Sistem pemerintahan Indonesia seharusnya cukup baik, mengikuti sistem demokrasi kelas dunia, berdasarkan kedaulatan rakyat, dengan sistem check and balances. Yaitu, DPR mengawasi pemerintah (eksekutif) agar selalu taat hukum dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan lembaga hukum bebas dari pengaruh eksekutif, alias independen. Semua itu tercantum di dalam Undang-Undang Dasar.
Tetapi, sistem pemerintahan yang cukup bagus di atas kertas ini, pada prakteknya secara perlahan-lahan dirusak, dan menjelma menjadi sistem kekuasaan, atau tirani, persekongkolan (jahat) antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dampaknya sangat destruktif, merusak kehidupan bangsa dan negara.
Perlahan-lahan? Tidak juga. Kerusakan sistem pemerintahan ini bahkan berjalan terlalu cepat.
Semua ini berawal dari elite partai politik yang haus kekuasaan dan harta. Tugas pokok partai politik seharusnya memperkuat fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif, dan membuat undang-undang yang prorakyat, untuk kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, partai politik seharusnya mencari pemimpin nasional, presiden dan kepala daerah, untuk memajukan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kalau pemimpin nasional terpilih tersebut mengkhianati suara rakyat, menjalankan roda pemerintahan sewenang-wenang, maka perwakilan partai politik yang duduk di DPR wajib menegur eksekutif, bahkan dapat mengusulkan untuk memberhentikannya kalau diperlukan.
Kalau sistem pemerintahan yang ideal ini dijalankan dengan segenap hati, dengan cinta tulus kepada bangsa dan negara Indonesia, niscaya Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera: benar-benar bangsa yang maharddhika.
Tetapi, elite politik berkhianat, tidak puas dengan peran mulia para anggota DPR di parlemen, kini juga mau menguasai eksekutif dan yudikatif, yang menjadi sumber malapetaka bagi bangsa ini.
Presiden (dan wakil presiden) hanya dapat dicalonkan oleh partai politik, atau gabungan partai politik, yang mempunyai perolehan kursi minimal 20% di parlemen. Mereka sebut koalisi, tetapi pada prakteknya mirip ‘kartel’: pemufakatan (jahat) untuk menguasai Indonesia.
Pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2014 dan 2019 hanya diikuti oleh dua kelompok ‘kartel’ politik. Dibelakang mereka ada pemodal, atau oligarki, yaitu dalang yang mengatur siapa calon presiden yang harus didukung, dan menanggung semua biaya untuk memenangi calon presiden tersebut, termasuk biaya mahar politik, apabila ada, biaya kampanye dan biaya para ‘relawan’ yang juga merangkap sebagai buzzeRp.
Presiden terpilih terikat, wajib membagi-bagi jabatan menteri dan lembaga tinggi negara lainnya kepada para petinggi ‘kartel’ partai politik pendukung. Bahkan ‘kartel’ partai lawan juga dihadiahi jabatan, dengan alasan persatuan.
Akibatnya, karena parlemen dan eksekutif sudah dikuasai oleh para ‘kartel’ politik dan oligarki, maka sistem pengawasan di DPR terhadap jalannya roda pemerintahan sudah tidak efektif, sudah mati, roda pemerintahan berjalan tanpa pengawasan. Sehingga menjadi sewenang-wenang, atau tirani. Berbagai macam masalah yang mempunyai dampak sangat buruk bagi bangsa dan rakyat, tidak lagi menjadi perhatian DPR. Misalnya, pembiaraan terhadap pembengkakkan biaya proyek kereta cepat atau Tol Cilincing-Cibitung, atau harga test PCR yang mencekik dompet rakyat, dan juga pembiaran pengusaha merangkap pejabat untuk bisnis test PCR, semua berjalan lancar.
Kemudian, undang-undang dibuat untuk kepentingan dan keuntungan oligarki yang sudah mengeluarkan biaya triliunan rupiah. Meskipun undang-undang tersebut dapat merugikan rakyat banyak. Misalnya undang-undang cipta kerja, undang-undang tax amnesty, undang-undang perpajakan, UU Minerba, UU KPK, dan lainnya.
Untuk menjaga agar masyarakat semakin tidak berdaya, maka para ‘kartel’ politik juga menguasai lembaga hukum. Penegakan hukum bukan berdasarkan rule of law, tetapi yang berlaku adalah hukum tebang pilih. Tirani semakin lengkap. Semua gugatan undang-undang yang melanggar konstitusi dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemberantas korupsi menemui jalan buntu. Institusi yang seharusnya menumpas kejahatan kriminal malah terlibat menjadi pelaku tindakan kriminal. Terbongkarnya kasus Satgassus di bawah pimpinan Ferdy Sambo membuat mata masyarakat terbelalak heran: kok bisa terjadi seperti itu?
Semua ini bisa terjadi akibat ‘Kartel’ partai politik dan DPR (sengaja) lalai malaksanakan tugasnya untuk mengawasi pemerintah. Seharusnya DPR menolak Satgassus yang berdiri di luar struktur normal.
Kerusakan sudah sedemikian parah, apabila terus berlanjut, maka Indonesia akan menuju ke satu titik, yaitu menjadi bangsa gagal.
Kerusakan sudah sedemikian parah, hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan Indonesia yang kita cintai: Perubahan Total.