close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi judi online. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi judi online. /Foto Unsplash
Peristiwa
Minggu, 10 November 2024 06:29

Harga sosial yang harus dibayar bila judi online dilegalkan

Apakah pajak dari ekonomi bawah tanah, termasuk judi, efektif membuat negara sejahtera?
swipe

Dalam orasi ilmiah di rapat terbuka senat yang digelar di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), DI Yogyakarta, Senin (28/10), Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengincar setoran pajak baru dari aktivitas ekonomi bawah tanah (undergound economy).

Ekonomi bawah tanah adalah kegiatan adalah segala kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang terlewat dari perhitungan produk domestik bruto (PDB). Semakin berkembangnya aktivitas ekonomi bawah tanah, ikut menimbulkan kerugian bagi negara lewat besaran potensi pajak yang hilang. Kegiatan ekonomi bawah tanah umumnya lepas dari pengawasan otoritas pajak, sehingga menghilangkan kewajiban membayar pajak dari para pelakunya.

Anggito memberi contoh judi bola online sebagai salah satu kegiatan ekonomi bawah tanah yang disukai warga Indonesia. Mereka melakukan taruhan online terhadap sepak bola di Inggris. Pendapatan dari judi bola itu, kata Anggito, luput dari pajak.

Menurut peneliti ekonomi digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Rani Septya, penerapan pajak pada aktivitas ekonomi bawah tanah seperti judi yang merupakan tindak pidana, bakal mengubah tatanan hukum yang berlaku. Jika diberlakukan pemungutan pajak, artinya ada pelegalan. Sebab, sama saja negara mengakui pendapatan dari aktivitas tersebut sah.

“Penting untuk memperhitungkan biaya sosial yang timbul, seperti meningkatnya angka kriminalitas, kesehatan mental, dan dampak pada tatanan sosial,” kata Rani kepada Alinea.id, Rabu (6/11).

Di Thailand, pelegalan perjudian kasino pun tengah diupayakan. Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin menargetkan meloloskan rancangan undang-undang terkait legalisasi judi itu pada awal 2025. Kasino legal pertama di negara itu rencananya bakal dibuka pada 2029.

Selain Thailand, Rani mengungkapkan, negara di kawasan ASEAN lainnya yang melegalkan judi online adalah Filipina dan Kamboja. Dia mengakui, sektor ini memang menyumbang pendapatan bagi negara.

Meski demikian, kata Rani, negara-negara tersebut juga menghadapi tantangan besar, seperti kasus scam, penipuan finansial, dan perdagangan manusia. Legalitas memang memudahkan pemerintah untuk memungut pajak dan mengontrol aktivitasnya secara terbatas, tetapi tak menjamin hilangnya dampak negatif yang ditimbulkan.

“Keuntungan dari pajak judi bisa tergerus dengan tingginya biaya untuk menanggulangi dampak sosialnya,” ucap Rani.

Menurut Rani, pemerintah tidak siap untuk menangani hal ini. Apalagi dengan jaringan yang cnderung tak kasat mata, membuat pemerintah akan menghadapi tantangan besar dalam melakukan pengawasan dan kontrol.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menegaskan, pelegalan terhadap judi online tidak akan berdampak baik bagi ekonomi suatu negara. Sekalipun pajak yang ditarik besar, tetapi perilaku ekonomi pada masyarakat akan rusak. Mengingat banyak komoditas pokok yang masih sulit didapatkan karena harganya akan melonjak. Belum lagi generasi muda yang ingin mengumpulkan aset sebelum hari tua.

“Saya tidak setuju dengan judi online dan lainnya, meski menggerakkan underground economy. Soalnya haram dan merusak generasi muda,” kata Esther, Kamis (7/11).

“Apalagi masih banyak kegiatan ekonomi yang produktif, yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.”

Menurut Esther, sekalipun Filipina dan Kamboja melegalkan judi online, bukan berarti bisa menjawab kondisi ekonomi yang terpuruk. Sebagai informasi, untuk mengetahui negara tersebut makmur atau tidak, biasanya diukur dari tingkat kesejahteraan penduduk secara ekonomi.

Kesejahteraan penduduk sendiri dapat diukur lewat nilai PDB. PDB per kapita di sebuah negara dapat menggambarkan besaran pendapatan rata-rata penduduk. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, semakin sejahtera negara tersebut. Adapun yang dipakai untuk menghitung pendapatan per kapita adalah PDB dan jumlah penduduk negara itu.

Dikutip dari Visual Capitalist, Singapura menjadi negara di Asia Tenggara dengan PDB per kapita tertinggi, lebih dari 88.000 dolar AS. Sementara Filipina berada di urutan ke-7 dengan 4.130 dolar AS dan Kamboja berada pada urutan ke-8 dengan 2.630 dolar AS. Indonesia dan Thailand lebih baik, masing-masing 5.270 dolar AS dan 7.810 dolar AS.

“Mereka (Filipina dan Kamboja) beda kultur (dengan Indonesia). Kalau saya punya prinsip yang halal akan berdampak baik buat perekonomian,” ucap Esther.

 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan