close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 19 Agustus 2019 18:52

Memperbaiki sistem proporsional terbuka

Realitasnya kemudian adalah pilihan pada sistem daftar terbuka tak benar-benar nirmasalah.
swipe

Inistiatif untuk menerapkan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (open list proportional representation systems) gencar dimunculkan menjelang Pemilu 2009. Para pengusungnya saat itu, termasuk pihak pemerintah saat mengajukan RUU Pemilu pada 2007, menyatakan, sistem pemilu yang tidak menghargai dukungan suara konstituen mesti diperbaiki.

Salah satu argumentasinya, pilihan pada daftar calon terbuka diyakini akan membuat para calon terpacu berkompetisi secara sehat dan pada ujungnya kompetisi yang terbuka antarcalon akan meningkatkan partisipasi pemilih. 

Perdebatan panjang saat pembahasan RUU kemudian menghasilkan rumusan bahwa calon terpilih dari sebuah partai politik peraih kursi DPR ditentukan apabila calon meraih minimal 30% bilangan pembagi pemilih (BPP). Klausul itu kemudian dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian MK yang saat itu diketuai Mahfud MD melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008 menyatakan, ketentuan dalam UU tersebut inkonstitusional dan karenanya penetapan calon terpilih harus didasarkan pada perolehan suara terbanyak calon dari partai yang meraih kursi di sebuah daerah pemilihan.

Jadilah, sejak Pemilu 2009 berlaku sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Artinya, pemilih bisa memilih langsung para calon anggota legislatif, bukan sekadar tanda gambar parpol peserta pemilu. Kala itu, kemenangan pengusung usul penerapan daftar terbuka disambut gempita seolah-olah sebagai kemenangan suara rakyat sebenar-benarnya.

Tak nihil masalah

Hal itu berbeda dengan sistem Pemilu 2004 yang kerap disebut dengan sistem daftar terbuka “setengah hati”. Ketentuan Pasal 107 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, nama calon yang mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Namun apabila calon yang ada tidak memenuhi BPP, penetapan calon terpilih didasarkan pada nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan. 

Realitasnya kemudian adalah pilihan pada sistem daftar terbuka tak benar-benar nirmasalah. Salah satu yang mencolok dipaparkan oleh Ward Berenschot dalam tulisan berjudul “Menggagas Perbaikan Sistem Pemilu” yang dimuat di Kompas, 17 Juli 2019. Berenschot mengungkap peningkatan biaya kampanye yang telah mencapai tingkatan serius yang memengaruhi kualitas pemerintah dan demokrasi. Salah satu penyebab kondisi itu adalah pemilihan sistem proporsional daftar terbuka.

Perlu ditambahkan, persoalan seperti itu merupakan problem klasik dari penerapan sistem proporsional daftar terbuka di negara-negara yang baru berdemokrasi. Sementara hal tersebut relatif bukan masalah di negara-negara demokrasi yang sudah mapan seperti Belanda, Swiss, ataupun Finlandia (lihat juga Faller, Glynn, Ichino: 2013). 

Persoalan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru muncul belakangan. Pengalaman empiris di sejumlah negara demokrasi yang “belum matang” juga sudah kerap diutarakan, bahkan sejak 2007 ketika RUU Pemilu mulai dibahas. Brasil adalah contoh yang kerap disebut untuk menunjukkan “kegagalan” penerapan daftar calon terbuka, di mana partai politik tidak melembaga, imbas persaingan internal dan para calon yang lebih mementingkan dirinya sendiri demi upaya terpilih kembali pada pemilu mendatang. Ketika pendanaan lebih banyak disokong oleh pribadi calon sendiri, penyakit pun merambat pada perilaku sebagai legislator. 

Hal seperti itu menunjukkan kelemahan sistemik pilihan daftar calon dalam pemilu–tentunya di luar faktor “kultural” seperti mentalitas pemilih yang masih sulit menolak (atau bahkan mendambakan?) iming-iming uang saat harus menentukan pilihan. Benar bahwa pilihan pada sistem daftar calon terbuka ataupun daftar calon tetap (kerap disebut juga sebagai daftar calon tertutup) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pilihan pada salah satu di antaranya keduanya pastilah menghasilkan persoalan-bawaan. Perdebatan tidak akan pernah selesai karena setiap pilihan tentu memiliki argumentasi yang kukuh mengenai pilihannya. Kelebihan pada satu sistem menjadi kelemahan di pihak lain, demikian sebaliknya.

Mencari varian baru

Sistem daftar calon tertutup cenderung bermanfaat untuk memperkuat kelembagaan partai politik. Hal itu sebenarnya bisa membawa kabar baik untuk mematangkan demokrasi internal di tubuh partai politik, namun pilihan sistem daftar calon tertutup kadung tidak populer di Indonesia.

Karenanya dengan asumsi bahwa praktik berpemilu terkait dengan soal pembiasaan sehingga membutuhkan keajegan, besar kemungkinan sistem proporsional daftar calon terbuka masih akan dipertahankan pada pemilu-pemilu mendatang. Karenanya mau tidak mau memang harus dicari varian baru untuk memininalisir dampak negatif sistem proporsional daftar terbuka yang telah terbukti dalam tiga pemilu terakhir.

Pertama adalah meramu penetapan calon terpilih dengan tetap memberikan sedikit kekuasaan pada partai politik. Dalam hal suara pemilih lebih banyak memilih (tanda gambar) parpol ketimbang para calon, kewenangan untuk menentukan calon terpilih merupakan privilege parpol bersangkutan. Varian ini mungkin saja mirip ketentuan pada Pemilu 2004 dan karenanya kemungkinan besar bakal dimintakan pengujian ke MK. Sekalipun MK pada 2008 sudah memutus soal penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan tidak mungkin ketentuan tersebut tetap dinilai konstitusional.

Dinamika yang terjadi pada pemilu belakangan bisa disorongkan untuk berargumentasi. Presedennya pun ada, yakni perbedaan putusan MK terkait publikasi hasil survei dan hitung cepat antara putusan menjelang Pemilu 2019 dengan putusan saat Pemilu 2009 maupun 2014.  

Berikutnya, yang sangat standar dan normatif sebagai imbas pengeluaran untuk kampanye yang ‘ugal-ugalan’ oleh para calon, perlu pengaturan lebih ketat mengenai dana kampanye. Pembatasan bukan hanya pada sisi pengeluaran, tetapi juga memastikan setiap pemasukan terlaporkan dengan baik serta berasal dari sumber yang sah dan tidak melampaui batasan.

Instrumen negara dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait dana kampanye harus diperkuat dan atas setiap pelanggaran mesti diganjar sanksi tegas. Salah satu contoh bagus dari Pemilu 2019 adalah pengenaan sanksi pembatalan keikutsertaan sebelas parpol di kabupaten/kota dan provinsi gegara alpa menyampaikan Laporan Awal Dana Kampanye (LAPK) sebagaimana yang ditentukan.

Alternatif ketiga adalah dengan merombak besaran daerah pemilihan (district magnitude). Dalam sistem proporsional daftar terbuka, daerah pemilihan berkursi banyak cenderung berdampak pada praktik politik uang dan korupsi yang lebih besar ketimbang daerah pemilihan kecil (lihat Chang dan Golden: 2005).

Dengan daerah pemilihan berkursi banyak, sampai 10 kursi DPR per daerah pemilihan misalnya, setiap caleg merasa lebih berpeluang ketimbang di dapil kecil. Alhasil para calon bakal lebih berani “berinvestasi” dengan jor-joran mengeluarkan ongkos politik dengan berbagai cara. Persaingan antar caleg satu parpol lebih sengit ketimbang dapil berkursi sedikit, membuat pelembagaan parpol menjadi lemah –sebagaimana pengalaman pemilu legislatif dalam sistem presidensialisme Brasil (Cheibub, Sin: 2014).  

Keempat, alternatif yang bisa dijajaki jika pembentukan daerah pemilihan masih seperti saat Pemilu 2019, adalah dengan menentukan jumlah kursi tergantung pada hasil pileg. Caranya adalah lewat model penghitungannya akumulatif di tingkat provinsi terlebih dahulu dan kemudian barulah diturunkan dari provinsi ke tingkat dapil. Dengan demikian, setiap calon pada awalnya dituntut untuk memaksimalkan upaya mendulang suara bagi parpolnya terlebih dulu, bahu-membahu dengan caleg separtainya. Dampak positif lainnya adalah terjaganya proporsionalitas alokasi kursi dalam satu provinsi. 

Merujuk hasil penetapan KPU per 21 Mei 2019, terlihat betapa mencoloknya perbedaan “nilai” kursi DPR antar-dapil di sebuah provinsi. Misalnya saja dapil Jawa Timur XI yang tergolong “mahal” karena 2.761.872 suara parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) harus bersaing untuk 8 kursi DPR. Bandingkan dengan dapil Jawa Timur VIII dengan 2.133.973 suara sah dari parpol yang lolos PT yang bakal memperebutkan 10 kursi, harga kursinya menjadi jauh lebih “murah”. Ketidakseimbangan tersebut amat mungkin terjadi pada provinsi-provinsi lain yang besaran dapilnya variatif.

Pada akhirnya, perumusan setiap kebijakan tentulah membutuhkan imajinasi tentang apa yang hendak dituju dan apa yang mungkin terjadi. Setiap pilihan mengemban konsekuensi, baik yang teridentifikasi maupun yang luput dibayangkan. Tanpa adanya koherensi pemikiran dan imajinasi, niscaya perulangan perdebatan dan persoalan akan kembali terjadi. Energi pembahasan UU Pemilu akan kembali tersedot pada hal-hal yang tidak perlu, buah keteledoran “kepala yang gatal, kaki yang digaruk”.

img
Sidik Pramono
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan