Kecanduan kekuasaan mirip dengan adiksi narkoba
Kaisar Prancis periode 1804-1814, Napoleon Bonaparte pernah berkata, kekuasaan adalah majikannya. “Saya telah bekerja terlalu keras dalam menaklukannya (kekuasaan), sehingga tidak ada orang yang bisa mengambilnya dari saya,” kata Napoleon, yang mengawali karier sebagai militer dan memenangkan berbagai perang di Eropa.
Akhir kekuasaan Napoleon sangat tragis. Prancis kalah perang melawan pasukan Inggris-Belanda-Jerman dan sekutu Prusia, yang terkenal sebagai pertempuran Waterloo pada Juni 1815. Napoleon lalu diasingkan di Pulau Saint Helena di selatan samudera Atlantik hingga meninggal pada 5 Mei 1821.
Menurut profesor klinis bidang pengembangan kepemimpinan dan perubahan organisasi di INSEAD, Manfred Kets de Vries dalam situs web Knowledge INSEAD, bagi kebanyakan orang, kekuasaan berarti memiliki kendali.
Dengan demikian, de Vries menyimpulkan, mereka yang berjuang untuk meraih kekuasaan sedang mencoba mengatasi perasaan tidak berdaya. Itu adalah cara mereka untuk mengimbangi perasaan tak aman, sebuah pertahanan terhadap perasaan awal tentang ketidakmampuan, kelemahan, ketakutan, tak dicintai, atau tak disukai.
“Keinginan untuk memperoleh kekuasaan atas orang lain sering kali merupakan kelemahan yang disamarkan sebagai kekuatan,” tulis de Vries.
De Vries mengatakan, beberapa orang yang diabaikan atau tak berdaya saat mereka masih muda, maka keinginan untuk mendominasi dapat dilihat sebagai cara untuk memastikan mereka tidak akan pernah berada dalam situasi yang rentan.
Mengejar kekuasaan, kata de Vries, juga bisa terkait komponen neurokimia. Memiliki kekuasaan atas orang lain, punya efek yang memabukkan. Hal ini meningkatkan testosteron, yang gilirannya meningkatkan pasokan dopamin—neurotransmiter yang memberi rasa senang—dalam sistem otak.
“Lonjakan dopamin ini menjelaskan sifat adiktif kekuasaan dan mengapa sangat sulit untuk melepaskannya,” tulis de Vries.
Kelebihan dopamin dapat memengaruhi fungsi kognitif dan emosional. Menurut de Vries, dopamin dapat mengurangi empati, serta mendorong perilaku sombong dan impulsif, sehingga menyebabkan kesalahan penilaian yang parah dan pengambilan risiko yang tak perlu.
“Akhirnya, orang-orang yang memiliki terlalu banyak kekuasaan, bahkan dapat kehilangan rasa realitas dan moralitas mereka,” kata de Vries.
Lebih lanjut, peneliti di University of Oxford, Nayef Al-Rodhan dalam the Conversation menulis, dopamin bertanggung jawab menghasilkan rasa senang dan membantu menyimpan informasi. Dopamin dilepaskan di bagian otak tertentu lewat pengalaman yang memberi penghargaan, seperti prestasi dan kesenangan hidup. Akan tetapi, dopamin juga diproduksi dalam perilaku yang mungkin tak sehat, seperti penyalahgunaan zat terlarang atau berjudi.
Otak kita diprogram secara neurokimia untuk mencari kesenangan, terlepas dari penerimaan sosial atau bagaimana kesenangan itu diperoleh. Maka dari itu, ujar Al-Rodhan, dalam konteks yang sama seperti pecandu narkoba dan alkohol, orang merasa sulit mengakui mereka adalah pecandu kekuasaan. Layaknya obat-obatan yang membuat ketagihan, kekuasaan menggunakan sirkuit penghargaan di otak, menghasilkan kesenangan yang luar biasa dan adiktif.
Mirip pecandu, kebanyakan orang yang berkuasa akan berusaha mempertahankan rasa senang yang mereka dapatkan dari kekuasaan, terkadang dengan cara apa pun. Ketika ditahan, seperti zat yang sangat adiktif lainnya, kekuasaan menghasilkan keinginan pada tingkat sel yang menghasilkan penolakan perilaku yang kuat untuk melepaskannya.
Karena penarikan kekuasaan secara tiba-tiba seperti penghentian penggunaan narkoba secara tiba-tiba menghasilkan keinginan yang tak terkendali, mereka yang memiliki kekuasaan, terutama kekuasaan absolut, sangat tidak mungkin melepaskannya dengan sukarela, lancar, dan tanpa korban jiwa dan materi.
“Penting untuk diingat bahwa kekuasaan, seperti semua emosi manusia, dimediasi oleh neurokimia dan kekuasaan yang tidak terkendali dapat menciptakan dorongan yang tidak rasional, adiktif, dan merusak,” tulis Al-Roshad dalam the Conversation.
Sementara itu, konsultan psikiater dan Presiden Asosiasi Kesehatan Mental Malaysia, Datuk Andrew Mohanraj dalam the Star berpendapat, dalam kasus penggunaan narkoba, generasi muda lebih rentan ketergantungan. Namun, menyangkut kehilangan kekuasaan, orang dewasa lebih rentan dalam konteks kekuasaan menjadi kecanduan.
“Berada dalam posisi yang berkuasa juga menyebabkan godaan terus-menerus untuk menyalahgunakan posisi seseorang atau melakukan praktik korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau mengkonsolidasikan kekuasaan,” ujar Mohanraj dalam the Star.
Kecanduan adalah bentuk perilaku ekstrem yang menggunakan jaringan saraf, menghasilkan perilaku manik, yang terwujud sebagai kegembiraan, peningkatan kognisi, dan persepsi diri yang muluk-muluk. Misalnya Hitler, Stalin, dan Napoleon, kata Al-Rodhan, semuanya tampak tidak mampu berempati dan memahami nilai kehidupan manusia, menyerukan ribuan orang untuk mati dalam kampanye militernya.
Selain itu, kekuasaan yang absolut dan tak terkendali punya efek yang terwujud dalam peningkatan fungsi kognitif, penilaian yang buruk, narsisme yang ekstrem, perilaku menyimpang, dan kekejaman yang mengerikan.
“Kekuasaan absolut pun dapat membuat orang percaya bahwa ada kekuatan spiritual yang membimbing,” ujar Al-Roshad.
Di sisi lain, kekuasaan absolut bisa menyebabkan paranoid. Kata Al-Roshad, hal ini kemungkinan merupakan konsekuensi dari penipuan diri sendiri ketika mendengarkan nasihat yang bertentangan dari kolega dekat.
Paranoid itu, disebut Mohanraj, karena pelepasan dopamin tingkat tinggi. “Diktator berkembang dalam keadaan dopamin tinggi, ketika sistem tidak memiliki checks and balances,” ujar Mohanraj dalam the Star.