagi, dukungan kedua tokoh itu diumbar secara vulgar.
Di Pilgub Jawa Tengah (Jateng), misalnya. Jokowi didapuk sebagai juru kampanye dan turun langsung mempromosikan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin (Luthfi-Yasin) di berbagai kota. Luthfi dikenal dekat dengan Jokowi saat masih menjabat sebagai Kapolres Surakarta.
Adapun Prabowo terang-terangan meng-endorse Lutfhi-Yasin dalam sebuah video yang viral jelang pencloblosan. Dalam pernyataannya di video itu, Prabowo secara terbuka mengajak masyarakat Jateng mencoblos Luthfi-Yasin.
Video dukungan Prabowo terhadap Luthfi-Yasin itu sempat dipersoalkan ke Bawaslu. Elite-elite politik Gerindra berdalih Prabowo mendukung Luthfi-Yasin karena kapasitasnya sebagai Ketua Umum Gerindra, salah satu parpol pengusung pasangan tersebut. Segendang-sepenarian, Bawaslu menyatakan Prabowo tak melanggar aturan.
Selain di Pilgub Jateng, Jokowi dan Prabowo juga cawe-cawe di Pilgub DKI Jakarta. Di ibu kota, keduanya secara terbuka mendeklarasikan dukungan terhadap Ridwan Kamil (RK)-Suswono. Jokowi bahkan hadir langsung untuk berkampanye bersama pasangan itu di DKI.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menilai perlu ada aturan tegas untuk memastikan netralitas kepala negara di pentas pilkada. Selama ini, regulasi yang ada tidak kuat mencegah presiden untuk tidak cawe-cawe.
Pada Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Pemilu, presiden diberikan hak melaksanakan kampanye. Namun, presiden diharuskan mengambil cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye.
"Sementara Pasal 71 Ayat (1) dan Pasal 188 UU Pilkada, yang melarang pejabat negara membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon," kata Wisnubroto kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Wisnubroto tidak sependapat dengan dalih Prabowo mendukung Luthfi-Yasin karena kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Menurut dia, Prabowo harus berdiri di atas semua partai politik dan bersikap netral setelah dilantik sebagai presiden.
"Sebagai Presiden RI, maka Prabowo bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan negara secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia, Karena presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara, maka seyogianya independensi dan netralitas presiden dalam pemilu harus dijaga," kata Wisnubroto.
Wisnubroto berpendapat kehadiran Prabowo dalam kampanye kandidat yang berlaga dalam pilkada berpotensi menimbulkan komplikasi hukum karena ada dampak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Itu bisa dianggap melanggar Undang-Undang 28 Tahun 1999 yang terang-benderang melarang penyelenggaran negara melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
"Menurut saya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 perlu diperbaiki dengan penegasan bahwa pada intinya memberi kesempatan kepada presiden sebagai petahana yang maju dalam pemilu sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk periode kedua (bukan untuk mendukung salah satu paslon)," kata Wisnubroto.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto berpendapat Prabowo bisa cawe-cawe di pilkada serentak 2024 lantaran ada celah pada UU Pemilu dan UU Pilkada. Menurut dia, perlu ada revisi pada pasal-pasal yang mengatur keterlibatan penyelenggara negara dalam pemilu di kedua UU tersebut.
"Tapi, ternyata pada Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 hal ini (cawe-cawe presiden) bukan hal mustahil. Oleh karena itu, perlu diatur ketentuan pasal itu, bahwa yang tidak boleh (mengampanyekan kandidat) salah satunya presiden," kata Agus kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Skenario lain yang bisa ditempuh adalah perlu dibuat undang- undang mengenai lembaga kepresidenan yang mengatur hak dan kewajiban presiden. Ditetapkan pula larangan-larangan kepada presiden di ranah kompetisi elektoral yang tujuannya membentengi netralitas presiden pada pemilu dan pilkada.
"Jadi, di Indonesia itu lembaga satu- satunya yang tidak punya aturan itu lembaga presiden. Lembaga MPR/DPR, DPD, BPK, MA, MK, semua punya, sementara yang enggak ada itu lembaga presiden. Padahal, kalau kita baca di konstitusi amandemen Undang-Undang Dasar 1945, tentu presiden itu termasuk lembaga," kata Agus.
Dalam undang-undang kepresidenan, menurut Agus, semestinya ditegaskan bila presiden tidak diperkenankan mendukung, berkampanye, atau melakukan mobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan calon tertentu meskipun berstatus sedang cuti.
"Presiden itu personifikasi kekuasaan. Nah, itu sebabnya kita perlu punya lembaga khusus atau undang undang yang mengatur kepresidenan. Jadi, pengalaman pemilu 2024 dan pilkada kemarin itu harusnya menjadi pelajaran penting bagi elite politik untuk melakukan revisi secara lebih komprehensif untuk membentengi netralitas presiden," kata Agus.
Menurut Agus, praktik cawe-cawe kepala negara di pemilu harus disetop. Ia menyebut cawe-cawe yang dijalankan Prabowo bahkan bisa dikategorikan favouritism of corruption. Salah satu bentuk jenis korupsi itu ialah ketika ada pihak yang mendapatkan perlakuan lebih baik dari yang lain dari penguasa.
"Itu korupsi sebenarnya. Namun, kejahatan ini belum menjadi perhatian lembaga antikorupsi kita. Tindak pemberantasan korupsi kita masih fokus pada bentuk materi, bukan pengaruh. Apalagi seperti sekarang ada pejabat negara yang jelas- jelas meminta orang untuk mendukung dan memilih (kandidat yang ia jagokan). Itu termasuk dari favouritism of corruption," jelas Agus.
Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama berpandangan cawe- cawe presiden dalam pilkada telah merusak pondasi otonomi daerah. Pasalnya, pemilihan calon kepala daerah digelar sarat dengan intervensi dari presiden atau kekuasaan.
"Apalagi jika narasi yang dibangun itu pemerintah daerah akan berjalan baik jika kepala daerah dan presiden berasal dari partai atau koalisi yang sama. Jika terjadi, narasi seperti itu menjadi pertanda adanya kondisi tidak bermoral," kata Suwardi kepada Alinea.id.
Suwardi memaparkan dua skenario untuk membentengi netralitas presiden. Pertama, memasukan pengaturan terkait presiden dan wakil presiden terpilih untuk mundur sebagai ketua partai dalam UU Pemilu.
"Kedua, membuat aturan untuk kepala pemerintahan secara berjenjang dari presiden, gubernur dan bupati/walikota terpilih untuk mundur dari ketua partai. Netralitas harus dimulai dari kepala, baru di bawahnya mengikuti," kata Suwardi.
Jika memungkinkan, lanjut Suwardi, syarat menjadi calon presiden mesti ditambah, yakni bukan berasal dari kalangan ketua partai politik. "Dan selama menjabat presiden terpilih, tidak dibolehkan menjadi ketua partai," imbuh dia.