close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla. /Foto dok. Virtue Dragon
icon caption
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla. /Foto dok. Virtue Dragon
Politik
Senin, 16 Desember 2024 12:04

Untuk apa JK dan Agung Laksono berebut PMI?

Ada duit di PMI?
swipe

Konflik di tubuh Palang Merah Indonesia (PMI) kian meruncing setelah kubu Agung Laksono menggelar musyawarah nasional (munas) tandingan untuk memilih Ketua Umum PMI yang baru. Dalam munas itu, Agung terpilih jadi ketum. Walhasil, saat ini ada dua kepengurusan PMI. 

"Kami akan melaporkan kepada Kemenkumham dan kami akan uraikan secara kronologis dari waktu ke waktu. Yang kami lakukan sudah sesuai dengan usulan AD/ART pada forum tertinggi (munas) PMI," kata Agung seperti dikutip dari Antara, Senin (9/12). 

Sehari sebelumnya, PMI telah menggelar munas dan kembali menetapkan Jusuf Kalla sebagai Ketum PMI yang baru. Mantan Wapres era Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu sudah 15 tahun jadi Ketum PMI. 

Dalam munas tersebut, nama Agung juga muncul sebagai salah satu kandidat. Namun, Agung gagal mengamankan dukungan dari minimal 20% pemilik suara. Di lain sisi, dukungan untuk JK mencapai lebih dari 50%. Sesuai aturan, calon yang mendapat dukungan mayoritas dipilih secara aklamasi. 

Menghadapi upaya pendongkelan, JK tak tinggal diam. JK mengaku sudah melaporkan Agung ke polisi. "Bahwa tindakan ilegal dan melawan umum karena tidak boleh begitu," kata JK kepada wartawan di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (9/12).

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan Kementerian Hukum perlu turun tangan untuk menyelesaikan persoalan dualisme kepengurusan di tubuh PMI. 

“Dualisme PMI versi JK dan Agung Laksono ini saling klaim siapa yang paling legitimate, sah, dan absah. Namun, yang paling menentukan adalah SK Kemenkumham,” ujar Adi kepada Alinea.id, Jumat (13/12).

Perebutan kursi ketua PMI, kata Adi, mengundang tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Pasalnya, PMI bukanlah organisasi politis. Selama ini, PMI dikenal sebagai organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan.  

“Secara politik, (PMI) ini tidak penting. Justru publik bertanya-tanya kenapa sampai ada dualisme di PMI. Padahal, ini bukan lembaga strategis secara politik,” ujar Adi.

Peneliti bidang politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati punya pendapat berbeda. Menurut dia, justru posisi PMI sebagai organisasi kemanusiaan yang memberikan bobot politik yang signifikan bagi siapa pun tokoh yang menguasainya. 

“PMI adalah organisasi terdepan dalam situasi darurat, baik terkait bencana, kesehatan, maupun penyelamatan nyawa melalui transfusi darah. Besarnya tugas dan kewajiban PMI yang langsung berhubungan dengan masyarakat membuat posisinya strategis secara politik,” kata Wasisto kepada Alinea.id, Jumat (13/12).

Sebagai organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan, PMI punya jejaring yang luas. PMI hadir di lebih 30 provinsi dan 500 kabupaten/ kota. Pada 2019, jumlah relawan PMI bahkan diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. 

PMI juga punya dana yang tak terbatas. Disebutkan pada Pasal 30 (01) UU Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan, "pendanaan PMI dapat diperoleh dari donasi masyarakat yang tidak mengikat dan sumber dana lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Itulah kenapa, kata Wasisto, posisi Ketum PMI diperebutkan. “PMI bukan hanya organisasi kemanusiaan, tetapi juga memiliki daya tarik politik,” jelas dia. 

Selain dari donasi, PMI juga disokong pemerintah pusat dan daerah lewat APBN dan APBD. Dari pengelolaan darah, PMI juga dapat duit. Untuk darah biasa, misalnya, biaya pengganti pengelolaan darah (BPPD) yang dipatok PMI mencapai Rp490 ribu per kantong. Untuk darah plasma konvalesen, BPPD-nya mencapai Rp2,25 juta.
 

 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan