Sengsara pengemudi transportasi online dalam kuasa aplikator
Siang yang terik, tak menyurutkan langkah kaki lebih dari 100 pengemudi taksi dan ojek daring, yang tergabung dalam Koalisi Driver Online (Kado) untuk berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (21/9).
Tuntutan jangka panjang, menengah, dan pendek yang disampaikan. Tuntutan jangka panjang ialah mempercepat pengesahan RUU Transportasi Daring. Hingga kini, ada dua skema yang mengemuka, yaitu revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan membuat undang-undang baru.
Penanggung jawab aksi Kado, Wiwit Sudarsono menegaskan, pengemudi transportasi online ingin ada regulasi khusus, di luar UU LLAJ.
“Kita minta UU khusus yang mengatur transportasi daring, baik taksi online, ojek online, layanan barang, layanan makanan, bahkan juga angkutan barang,” ucapnya kepada wartawan di lokasi aksi, Rabu (21/9).
Jangka menengah, meminta DPR menekan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk membuat keputusan bersama memperbaiki ekosistem bisnis transportasi daring.
Adapun tuntutan jangka pendek, meminta DPR menekan perusahaan aplikasi transportasi online atau aplikator untuk meneken kesepakatan platform fee sebesar 10%, tanpa biaya lain.
“Kita mengharapkan potongan yang dilakukan aplikator itu di angka 10% per transaksi,” ujar anggota divisi humas Kado, Ali Famansyah, Rabu (21/9).
Aturan dan kesejahteraan
Terkait hal itu, pada 7 September 2022 seiring dengan kenaikan harga BBM, Kemenhub sebenarnya sudah memutuskan biaya sewa aplikasi turun dari yang semula tertinggi 20% jadi 15%. Namun, menurut Ali, ketentuan tersebut belum dijalankan karena potongan masih berkisar 30% hingga 35%.
Potongan yang masih diterapkan, kata Ali, menjadi beban di tengah naiknya harga BBM. Imbasnya, pendapatan pengemudi transportasi daring menyusut sekitar 30% hingga 40%.
Diketahui bersama, pada 3 September 2022, pemerintah memutuskan menaikkan harga pertalite dari Rp7.650 jadi Rp10.000 per liter, solar dari Rp5.150 jadi Rp6.800 per liter, dan pertamax dari Rp12.500 jadi Rp14.500 per liter.
Soal potongan, Wiwit memberikan gambaran. Bila di aplikasi pengemudi tercantum argo Rp20.000, maka di aplikasi penumpang Rp25.000.
“Dari argo Rp20.000 itu, kita masih dipotong 20% oleh aplikator untuk pendapatan kita,” ujar Wiwit.
“(Pendapatan bersihnya sekitar) Rp12.000. (Potongan) plus Rp5.000 yang dibayar penumpang untuk jasa sewa aplikasi. Jadi, kalau ditotal, per transaksi itu (potongannya) bisa di angka 35%.”
Sekalipun Kemenhub sudah membuat ketentuan baru, yakni potongan paling tinggi 15%, tetapi dalam praktiknya masih belum dijalankan. Wiwit mengaku sudah menyampaikan hal itu kepada aplikator. Namun, pihak aplikator menolak tuntutan.
“Dan Kemenhub tidak bisa menindak aplikator, dengan alasan itu wewenang Kominfo,” ujarnya.
Pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan bantalan sosial usai memutuskan menaikkan harga BBM, berupa bantuan langsung tunai (BLT), termasuk untuk ojek online. Besarnya Rp600.000.
Meski begitu, Wiwit mengatakan, BLT tak menyelesaikan masalah. “Karena subsidi hanya berlaku paling empat bulan. Selanjutnya bagaimana?” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengakui, usai harga BBM naik, otomatis biaya operasional pengemudi ojek daring juga melonjak, sedangkan pendapatan susut.
“Pendapatan mengalami penurunan hingga lebih dari 30% dari sebelum kenaikan harga pertalite,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (20/9).
Igun menambahkan, pihaknya terus mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) yang khusus mengatur transportasi daring.
“Agar moda transportasi ojek daring memiliki status legal dan kepastian payung hukum,” ucapnya.
Di sisi lain, salah satu aplikator, yakni Grab Indonesia, mengaku sudah berupaya menjaga pendapatan pengemudi, dengan menyesuaikan tarif berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022.
Untuk zona I (Sumatera, Bali, dan Jawa selain Jabodetabek) tarif batas bawah 0-4 kilometer GrabBike sebesar Rp8.000-Rp10.000 dan tarif per kilometer Rp2.000-Rp2.500. Zona II (Jabodetabek) sebesar Rp10.200-Rp11.200 dan per kilometer Rp2.550-Rp2.800. Dan zona III (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sekitarnya, Maluku, serta Papua) sebesar Rp9.200-Rp11.000 dan tarif per kilometer Rp2.300-Rp2.750. Tarif tersebut berlaku setelah dikurangi komisi dan biaya pemesanan.
“Ini adalah bentuk dukungan Grab memastikan keberlangsungan pemasukan bagi para mitra pengemudi di tengah kondisi yang sarat perubahan seperti saat ini,” ujar Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi dalam rilis yang diterima, Selasa (20/9).
Sedangkan mengenai biaya sewa aplikasi, Director of Central Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy menjelaskan, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan. Menurutnya, besaran komisi telah dihitung dengan saksama dan digunakan untuk mitra pengemudi ihwal kesejahteraan.
“Seperti biaya operasional, penggunaan sistem teknologi yang mengatur orderan, menghubungkan mitra pengemudi dengan konsumen, hingga berbagai program untuk mitra pengemudi,” ujar Tirza dalam pesan tertulis, Selasa (20/9).
Perihal regulasi
Soal regulasi, Ketua Komisi V DPR Lasarus memberikan sinyal bahwa undang-undang khusus transportasi daring bakal mentok. Sebab, aturannya bakal masuk di UU LLAJ.
“Kami akan mengajukan revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di sana nanti akan diatur angkutan online,” katanya, Rabu (21/9).
Sementara itu, pengamat transportasi Darmaningtyas berpendapat, tuntutan UU khusus transportasi daring merupakan cermin ketidaktahuan jalan keluar dari persoalan kesejahteraan dan kebijakan aplikator. Sebenarnya, ujar dia, yang merugikan pengemudi adalah potongan tarif dari aplikator.
“Itu sebetulnya yang dikeluhkan driver,” ucapnya, Rabu (21/9).
Menurutnya, payung hukum bagi transportasi daring baru diperlukan jika pengemudi mengalami masalah, seperti dilarang beroperasi. Namun, saat ini tak ada situasi demikian.
“Jadi, menurut saya, enggak ada urgensinya (UU khusus transportasi daring). Urgensinya itu adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Kuncinya ada di aplikator,” ujarnya.
Dalam rapat bersama Kemenhub dan aplikator beberapa waktu lalu, Darmaningtyas mengusulkan biaya sewa aplikasi cukup 10% dan kebijakan aplikator yang merugikan pengemudi dihapus. Selain itu, dana corporate social responsibility (CSR) aplikator dikembalikan kepada pengemudi, dalam bentuk beasiswa untuk anak-anak mereka.
Ia menyebut, Kemenhub sebetulnya terbebani karena masalah transportasi daring bukan mereka yang buat, melainkan aplikator itu sendiri dan Kominfo selaku pemberi izin.
“Kemenhub tidak berdaya oleh posisinya sebagai regulator perhubungan,” ucapnya.
Terpisah, pengamat transportasi dan perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, sebelum bicara regulasi khusus, hal pertama yang perlu dijawab adalah jenis angkutannya. Menurut dia, kalau jenisnya sepeda motor, maka dalam UU LLAJ tidak termasuk angkutan umum.
Lantaran tak diatur dalam UU LLAJ, katanya, status hukum ojek daring menjadi bias. Karenanya, pendekatan yang harus dilakukan bukan pada aturan hukum, tetapi sosiologis.
“Sosiologis itu apa? Masyarakat butuh. Kalau masyarakat sudah butuh, ya sudah diakui saja,” ucapnya, Rabu (21/9).
Yayat mempertanyakan, jika ojek atau taksi daring masuk kategori angkutan umum, apakah pemiliknya mau mematuhi ketentuan, seperti kir (surat uji kendaraan bermotor) dan SIM khusus sopir angkutan umum.
“Kalau kebutuhan mendesak, ubah dulu UU (LLAJ)-nya,” ucapnya.
“Pertanyaannya, apakah DPR bisa mengakomodir tentang ketentuan pasal teknis yang mengatur persyaratan sebagai sebuah angkutan umum?”
Di samping itu, Yayat menekankan, dalam konteks hubungan kerja, status driver juga hanya mitra, yang tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Perihal biaya sewa aplikasi yang kenyataannya lebih tinggi, menurut Yayat, itu menandakan aplikator tak punya komitmen menjalankan aturan pemerintah.
“Enggak berdaya negara, kalah dengan kekuatan pasar,” ujarnya.
Jika pemerintah serius mengatur aplikator, jelas Yayat, seharusnya perusahaan transportasi daring tak berada di bawah Kemenhub, tetapi Kominfo. Di samping itu, pemerintah juga bisa membuat aplikasi transportasi daring, bersaing dengan aplikator yang sudah ada.
“Sama kayak Pertamina bersaing dengan Shell, bersaing dengan perusahaan minyak lainnya. Jadi, pemerintah membentuk badan usaha bidang transportasi yang syarat dan ketentuannya diatur oleh pemerintah,” kata Yayat.