close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dody Wijaya
icon caption
Dody Wijaya
Kolom
Senin, 24 Agustus 2020 11:23

Pilkada upnormal di era new normal, quo vadis demokrasi lokal Indonesia?

Pilkada yang digelar dengan biaya mahal dan risiko tinggi. Sebagian calonnya tunggal itupun produk dinasti.
swipe

Berita mengejukan berhembus, di mana 21 pegawai KPU dinyatakan positif Covid-19. Di tengah pilkada serentak yang tetap digelar di tengah wabah. Momentum sirkulasi elite lokal kali ini layak disebut sebagai “Pilkada Upnormal di Era New Normal.” 

Pilkada yang digelar dengan biaya mahal dan risiko tinggi. Sebagian calonnya tunggal, itupun produk dinasti. Pilkada upnormal ini perlu menjadi refleksi. Juga perhatian para pemangku kepentingan untuk menjaga kualitas demokrasi.

Biaya mahal dan risiko tinggi 

Penyelenggaraan pilkada di tengah wabah membutuhkan biaya lebih mahal. Dari anggaran awal Rp9,9 triliun ditambah anggaran tambahan untuk protokol kesehatan Rp4,7 triliun, sehingga total Rp14,6 triliun. Jika daftar penduduk potensial pemilih (DP4) 105 juta pemilih, unit cost per pemilih mencapai Rp138.000.

Pilkada di tengah pandemi juga berisiko tinggi. Menggelar pemilu di situasi normal saja bukan perkara yang mudah. Pemilu 2019 (situasi normal) 894 penyelenggara meninggal dunia dan 5.175 penyelenggara jatuh sakit.

Hampir semua tahapan penting berisiko penularan Covid-19. Mulai dari coklit daftar pemilih dengan door to door, bimbingan teknis PPK-PPS-KPPS, kampanye, sortir lipat dan distribusi surat suara hingga pemungutan penghitungan suara di TPS. 

Bayangkan bagaimana jika satu tahapan saja, misalkan sortir lipat surat suara yang melibatkan banyak orang. Pada saat surat suara telah didistribusikan sampai ke TPS ternyata ada petugas sortir lipat surat suara ada yang positif Covid-19. Isu adanya virus korona di TPS akan sulit dibendung.

Saat ini, baru pada tahapan coklit data pemilih, sudah banyak penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19. Kasus konfirmasi positif terhadap penyelenggara terjadi di beberapa daerah di antaranya: Kabupaten Blora (12 kasus), Kabupaten Jember (2 kasus), Kabupaten Bangli (1 kasus), Kabupaten Bima (3 kasus), Kabupaten Bandung (1 kasus), Kabupaten Pohuwato (1 kasus), Bantul (1 kasus), Bukittinggi (1 kasus). 

Di sisi lain, penyelenggara pemilu perlu mempersiapkan dua hal penting yakni, managemen risiko atau mitigasi bencana dan sosialisasi massif-intensif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Pertama, berkaca dari Pemilu 2019 yang kurang dipersiapkan terkait managemen risiko terkait kompleksitas tata kelola pemilu. Mitigasi bencana diperlukan utamanya agar para penyelenggara di semua tingkatan dari tingkat kota, kecamatan, hingga tingkat TPS memiliki jaminan rasa aman dan tenang dalam menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi.

Salah satu prinsip penyelenggaraan pemilu adalah adil, tidak hanya berlaku bagi peserta pemilu dan pemilih, tetapi juga adil untuk penyelenggara pemilu. Satu hal yang sering diabaikan adalah jaminan kecelakaan kerja dan kematian bagi penyelenggara pemilu. 

Namun sayangnya untuk saat ini kompensasi atas kecelakaan kerja badan adhoc penyelenggara Pilkada 2020 hanya berupa santunan dengan besaran sesuai Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) berdasarkan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-850/MK.02/2019. Perlindungan jaminan kecelakaan kerja masih dibiayai secara pribadi oleh masing-masing pribadi badan adhoc penyelenggara pilkada.

Selain soal teknis penyelenggaraan pilkada dengan protokol kesehatan yang ketat. Risiko tinggi menyelenggarakan pilkada di masa pandemi, semestinya membuat penyelenggara pemilu sampai tingkatan paling bawah perlu diberikan jaminan kecelakaan kerja dan kematian. 

Kerja sama dapat dilakukan dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam program jaminan kecelakaan kerja dengan membayar premi 0,24%-1,75% (rata-rata 1%) dari upah yang diterima penyelenggara pemilu. 

Lembaga penyelenggara pemilu cukup membayar iuran Rp9000 untuk KPPS, Rp15.000 untuk PPS dan Rp20.000 untuk PPK. Manfaat program yang didapatkan penyelenggara pemilu di antaranya perlindungan risiko kecelakaan kerja, perawatan tanpa batas biaya sesuai kebutuhan medis, santunan kematian, bahkan beasiswa untuk dua orang anak bagi yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap. 

Kedua, sebagian besar masyarakat masih khawatir dengan gelaran pilkada di tengah pandemi. Survei opini publik dari Indikator 13-16 Juni menyebutkan 63,1% ingin Pilkada Serentak 2020 ditunda. Survei Charta Politica 6-12 Juli menyimpulkan 54,2% tidak setuju pilkada tetap diselenggarakan di 2020. Hanya 31,8% yang setuju Pilkada 2020. Itupun hanya 34,9% yang akan datang ke TPS, 10,2% tidak datang dan 55% tidak menjawab.

Sosialisasi yang massif dan agresif menjadi kunci keberhasilan masyarakat mau datang ke TPS. Penyelenggara pemilu perlu menyakinkan publik terkait keamanan dalam pemungutan suara. Merujuk pada langkah NEC (KPU Korea Selatan) salah satu kunci keberhasilkan Korsel menggelar pemilu ditengah pandemi adalah sosialisasi massif dan intensif dengan berbagai kanal media, baik cetak, elektronik, media sosial, TV KPU, platform game dan aplikasi android dan segala macam. 

Penyelenggara pilkada khususnya KPU harus lebih agresif dan massif dalam sosialisasi kepada publik. Terkait teknis penyelenggaraan pilkada dan memberi keyakinan kepada publik terkait keamanan menggunakan hak pilih tanpa tertular Covid-19. Sampai sejauh ini baru sosialisasi berbasis Webinar di kalangan aktivis dan pegiat pemilu yang terlihat sebagai gerakan nyata. 

Calon tunggal dan dinasti politik: Paradok demokrasi

Pilkada berbiaya mahal dan berisiko tinggi ini menjadi paradoks demokrasi karena di sebagian daerah digelar dengan calon tunggal. Kandidat yang akan melawan kotak kosong inipun dilahirkan dari produk politik dinasti. Memang secara prosedur dan aturan penyelenggaraan pilkada tidak ada yang dilanggar. Namun, demokrasi tidak hanya prosedural semata, publik mendambakan kualitas demokrasi yang berujung kesejahteraan rakyat. 

Salah satu indikator paradok demokrasi menurut Larry Diamond (1990), yakni paradok antara konflik dan konsensus (conflict vs consensus). Demokrasi pada dasarnya merupakan pelembagaan persaingan dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Pemilu sebagai public contestation untuk memperebutkan jabatan publik seperti kepala daerah. 

Semakin keras kompetisi demokrasi akan semakin berkualitas. Masyarakat akan merasakan manfaatnya dengan dapat memilih kandidat terbaiknya dari sekian banyak kandidat yang mencalonkan diri. Selain itu, akan ada banyak janji kampanye yang harus disampaikan ke pemilih dan (harus) diwujudkan bila kandidat terpilih. Bukankah hakikat memilih adalah membandingkan minimal dua pilihan, bila rakyat disuguhi hanya satu pilihan apakah itu dapat disebut sebagai hak memilih?. 

Ke depan, UU Pilkada harus didorong untuk meminimalisir hadirnya calon tunggal sebagaimana pemilihan presiden. Dalam pemilu presiden, KPU dapat menolak pendaftaran paslon jika diajukan oleh gabungan seluruh parpol atau diajukan gabungan parpol yang mengakibatkan gabungan parpol peserta pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon (Pasal 229 ayat 2 UU No 7/2017). 

Paradoks kedua terkait partisipasi dari rakyat dalam proses politik termasuk dalam hal pencalonan atau kandidasi. Ruang gelap pencalonan kepala daerah oleh partai politik yang tidak transparan berpotensi mencederai demokrasi dengan tertutupnya partisipasi rakyat. Rakyat tidak tahu menahu bagaimana calon bisa terpilih sebagai kandidat yang diusung. Sudahlah calon tunggal, produk dinasti politik pula. 

Itulah realitas pilkada upnormal di era new normal yang perlu dijadikan refleksi bagi semua pemangku kepentingan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Quo Vadis demokrasi lokal Indonesia? 

img
Dody Wijaya
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan