close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mahsun
icon caption
Mahsun
Kolom
Jumat, 11 Oktober 2019 17:48

Mengapa perlu Perpres Nomor 63 Tahun 2019? 

Ada kekhawatiran jika penetapan peraturan tersebut akan mempersempit ruang penggunaan bahasa daerah.
swipe

Penetapan Peraturan Presiden Nomor: 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia pada 30 September 2019 memunculkan beberapa tanggapan dari warga Indonesia yang menjadi sasaran pelaksanaan peraturan tersebut, baik dari warga masyarakat yang terdidik maupun awam. 

Beberapa teman awak media dari berbagai media di Jakarta, yang sempat berinteraksi saat saya menunaikan tugas sebagai Kepala Badan Bahasa, Kemendikbud, khawatir jika penetapan peraturan tersebut akan mempersempit ruang penggunaan bahasa daerah, terutama pada ranah yang bernuansa kedaerahan. 

Bahkan ada tanggapan yang cenderung tendensius yang muncul secara spontan dalam dialog saat saya mengikuti takziah atas meninggalnya salah seorang kerabat tetangga di tempat saya tinggal. Misalnya, lahirnya Peraturan Presiden tersebut hanya untuk melegitimasi Presiden Jokowi berbahasa Indonesia, yang kurang fasih berbahasa asing pada forum internasional (resmi kenegaraan) yang beliau hadiri. 

Pernyataan ini mungkin dapat diterima jika jauh sebelum lahirnya Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 belum ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010, yang secara umum isinya juga tentang Pemakaian Bahas Indonesia. Apabila hanya untuk melegitimasi penggunaan bahasa Indonesia dalam forum resmi kenegaraan di luar negeri, Presiden Jokowi tidak perlu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, cukup dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 sudah memberikan ruang bagi Presiden dan Pejabat Negara Lainnya untuk menggunakan bahasa Indonesia pada forum tersebut. 

Masalahnya, apabila peraturan yang mengatur tentang pemakaian Bahasa Indonesia sudah ditetapkan sebelumnya mengapa perlu membuat peraturan baru yang ihwalnya sama?

Sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara kandungan substansi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019. Pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 hanya memuat pengaturan penggunaan Bahasa Indonesia dalam pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya. Jadi, hanya menyangkut Pasal 28 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lagu Kebangsaan, serta Lambang Negara. 

Sementara dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 berisi jabaran tentang Pasal 26 sampai Pasal 39 UU Nomor 24 Tahun 2009, yang memang diamanahkan untuk dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Dalam konteks ini, ditinjau dari amanah pada Pasal 40, UU Nomor  24 Tahun 2009, Peraturan Presiden yang ditetapkan pada 30 September 2019, isinya jauh lebih proporsional dibandingkan dengan isi Peraturan Presiden yang ditetapkan pada 1 Maret 2010. 

Begitu pula, kekhawatiran akan berkurangnya ruang ekspresi penggunaan bahasa daerah tidak perlu muncul. Karena di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia telah dipertegas, di antaranya tentang kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, yang pemakaiannya telah ditetapkan ranahnya masing-masing. 

Suatu hal yang paling penting dicatat dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 ini adalah jabaran pemakaian bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar dalam Pendidikan Nasional (Bagian Lima), Komunikasi Resmi di Lingkungan Kerja Pemerintah dan Swasta (Bagian Sembilan), dan Penulisan Karya Ilmiah dan Publikasi Karya Ilmiah di Indonesia (Bagian Sebelas). 

Semuanya mewajibkan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Artinya, bahasa Indonesia tidak hanya digunakan sebagai pengantar dalam proses belajar-mengajar, tetapi juga wajib digunakan dalam menuangkan materi pembelajaran (buku ajar, buku teks). Hal ini memberi ruang bagi percepatan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan. 

Kondisi tersebut semakin diperkuat dengan wajibnya menggunakan bahasa Indonesia dalam karya ilmiah maupun publikasi ilmiah, seperti dalam penulisan jurnal. Artinya, kadar bereputasi internasional atau tidaknya karya ilmiah anak bangsa tidak lagi diukur dari pemakaian bahasanya (sejauh ini harus ditulis dalam bahasa asing/bahasa diakui PBB), tetapi lebih pada kedalaman kadar analisis secara metodologis. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa ilmu pengetahuan.

Seiring dengan itu, proses menduniakan bahasa Indonesia menjadi sangat mudah. Bukankah digunakannya aksara Latin dalam hampir 99% bahasa negara di dunia karena bahasa Latin telah menjadi sarana komunikasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seperti banyaknya lahir ilmuan, filsuf di Latin-Yunani. Begitu pula keberterimaan aksara Arab untuk penulisan dalam naskah Melayu (aksara Pegon), tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dialami dunia Islam sekita abad 7-14. Terakhir, diterima dan meluasnya pemakaian bahasa Inggris tidak terlepas pula dari peran bahasa tersebut sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan. 

Selanjutnya, dengan diwajibkannya pemakaian bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta memberi penekanan bahwa setiap pegawai baik negeri maupun swasta mesti mampu berbahasa Indonesia, minimal memiliki kemampuan dengan standar Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) pada tingkatan tertentu. Artinya, tes UKBI seharusnya diberlakukan pada seleksi pegawai baik negeri maupun swasta. pemberlakuan tes UKBI bagi calon pegawai, terutama swasta, akan menjadi alat penyaring bagi membanjirnya tenaga kerja asing dan dalam waktu bersamaan menjadi pelindung bagi tenaga kerja Indonesia di negaranya sendiri.

Akhirnya, dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 memberi harapan baru bagi tegaknya identitas keIndonesian. Tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Hanya saja, persoalannya, sejauh mana niat baik Pemerintah dalam mengawal implementasi peraturan Presiden tersebut akan menentukan tercapai tidaknya apa yang menjadi harapan kita. Apalagi, pengaturan tentang bahasa tidak memiliki sanksi sebagaimana pada peraturan kenegaraan lainnya apabila terjadi pelanggaran. Semoga saja tidak ada dusta di antara kita. 
 

img
Mahsun
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan