close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Djoko Setijowarno / dok pribadi
icon caption
Djoko Setijowarno / dok pribadi
Kolom
Senin, 05 Februari 2018 18:07

Taksi online, bisnis menyenangkan yang hanya sesaat

Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain.
swipe

PEMANFAATAN IT dalam penyelenggaraan transportasi adalah suatu keniscayaan yang harus diterima semua lapisan masyarakat. Namun, keberadaan taksi online telah membuat banyak kegaduhan di negeri ini. Mengapa masalah taksi online di Indonesia berkepanjangan dan tidak selesai tuntas?

Karena instansi pemerintahnya tidak kompak. Masing-masing instansi kementerian berjalan sendiri-sendiri. Iming-iming pendapatan besar, telah mengalihkan sebagian orang untuk beralih memilih pekerjaan menjadi driver taksi online.

Demikian pula konsumen transportasi umum berbiaya mahal, dapat tawaran transportasi bertarif murah, mudah didapat, dan ada kepastian tarif. Sungguh menyenangkan. Tapi yang harus dipahami, aplikasi hanya berfungsi sebagai pendukung. Faktor yang utama adalah sarana transportasinya.

Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun tanpa aplikasi, sarana transportasi masih tetap bisa memindahkan orang atau barang. Oleh karenanya, taksi online harus mengikuti dan mematuhi aturan transportasi yang sudah bertujuan menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam pelayanan transportasi.

Selama ini, aplikator tidak mau ikuti aturan transportasi, karena berlindung di aturan telekomunikasi dan dibela Kemenkominfo. Namun, untuk membuat ‘dashboard’ yang secara teknis sangat mudah dan cepat, hingga saat ini belum ada kepastian kapan akan berfungsi guna mengontrol aplikator.

 

 

Menanti kehadiran negara

Kementerian Perhubungan mengeluarkan PM 108/2017 untuk mengatur operasional transportasi online. Sementara kementerian lain belum banyak bergerak, terutama Kemenkominfo yang mengatur gerak aplikator. Hingga sekarang, kita tidak pernah tahu pasti berapa jumlah armada taksi online. Sungguh menyulitkan, bagaimana untuk mengaturnya, jika datapun tidak punya.

Aplikasi yang digunakan harus ‘diawasi’ dan dilakukan ‘audit’ oleh Kemenkominfo. Jika tidak seperti sekarang, aplikator merangkap sebagai operator transportasi umum.

Penyedia jasa aplikasi harus dipertegas, milih sebagai operator angkutan umum atau cukup aplikator. Jangan dibiarkan berulah seperti sekarang ini. Mengaku aplikator, tapi turut menentukan besaran tarif dan sistem bonus. Untuk menentukan besaran tarif harus ditentukan oleh masing-masing operator transportasi umum yang sudah terdaftar di Dishub Provinsi sesuai batasan tarif yang sudah ditentukan. Demikian pula untuk menerapkan SPM taksi online akan diselenggarakan oleh operator yang sudah didirikan oleh para driver taksi online.

Pemerintah jangan terlalu lama membiarkan perusahaan penyedia jasa aplikasi merusak sistem transportasi yang ada. Bagi yang tidak mau mendaftar, aplikator harus diminta segera menutup apkikasinya. Jika masih ada aplikator masih memberi layanan aplikasi ke taksi online yang tidak terdaftar, sudah semestinya aplikator tersebut juga harus ditutup.

Jangan karena berbasis IT yang lagi trend dapat menghilangkan logika rasional. Fungsi pemerintah masih tetap penting apalagi di negara yang masyarakatnya majemuk seperti Indonesia.

Pemerintah harus hadir dalam operasi transportasi umum, seperti menjamin keselamatan dengan uji berkala (KIR) kendaraan taksi online. Selanjutnya menetapkan kuota dan tarif untuk menjamin persaingan yang sehat dan keberlangsungan usaha. Lalu mendata kendaraan taksi online sebagai angkutan umum untuk jaminan asuransi bagi penumpang. Terakhir, pengemudi harus memiliki SIM A umum untuk jaminan kenyamanan pelayanan kepada penumpang. Kehadiran pemerintah dibutuhkan untuk menjamin usaha taksi online serta menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan pengguna.


Sesungguhnya, target akhirnya sudah mulai terindikasi, yakni mau menghancurkan sistem transportasi yang sudah ada dengan dalih sharing economy dan menyediakan lapangan pekerjaan. Khususnya di negara-negara yang sistem angkutan umumnya buruk dan regulatornya tidak kuat seperti di Indonesia.

Beberapa pebisnis taksi reguler sudah mulai tutup. Artinya, menimbulkan pengangguran. Walau pengemudinya beralih ke taksi online, tapi tidak menjamin keberlangsungan usahanya.

Sedangkan di saat bersamaan, bnyak pebisnis taksi online yang gulung tikar, karena kredit macet kendaraan tidak sanggup membayar cicilan bulanan. Dengan tarif yang murah ternyata tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan hidup keluarga, operasional dan perawatan rutin kendaraan, pajak kendaraan, membayar angsuran mobil bulanan.

Pada awal operasi taksi online, rata-rata hanya bisa bertahan sekitar setahun. Setelah setahun banyak yang tutup usaha. Demikian pula pemberian SIM A umum tidak harus kolektif. Kepolisian harus benar-benar dapat memastikan penerima SIM A umum adalah benar-benar yang memiliki kompetensi mengemudikan kendaraan umum.

Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau. Angkutan penumpang umum dengan tarif ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah (pasal 185).

Semestinya tim intelijen ekonomi BIN bisa mendalami keberadaan aplikator. Akan sangat berbahaya sekali jika sampai mereka sudah bisa mengendalikan pangsa pasar transportasi sebagai urat nadi ekonomi. Negara harus hadir memberikan layanan transportasi umum yang murah.

Sebagai penutup, bisnis taksi online memberikan kesenangan sesaat yang membuat publik berpikir sesat.

img
Djoko Setijowarno
Kolomnis
img
Syamsul Anwar Kh
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan