Jejak neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Orde Baru sejak Maret 1966. Kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat, seiring dengan itu, Penanaman Modal Asing (PMA) dan hutang luar negeri mulai meningkat.
Menjelang awal 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri dari sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya menjadi semikapitalisme.
Sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an. Kebijakan ekonomi pemerintah banyak di bawa ke arah liberalisasi sektor keuangan, industri, kelautan, perikanan, perindustrian maupun perdagangan.
Masa pembangunan ekonomi Orba berakhir dengan ditandai meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi perekonomian Indonesia.
Arief Arfianto (2013), dalam tulisannya menarasikan pascakrisis moneter dan ketika memasuki era reformasi, kebijakan perekonomian Indonesia ternyata semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan IMF, Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi, termasuk pada sektor kelautan dan perikanan.
Disaat bersamaan, pemerintah harus melepas perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi perikanan yang banyak menguasai mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta, seperti yang terjadi pada Perinus dan Perindo.
Keran liberalisasi sektor kelautan dan perikanan semakin terbuka pada pemerintahan SBY. Ditandai dengan deklarasi bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai kemitraan strategis pada 25 April 2005. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana aksi implementasi deklarasi bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai kemitraan strategis pada 21 Januari 2010. Perjanjian ini akhirnya membawa Indonesia ke dalam kelompok negara gagal dalam pengelolaan kelautan dan perikanan.
Untuk mengatasi kegagalan itu, maka pada 23 Maret 2012 dilakukan MoU kerja sama maritim antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Rakyat China yang menyetujui masuknya laut Indonesia ke dalam pengawasan internasional yang merupakan bagi dari ALKI II dan III.
Sementara ketika masa pemerintahan Jokowi-JK, kebijakan berbagi data dan informasi Vessel Monitoring System (VMS) telah membuat ekspor dan impor produk perikanan semakin terbatas karena pengontrolan yang tidak sesuai regulasi.
Liberalisasi pasar ikan diberbagai tingkat memicu krisis ekonomi perikanan. Situasi itu ternyata ditambah dengan adanya proteksi regulasi (Peraturan Menteri) yang menyebabkan duka nelayan semakin bertambah dan kemudian menyebabkan pengangguran dan kemiskinan. Akibat krisis kelautan dan perikanan tersebut, 30 pabrik pasta ikan (surimi) tutup, 500 koperasi perikanan sementara tutup.
Untuk merestrukturisasi koperasi-koperasi perikanan itu, diperlukan evaluasi kebijakan atas regulasi yang selama ini mematikan seluruh usaha bersama di sektor kelautan dan perikanan.
Selain itu, perlu ada pengembangan kerja sama teknis di bidang perikanan, khususnya terkait dengan penangkapan dan budi daya berkelanjutan, memodernisasi teknologi pascapanen dan produk perikanan bernilai tambah. Sehingga memberikan kemudahan dalam proses perlindungan keanekaragaman hayati perikanan.
Itulah beberapa fakta akibat diterapkannya neoliberalisme sektor kelautan dan perikanan. Akankah kita diam saja menyaksikan semua ini? Kesabaran rakyat sudah habis. Saatnya momentum kebangkitan kelautan dan perikanan. Nelayan harus menggugat agar semua regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tidak berpihak kepada nelayan dicabut demi kesejahteraan dan kemakmuran nelayan