close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Relawan memasang spanduk pasangan Luluk Hamidah-Lukmanul Khakim jelang pencoblosan Pilgub Jatim 2024, Oktober 2024. /Foto Instagram @lukmanology
icon caption
Relawan memasang spanduk pasangan Luluk Hamidah-Lukmanul Khakim jelang pencoblosan Pilgub Jatim 2024, Oktober 2024. /Foto Instagram @lukmanology
Politik
Sabtu, 02 November 2024 12:00

Ironi PKB: Penguasa DPRD, tapi hanya penggembira di Pilgub Jatim

Survei LSI Denny JA menemukan pasangan Luluk-Lukmanul hanya punya elektabilitas 1%.
swipe

Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Timur (Jatim) Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim (Luman) tenggelam di papan survei. Sigi berbagai lembaga menunjukkan elektabilitas pasangan yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu tak sampai mencapai 5% di Pilgub Jatim. 

Dalam sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis beberapa hari lalu, pasangan Luman hanya mengantongi elektabilitas sekitar 1%. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak (Khofifah-Emil) bertengger di puncak dengan raupan 65,8%, diekor pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Risma-Gus Hans) yang mengoleksi 24,5%. 

Serupa, hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan elektabilitas pasangan Luman hanya kisaran 2,2%. Khofifah-Emil yang didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus memperoleh 61,2%, sedangkan Risma-Gus Hans mengantongi 26%. 

Rendahnya elektabilitas pasangan Luman itu terkesan ironis. Pasalnya, PKB saat ini merupakan penguasan parlemen Jatim. Berbasis hasil Pileg 2024, partai besutan Muhaimin Iskandar itu meraih 4.517.228 suara atau setara 27 kursi DPRD Jatim dari total 120 kursi. 

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai elektabilitas pasangan Luman rendah lantaran Luluk sebagai tokoh sentral tergolong kurang dikenal di Jatim. Apalagi, pasangan Luman dideklarasikan di menit-menit akhir pendaftaran. 

"Pertarungan pilkada adalah magnet figur yang menjadi penentu. Meskipun memiliki mesin partai yang solid, kalau magnet figurnya kurang, maka akan sulit mendongkrak elektabilitas," kata Agung kepada Alinea.id, Kamis (31/10).

Luluk Nur Hamidah ialah politikus PKB yang pernah menjabat anggota DPR periode 2019-2024. Bukan dari Jatim, ia justru lolos ke Senayan dari dapil Jawa Tengah IV yang meliputi Kabupaten Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri. Di PKB, Luluk dipercaya Muhaimin sebagai salah satu Ketua DPP. 

Selain tak populer, Agung melihat mesin politik PKB juga tidak berjalan maksimal mendongkrak elektabilitas Luluk-Lukmanul. Pasalnya, PKB sudah menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). 

Di Jatim, parpol-parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mengusung Khofifah-Emil. Di Pilpres 2024, KIM beranggotakan Golkar, Gerindra, Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan sejumlah parpol nonparlemen. 

"Selain itu, Luluk-Lukmanul tidak memiliki diferensiasi yang menjadi pembeda dengan pasangan Khofifah-Emil dan Tri Rismaharini-KH Zahrul Azhar. Besar kemungkinan suara pemilih PKB lari ke Khofifah-Emil," kata Agung. 

Menurut Agung, pasangan Luman tak jelas mengusung perubahan atau keberlanjutan. Posisi yang serba salah itu membuat mereka mati gaya dalam merebut hati pemilih. Gaya kampanye keduanya cenderung konvensional.  

"Posisi Luluk-Lukmanul ini mirip Ganjar-Mahfud pada saat Pilpres 2024, serba dilematis antara keberlanjutan atau perubahan. Mereka tidak punya perbedaan yang bikin mereka dilirik, baik secara program juga secara logistik," imbuhnya. 

Analis politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin menilai salah faktor utama yang membuat elektabilitas Luluk-Lukmanul jeblok ialah tidak liniernya preferensi politik konstituen PKB dengan kebijakan parpol. 

"Bisa jadi suara PKB banyak ke Khofifah. Karena dia petahana dan dianggap berhasil, maka mereka ke sana. Jadi, pemilihnya tidak loyal kepada. Kedua, bisa jadi bahwa pemilih suara PKB itu pemilih yang sifatnya bebas, tidak terikat party id atau identitas partai," kata Ujang kepada Alinea.id

Lukuk-Lukmanul, menurut Ujang, terbilang telat meningkatkan tingkat keterkenalan pada publik Jawa Timur. Itulah kenapa elektabilitas mereka sangat kerdil jika dibandingan Khofifah-Emil atau bahkan Risma-Gus Hans. 

"Jadi ketika di pilkada, ya, bukan lagi berdasarkan partai, tapi tokoh. Maka tokoh yang dianggap bagus yang akan didukung. Jadi mereka lebih banyak memilih Khofifah-Emil," jelas Ujang. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan