close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Didin Nasirudin
icon caption
Didin Nasirudin
Kolom
Selasa, 28 April 2020 14:49

Kepresidenan Trump: Dari black swan ke black swan

Trump akan memiliki peluang lebih besar jika Pilpres 2020 kembali menjadi seperti Pilpres 2016 yakni menjadi ajang untuk memilih Trump.
swipe

Beberapa hari setelah Donald Trump memenangkan Pilpres AS 2016, salah satu majalah digital politik terkemuka di AS, Politico Magazine, menurunkan headline berbunyi “The Black Swan President” dengan penekanan di subjudul “Donald Trump is the biggest unknown ever to take control of the White House.”

Keberhasilan Donald Trump menduduki kursi kepresidenan Presiden AS memang merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, Trump mencalonkan diri dengan bermodalkan elektabilitas 2% menurut data FiveThirtyEight.  Dia juga bukan ‘kader’ Partai Republik, bahkan sebelumnya terdaftar sebagai anggota Partai Demokrat. Sementara lawannya rata-rata politisi Republikan kawakan yang sudah sangat dikenal pemilih. Termasuk Jeb Bush, anggota klan Bush yang sangat populer di kalangan pemilih Republik.

Selain itu, Trump memiliki reputasi moralitas yang membuatnya tidak begitu diperhitungkan di partai yang dikenal dengan mayoritas pemilih konservatif. Trump menikah tiga kali. Dia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap atau perselingkuhan dengan 25 perempuan, termasuk bintang porno Stormy Daniels dan mantan model majalah Playboy Karen McDougal.

Poling-poling yang dirilis hingga minggu terakhir minggu terakhir menjelang pilpres juga menunjukkan Trump akan kalah oleh Hillary Clinton. Menurut RealClearPolitics Trump kalah -2.1% dari Clinton secara nasional. Data poling di Swing States (negara bagian yang bisa memenangkan capres Demokrat atau Republik di pilpres) yang dikumpulkan ABCNews dan RealClearPolitics mengindikasikan hal yang sama: Trump kalah -1% hingga -2% di Florida, kalah -4% hingga -5% di Pennsylvania, kalah -6% hingga -8% di Wisconsin, dan kalah -3.6% di Michigan.

Tetapi hasil pilpres pada 8 November 2016 menunjukan hasil yang sebaliknya. Meskipun hasil akhir poling nasional yang dilansir RealClearPolitics menunjukkan Trump memang kalah -2,1% (yang dimanifestasikan dengan kalah dalam jumlah popular votes sebesar hampir 3 juta lebih), tetapi Trump menang tipis di Florida dan tiga negara bagian yang sebelumnya dikenal sebagai Blue Wall karena dari pilpres ke pilpres selalu memenangkan capres Partai Demokrat yakni Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin. Trump menang +1,2% (47,8% vs 49%) di Florida. Dia menang tipis di Blue Wall States: +0,8% (47,8% vs 47,0%) di Wisconsin; +0,2% di Michigan (47,6% vs 47,4%); dan +0,7% (48,6% vs 47,9%) di Pennsylvania. 

Tidak mengherankan jika Livescience.com menyebut kemenangan Trump di Pilpres 2016 disebut sebagai salah satu dari The 6 Strangest Presidential Elections in US History. Di samping itu, melesetnya poling-poling terkemuka menjadi salah satu blunder poling terbesar dalam sejarah politik AS yang sampai hari ini menjadi pembahasan di banyak buku dan tesis akademik.

Trump terpilih karena faktor “black swan”

Aktivitas ilegal agen-agen Rusia di internet dan sosial media yang mengarahkan para pemilih AS untuk memilih Donald Trump kerap dituding sebagai biang kekalahan Hilary Clintron di Pilpres 2020. Tetapi analisis yang mendalam menunjukkan bahwa Trump diuntungkan oleh sejumlah ‘kebetulan’ yang juga menjadi faktor ‘black swan’ yang membuatnya terpilih secara mengejutkan. 

Pertama, hasil poling Gallup pada minggu terakhir menjelang Pilpres 2016 menunjukkan, Hillary Clinton memiliki tingkat dukungan publik (favorability rating) yang rendah yakni hanya 47% suka dan 52% tidak mendukung. Tingkat dukungan publik terhadap Donald Trump sebenarnya lebih rendah yakni hanya 36% suka dan 61% tidak mendukung. Jadi mayoritas pemilih secara rata-rata tidak menyukai keduanya. Tetapi menurut American Perspective Survey, Trump lebih diuntungkan karena mayoritas pemilih yang menyukai Trump selalu aktif memilih (64%) dibandingkan dengan tidak menyukanya (48%); juga dari semua pemilih yang tidak menyukai Trump, hanya 77% yang kemudian memilih Clinton.

Kedua, meski tingkat dukungan terhadap Trump lebih rendah dibanding Clinton, sebagai calon penantang di pilpres melawan calon partai petahana yang sudah berkuasa dua periode, Trump diuntungkan oleh sesuatu oleh pakar politik Emory University Alan Abramowitz disebut “time for change effect”. Artinya, ketika satu partai sudah menduduki Gedung Putih selama dua periode, pemilih akan cenderung berfikir sudah waktunya memberi kesempatan pada partai oposisi. 

Ketiga, pemerintahan Obama sebagai presiden kulit hitam yang kabinetnya juga didominasi oleh menteri-menteri kalangan minoritas dan perempuan. Hanya tujuh menteri dalam kabinet Obama yang merupakan pria kulit putih, sementara 14 menteri lainnya adalah tujuh orang menteri wanita dan tujuh orang menteri pria dari kalangan minoritas. Meski AS merupakan salah satu negara paling demokratis di dunia, isu rasial sangat laku digoreng di negara yang sampai 1960-an banyak warganya memandang kaum kulit hitam sebagai warga negara kelas dua.

Keempat, pada 28 Oktorber 2016 atau 11 hari sebelum pilpres 8 November 2016, Direktur FBI James Comey mengirim surat kepada Kongres AS yang mengumumkan akan membuka kembali penyidikan terhadap Clinton terkait penggunaan server pribadi dalam komunikasi email sebagai menteri luar negeri. Ini menjadi faktor yang peling berpengaruh terhadap kekalahan Clinton.

Kelima, persaingan sengit di primary antara Clinton sebagai calon establishment Partai Demokrat dengan calon progressive Bernie Sanders telah menimbulkan perpecahan di tingkat elit dan grassroot, sehingga muncul gerakan “Berni Or Bust” dan “NeverClinton.” Dampaknya, menurut sebuah survei yang dikutip The New York Times, 12% pendukung Sanders memilih Trump, 8% memilih calon partai-ketiga dan 3% memilih golput. 

Pergeseran dukungan berdasarkan afiliasi politik, rasial dan demografis terhadap Clinton dibandingkan Obama memang tidak signifikan, tetapi kemenangan Trump di tiga negara bagian kategori blue wall yang sebelumnya memenangkan Obama memang terbilang sangat tipis. 
 

Beberapa hari setelah Donald Trump memenangkan Pilpres AS 2016, salah satu majalah digital politik terkemuka di AS, Politico Magazine, menurunkan headline berbunyi “The Black Swan President” dengan penekanan di subjudul “Donald Trump is the biggest unknown ever to take control of the White House.”

Keberhasilan Donald Trump menduduki kursi kepresidenan Presiden AS memang merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, Trump mencalonkan diri dengan bermodalkan elektabilitas 2% menurut data FiveThirtyEight.  Dia juga bukan ‘kader’ Partai Republik, bahkan sebelumnya terdaftar sebagai anggota Partai Demokrat. Sementara lawannya rata-rata politisi Republikan kawakan yang sudah sangat dikenal pemilih. Termasuk Jeb Bush, anggota klan Bush yang sangat populer di kalangan pemilih Republik.

Selain itu, Trump memiliki reputasi moralitas yang membuatnya tidak begitu diperhitungkan di partai yang dikenal dengan mayoritas pemilih konservatif. Trump menikah tiga kali. Dia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap atau perselingkuhan dengan 25 perempuan, termasuk bintang porno Stormy Daniels dan mantan model majalah Playboy Karen McDougal.

Poling-poling yang dirilis hingga minggu terakhir minggu terakhir menjelang pilpres juga menunjukkan Trump akan kalah oleh Hillary Clinton. Menurut RealClearPolitics Trump kalah -2.1% dari Clinton secara nasional. Data poling di Swing States (negara bagian yang bisa memenangkan capres Demokrat atau Republik di pilpres) yang dikumpulkan ABCNews dan RealClearPolitics mengindikasikan hal yang sama: Trump kalah -1% hingga -2% di Florida, kalah -4% hingga -5% di Pennsylvania, kalah -6% hingga -8% di Wisconsin, dan kalah -3.6% di Michigan.

Tetapi hasil pilpres pada 8 November 2016 menunjukan hasil yang sebaliknya. Meskipun hasil akhir poling nasional yang dilansir RealClearPolitics menunjukkan Trump memang kalah -2,1% (yang dimanifestasikan dengan kalah dalam jumlah popular votes sebesar hampir 3 juta lebih), tetapi Trump menang tipis di Florida dan tiga negara bagian yang sebelumnya dikenal sebagai Blue Wall karena dari pilpres ke pilpres selalu memenangkan capres Partai Demokrat yakni Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin. Trump menang +1,2% (47,8% vs 49%) di Florida. Dia menang tipis di Blue Wall States: +0,8% (47,8% vs 47,0%) di Wisconsin; +0,2% di Michigan (47,6% vs 47,4%); dan +0,7% (48,6% vs 47,9%) di Pennsylvania. 

Tidak mengherankan jika Livescience.com menyebut kemenangan Trump di Pilpres 2016 disebut sebagai salah satu dari The 6 Strangest Presidential Elections in US History. Di samping itu, melesetnya poling-poling terkemuka menjadi salah satu blunder poling terbesar dalam sejarah politik AS yang sampai hari ini menjadi pembahasan di banyak buku dan tesis akademik.

Trump terpilih karena faktor “black swan”

Aktivitas ilegal agen-agen Rusia di internet dan sosial media yang mengarahkan para pemilih AS untuk memilih Donald Trump kerap dituding sebagai biang kekalahan Hilary Clintron di Pilpres 2020. Tetapi analisis yang mendalam menunjukkan bahwa Trump diuntungkan oleh sejumlah ‘kebetulan’ yang juga menjadi faktor ‘black swan’ yang membuatnya terpilih secara mengejutkan. 

Pertama, hasil poling Gallup pada minggu terakhir menjelang Pilpres 2016 menunjukkan, Hillary Clinton memiliki tingkat dukungan publik (favorability rating) yang rendah yakni hanya 47% suka dan 52% tidak mendukung. Tingkat dukungan publik terhadap Donald Trump sebenarnya lebih rendah yakni hanya 36% suka dan 61% tidak mendukung. Jadi mayoritas pemilih secara rata-rata tidak menyukai keduanya. Tetapi menurut American Perspective Survey, Trump lebih diuntungkan karena mayoritas pemilih yang menyukai Trump selalu aktif memilih (64%) dibandingkan dengan tidak menyukanya (48%); juga dari semua pemilih yang tidak menyukai Trump, hanya 77% yang kemudian memilih Clinton.

Kedua, meski tingkat dukungan terhadap Trump lebih rendah dibanding Clinton, sebagai calon penantang di pilpres melawan calon partai petahana yang sudah berkuasa dua periode, Trump diuntungkan oleh sesuatu oleh pakar politik Emory University Alan Abramowitz disebut “time for change effect”. Artinya, ketika satu partai sudah menduduki Gedung Putih selama dua periode, pemilih akan cenderung berfikir sudah waktunya memberi kesempatan pada partai oposisi. 

Ketiga, pemerintahan Obama sebagai presiden kulit hitam yang kabinetnya juga didominasi oleh menteri-menteri kalangan minoritas dan perempuan. Hanya tujuh menteri dalam kabinet Obama yang merupakan pria kulit putih, sementara 14 menteri lainnya adalah tujuh orang menteri wanita dan tujuh orang menteri pria dari kalangan minoritas. Meski AS merupakan salah satu negara paling demokratis di dunia, isu rasial sangat laku digoreng di negara yang sampai 1960-an banyak warganya memandang kaum kulit hitam sebagai warga negara kelas dua.

Keempat, pada 28 Oktorber 2016 atau 11 hari sebelum pilpres 8 November 2016, Direktur FBI James Comey mengirim surat kepada Kongres AS yang mengumumkan akan membuka kembali penyidikan terhadap Clinton terkait penggunaan server pribadi dalam komunikasi email sebagai menteri luar negeri. Ini menjadi faktor yang peling berpengaruh terhadap kekalahan Clinton.

Kelima, persaingan sengit di primary antara Clinton sebagai calon establishment Partai Demokrat dengan calon progressive Bernie Sanders telah menimbulkan perpecahan di tingkat elit dan grassroot, sehingga muncul gerakan “Berni Or Bust” dan “NeverClinton.” Dampaknya, menurut sebuah survei yang dikutip The New York Times, 12% pendukung Sanders memilih Trump, 8% memilih calon partai-ketiga dan 3% memilih golput. 

Pergeseran dukungan berdasarkan afiliasi politik, rasial dan demografis terhadap Clinton dibandingkan Obama memang tidak signifikan, tetapi kemenangan Trump di tiga negara bagian kategori blue wall yang sebelumnya memenangkan Obama memang terbilang sangat tipis. 
 

Trump diunggulan terpilih kembali di Pilpres 2020

Jika menjelang Pilpres 2016 Donald Trump sangat tidak diperhitungkan, maka memasuki tahun ke empat masa jabatannya Trump diprediksi akan menang mudah melawan capres Partai Demokrat manapun. 

Bagaimana tidak, meskipun job approval rating atau tingkat kepuasan pemilih terhadap seorang presiden, kinerja Trump selalu di bawah 50%, mayoritan di AS sangat mendukung kebijakan ekonominya yang diterapkan Trump. 

Kebijakan ekonomi Trump membuat ekonomi AS tumbuh antara 2% hingga 3%. Trump membuka lebih dari 8,5 juta lapangan pekerjaan dari Januari 2017 hingga Februari 2020. Bandingkan dengan Presiden Barack Obama yang dalam dua periode pemerintahannya (delapan tahun) hanya membuka 8,9 juta lapangan pekerjaan.  Angka pengangguran di AS hingga akhir 2019 hanya 3,5%, yang merupakan angka teredah dalam 50 tahun terakhir.

Angka inflasi di bawah Trump juga hampir mendekati nol. Index Dow Jones mencapai rekor angka tertinggi.
Data RealClearPolitics sepanjang pada akhir 2019 menunjukkan, 53,6% pemilih puas dengan kinerja Trump di bidang perekonomian dan 41% tidak puas. 

Tingkat kepuasan pemilih Republik terhadap kinerja Trump jauh lebih tinggi, mencapai 88,9% rata-rata sepanjang 2019. Bagaimana tidak, di bawah Trump Partai Republik sebagai partai berkuasa memegang kunci kekuatan-kekuatan politik dan yudisial terpenting: mayoritas suara di Senat (53% Republik vs 47% Demokrat) dan mayoritas di Mahkamah Agung (lima hakim agung konservatif vs empat hakim agung liberal), dengan dua hakim agung konservatif diangkat dalam pemerintahan Trump.

Yang tidak kalah penting, Partai Republik menguasai mayoritas kursi legislatif di tingkat negara bagian (58% Republik vs 38% Demokrat). Legislative kontrol sangat penting dalam menentukan batas wilayah suatu Daerah Pemilihan (Dapil) dan aturan main pemilu di tingkat negara bagian.

Trump sangat paham dengan kekuatan politik yang dimilikinya sehingga cenderung bertindak semaunya sendiri, sewenang-wenang atau bahkan otoriter. Kebijakan paling menghebohkan dan membuat blunder terbesar bagi Trump dan Partai Republik adalah tindakan ilegal Trump yang pada April 2019 menahan bantuan militer AS sebesar US$391 kepada pemerintah Ukraina yang membuatnya dimakzulkan (impeached) oleh DPR AS pada 18 Desembar 2019. Trump didakwa telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan menghalangi Kongres (obstruction of Congress) sehingga Trump menjadi Presiden AS ke-3 dalam 240 tahun yang mengalami pamakzulan. 

Tetapi seperti diprediksi banyak pihak, pemakzulan Trump di DPR tidak diikuti dengan pelengseran (removal) di Senat AS yang di kuasasi oleh Partai Republik. Pada 5 Februari 2020, Senat AS secara resmi membebaskan Trump dari dakwaan. 

Pemakzulan Trump oleh DPR AS memang sedikit mengubah peta politik menjelang pilpres November 2020. Poling-poling yang dikumpulkan oleh FiveThirtyEight hingga 13 Februari 2020, menunjukkan hampir separuh (49,7%) publik AS mendukung pemakzulan Trump dan 46,6% menolak. Di antara publik yang mendukung pemakzulan Trump, 12.4% di antaranya merupakan pemilih Partai Republik. 

Tetapi apakah pemakzulan Trump yang juga didukung oleh 12,4% pemilih Partai Republik membuat peluang Trump untuk terpilih kembali semakin menipis? Ternyata tidak. Data-data yang terkumpul hingga Februari 2020, menunjukkan Trump berpeluang besar untuk terpilih Kembali. 

Pertama, hasil poling Gallup pada awal Februari 2020 menunjukkan, tingkat dukungan pemilih Partai Republik terhadap Trump mencapai angka 94%, sama persis dengan dukungan yang diterimanya pada Pilpres 2016 berdasarkan data Exit Poll CNN

Kedua, data RealClearPolitics sepanjang Februari 2020 juga menunjukkan tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja Trump di bidang ekonomi masih tinggi: 53,3% pemilih puas dan dan 41,6% tidak puas. Artinya, margin tingkat kepuasan pemilih terhadap kebijakan ekonomi Trump yang masih mencapai+11,7%.

Ketiga, dalam politik AS juga dikenal istilah misery index yang kerap digunakan sebagai salah satu indikator penting akan terpilih kembali tidaknya seorang presiden petahana. Diformulasikan 50 tahun lalu oleh seorang ekonom bernama Arthur Okun, misery index mengukur persepsi masyarakat tentang kondisi ekonomi AS di lihat dari angka pengangguran+inflasi pada saat seorang presiden AS memerintah. 

Berdasarkan data marketwatch, angka misery index rata-rata AS sepanjang 50 tahun adalah 9,22%. Semakin kecil misery index seorang presiden petahana di bulan-bulan menjelang pemilihan ulang, semakin besar peluangnya untuk terpilih Kembali. 

Sebagai gambaran, misery index Jimmy Carter pada pilpres November 1980 di atas 20%, maka dia gagal terpilih kembali dan kalah telak dari Ronald Reagan. Demikian juga, pada Pilpes 1992 George HW Bush dengan misery index 10,45% gagal di pilpres periode kedua, dikalahkan Bill Cllinton pada pilpres November 1992. Barack Obama terpilh kembali pada pilpres November 2012 pada saat misery index mendekati 9% tetapi cenderung terus menurun. Pada Februari 2020, angka misery index ekonomi AS mencapai 5,83%. Ini merupakan angka yang sangat baik, setara dengan indeks pada saat Presiden Clinton terpilih kembali di pilpres November 1996.

Jadi dengan misery index ekonomi yang sangat rendah, marjiin kepuasan pemilih terhada kinerja ekonomi mencapai dua digit dan dukungan basis pendukung mencapai 94%, para analis politik memprediksi Trump akan terpilih kembali. 

Keempat, untuk terpilih kembali, tidak terlalu sulit sebenarnya bagi Trump. Dia hanya perlu mempertahankan swing states yang memenangkan Obama pada 2012 tetapi berbalik memilihnya pada 2016 yakni Ohio, Iowa dan Florida, ditambah Wisconsin yang sebelumnya bersama-sama Pennsylvania dan Michigan termasuk dalam kategori blue wall alias tembok pertahanan Partai Demokrat.  

Tren politik di Michigan dan Pennsylvania membuat kedua negara bagian ini kembali menjadi blue wall pada Pilpres 2020. Tetapi dengan memenangkan seluruh negara bagian red wall ditambah Ohio, Iowa, Florida dan Wisconsin, Trump akan meraih suara electoral 270 vs Biden 268. 

Dengan kemenangan suara elektoral yang terhitung mepet ini, menurut David Wasserman dari The Cook Political Report, Trump mungkin kalah lebih dari 5 juta dalam perolehan jumlah suara populer. Tetapi tidak masalah karena AS menganut sistem demokrasi tidak langsung.

Covid-19 sebagai ‘Black Swan’ di Pilpres 2020

Tetapi, modal dasar Trump untuk memerintah dua periode yang terkumpul hingga akhir Februari hancur berkeping-keping diterjang pandemi Covid-19.

Pertama, ketakutan meluasnya pendemi Covid-19 di AS dan bagian dunia lain yang akan sangat berdampak pada perekonomian global membuat indeks saham Dow Jones anjlok drastis pada minggu ke-4 Februari. Pada 28 Februari 2020, menurut CNBC, indeks Dow Jones anjlok sebesar 3500 poin yang berarti bursa saham AS kehilangan US$3,18 triliun.

Padahal saat itu, Covid-19 baru merengut nyawa seorang warga AS di Seattle, Washington. Sejak saat itu, situasi ekonomi AS terus memburuk. Indeks saham Dow Jones mencapai titik terendah (18.591,93) pada 20 Maret 2020, atau lebih rendah dari indeks pada awal pelantikan Trump sebagai presiden yang mencapai 23.417.68 pada 6 Januari 2017.

Kedua, anjloknya indeks bursa saham diikuti dengan gelombang PHK besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan AS. Menurut CNN, sejak 14 Maret hingga hari ini, lebih dari 26 juta warga AS melaporkan telah kehilangan pekerjaan. Ini merupakan angka penurunan mendadak terbesar sejak 1967. 

Menurut David Cay Johnston, mantan wartawan The New York Times yang sekarang menjadi Editor In-Chief DCReport, coronavirus membuat angka pengangguran di AS naik tajam menjadi 20% dan dia menjuluki Donald Trump sebagai Presiden No.1 dalam sejarah yang paling banyak menghasilkan pengangguran. 

Padahal, Trump sebelumnya kerap membanggakan dirinya sebagai “the greatest jobs president God ever created." Tetapi dengan tingkat pengangguran yang naik dari 3,5% pada akhir 2019 menjadi 20% saat ini, klaim Trump sebagai presiden pembuka lapangan kerja terbaik hilang ditelan badai PHK akibat Covid-19.

Keempat, pandemik Covid-19 ini menjadi anugerah buat Partai Demokrat, khususnya terkait pemilihan bakal calon presiden atau primary. Coronavirus membuat pertarungan 18 kandidat capres dengan cepat mengerucut menjadi dua kandidat terkuat saja yakni, Joe Biden dan Bernie Sanders.

Juga persaingan Biden-Sanders yang diperkirakan akan berlangsung sengit hingga menjelang konvensi pada Juli—yang kemudian diundur hingga Agustus—berakhir jauh lebih cepat. Bernie Sanders mundur dari pencalonan pada 8 April dan pada 14 April atau hanya selang satu minggu menyatakan dukungan terhadap Biden. 

Padahal, pada primary Partai Demokrat untuk Pilpres 2016, Sanders baru mundur dari pencalonan dan mendukung Clinton pada 12 Juli 2016 atau kurang dari dua minggu sebelum konvensi Partai Demokrat pada 25 Juli 2016.
Primary yang selesai lebih cepat berarti lebih banyak waktu untuk melakukan konsolidasi partai. Seperti diketahui Partai Demokrat terhitung partai yang ‘complicted’ karena merupakan koalisi pelangi dari banyak faksi dengan pandangan ideologi serta latar belakang rasial dan agama berbeda-beda. Sementara musuh bebuyutannya Partai Republik memiliki konstituen intinya relatif homogen, dengan mayoritas pemilih dari kalangan conservative white evangelical.

Kelima, dampak yang paling mengkhawatirkan dari Covid-19 bagi Trump dan Partai Republik adalah sikap dan kebijakan Trump terhadap pendemi itu sendiri. Ketika negara-negara lain sudah sibuk dengan membatasi mobilitas manusia dan menerapkan aturan social distancing yang ketat, Trump masih menganggap enteng Covid-19.

Priorities USA, Super PAC (Political Action Committee) pro-Demokrat terbesar merangkai sikap skeptis Trump dalam sebuah video iklan yang dipasang di berbagai media nasional AS utama dan juga di media-media utama di swing states

Dalam video tersebut Trump pada akhir Januari menyebut coronavirus sebagai ‘a new hoax’ yang dihembuskan Partai Demokrat. Ketika korban terinfeksi sudah mencapai belasan pada akhir Januari, Trump mengatakan ‘We have it totally under control.’  dan  “One day, it’s like a miracle, it will disappear.” Pada bagian selanjutnya dalam video tersebut ditunjukkan bahwa pada 20 Februari Trump juga berucap “When you have 15 people and within a couple of days it is going to be down to close to zero.” Padahal, jumlah korban coronavirus terus meningkat secara eksponensial dan bagian akhir video tersebut Trump mengatakan “No, I don’t take responsibility at all,” yang menurut video tersebut menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Trump tidak bisa dipercaya.

Dengan jumlah korban terinfeksi di AS hingga hari ini mencapai hampir 1 juta orang dan korban meninggal dunia mencapai lebih dari 56 ribu orang, secara politis Trump benar-benar dalam situasi sulit. Belum lagi pernyataan-pernyataan blunder yang diucapkannya dalam konferensi pers harian terkait coronavirus seperti menyarankan penggunaan chloroquine untuk mengobati serangan coronavirus dan ide menggunakan penyinaran sinar ultraviolet dan penyuntikkan desinfektan ke dalam tubuh untuk membunuh coronavirus.

Sikap dan kebijakan Covid-19 Trump yang sembrono membuat posisi Trump secara politis semakin terpuruk. Berdasarkan poling-poling yang dikumpulkan FiveThirtyEight, hanya 45,9% puas dengan kinerja Trump dalam penanganan Covid-19; 50,4% tidak puas. Dukungan pemilih terhadap Trump anjlok menjadi 43,3%, sedangkan 53,5% pemilih menyatakan tidak mendukung.

Trump juga kalah oleh Biden dalam poling nasional dan poling di negara bagian di sejumlah swing states terpenting. Menurut data RealClearPolitics, Trump kalah -5,9% oleh Biden di poling nasional, yakni 42,4% vs 48,3%. Di poling-poling negara bagian, Trump kalah oleh Biden -3,2% di Florida, -6,7% di Pennsylvania, -2,7% di Wisconsin, -4,4% di Arizona dan -5,5% di Michigan.

Tetapi harap diingat, Pilpres AS 2020 masih enam bulan lagi. Perdana Menteri Inggris Harold Wilson pernah mengungkapkan: “A week is a long time in politics.” Artinya  dalam satu minggu saja banyak hal bisa terjadi di dunia politik, apalagi enam bulan. Pilpres 2016 juga telah menjadi pelajaran kepada lembaga-lembaga poling AS bahwa poling-poling di minggu terakhir menjelang pilpres saja bisa meleset, terutama akibat faktor-faktor black swan seperti penyidikan Clinton oleh FBI kurang dari dua minggu menjelang pilpres yang menghasilkan daya rusak politik yang luar biasa.

Meski demikian, analis poling CNN Harry Enten meyakini, Pilpres 2020 berbeda dengan Pilpres 2016. Pada pilpres empat tahun lalu, yang bertarung adalah dua orang politisi yang sama-sama tidak disukai oleh mayoritas pemilih, sehingga pemilih dipaksa untuk memilih yang lebih baik diantara yang jelek. Pada pilpres kali ini, Trump akan menjadi capres yang tidak disukai mayoritas pemilih, sedangkan Biden menjadi rival yang disukai oleh mayoritas. 

Jadi Pilpres 2020 ini lebih merupakan referendum terhadap Trump sebagai calon petahana yang maju di tengah situasi ekonomi AS yang mengalami kontraksi, pengangguran mencapai angka tertinggi sejak Great Depression dan AS menjadi negara dengan jumlah korban terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Jadi kans Trump untuk terpilih kembali sangat berat.

Menurut Enten, Trump akan memiliki peluang lebih besar jika Pilpres 2020 kembali menjadi seperti Pilpres 2016 yakni menjadi ajang untuk memilih Trump atau Biden, bukan sebuah referendum untuk Trump. Atau who knows sang ‘angsa hitam’ akan datang kembali untuk memberi Trump berbagai keberuntungan seperti yang terjadi empat tahun lalu!

img
Didin Nasirudin
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan