Status sebagai petahana kepala daerah tak selalu jadi jaminan tingkat keterpilihan tinggi. Di Pilkada Serentak 2024, sejumlah kandidat dari kalangan petahana justru tenggelam elektabilitasnya. Petahana seolah jadi underdog di kandang mereka sendiri.
Di Pilgub Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya. Survei WRC menunjukkan pasangan petahana Isran Noor-Hadi Mulyadi (Isran-Hadi) hanya punya elektabilitas sebesar 36,8%. Pasangan penantang Rudy Mas’ud-Seno Aji (Rudy-Seno) mengoleksi 56,3%. Sisa responden belum menentukan pilihan.
Situasi serupa juga terpentas di Pilgub Sumatera Utara (Sumut). Sigi Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas pasangan Edy Rahmayadi-Hasan Basri (Edy-Hasan) tertinggal dari pasangan penantang Bobby Nasution-Surya (Bobby-Surya).
Didukung PDI-Perjuangan dan sejumlah parpol lainnya, tingkat keterpilihan Edy-Hasan hanya sekitar 27,1%. Pasangan Bobby-Surya yang disokong Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus mengoleksi elektabilitas hingga 44,9%.
Di Pilgub Lampung, petahana Arinal Djunaidi-Sutono (Arinal-Sutono) bahkan "babak belur". Berbasis hasil survei Disway Research and Development, Arinal Sutono hanya punya elektabilitas sekitar 18%. Adapun elektabilitas pasangan penantang Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela mencapai 68%.
Tak hanya di level pilgub, kondisi serupa juga terjadi di level pemilihan wali kota dan bupati, semisal di Pilbub Lampung Selatan dan Pilbup Sampang. Di dua pilbup itu, elektabilitas petahana disalip pasangan penantang.
Analis politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengatakan penyebab melempemnya petahana di pilkada tak tunggal. Di Pilgub Kaltim, misalnya, Isran-Hadi jeblok karena dikepung koalisi besar.
"Secara kinerja sebagai petahana, Isran-Hadi sebenarnya tidak terlalu buruk," ujar Kunto kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Isran-Hadi hanya didukung dua parpol pemilik kursi di DPRD Kaltim, yakni PDI-P dan Demokrat. Parpol penghuni parlemen lainnya--termasuk Golkar sebagai pemenang Pileg DPRD Kaltim--berkubu di pasangan Rudy-Seno.
Adapun pada Pilgub Lampung, menurut Kunto, kinerja petahana yang buruk jadi salah satu faktor utama yang menyebabkan pasangan Arinal-Sutono terpuruk. Di tangan Arinal, pembangunan infrastruktur di Lampung cenderung lamban.
Beberapa tahun lalu, Lampung bahkan sempat viral saat kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketika itu, Jokowi terekam melintasi jalanan rusak parah di provinsi tersebut. "Dari situ, memang ada masalah kinerja yang kurang memuaskan," imbuh Kunto.
Adapun di Pilgub Sumut, pasangan Edy-Hasan melempem lantaran terkepung koalisi besar dan digerus oleh pengaruh Jokowi. "Jadi, dia (Edy) sulit juga karena calonnya (Bobby) itu mantu Jokowi. Selain itu, Jokowi juga memiliki tingkat kepuasan yang tinggi," kata Kunto.
Manager Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad mengatakan petahana punya modal politik berupa rekam kinerja saat bertarung di pilkada. Namun, rekam jejak itu bisa jadi sandungan jika publik berpendapat petahana tak becus selama memimpin daerah.
"Kalau publik di daerahnya kecewa atau kurang puas pada kinerja mereka, maka publik akan beralih mencari alternatif (penantang). Penantang jadi punya peluang lebih baik," kata Saidiman kepada Alinea.id, Kamis (7/10).
Dalam kebanyakan pilkada, menurut Saidiman, rekam jejak petahana saat memimpin jadi patokan utama bagi masyarakat setempat untuk memilih. "Sementara penantang, walaupun belum pasti akan bagus, setidaknya mereka belum punya rekam jejak yang buruk," kata Saidiman.