Nasib pilu masyarakat adat, tanah makin sempit terimpit proyek
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 1.425 wilayah adat sejak Agustus 2023 hingga 18 Maret 2024, dengan luas wilayah mencapai 28,2 juta hektare (ha). Adapun luas total wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah (pemda) mencapai 240 wilayah adat, dengan luas wilayah mencapai 3,9 juta ha. Luasan tersebut hanya 13,8% dari total wilayah adat yang teregistrasi di BRWA, yang sebesar 19,9 juta ha.
Sementara untuk wilayah hutan adat yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya seluas 244.195 ha, di 131 wilayah adat. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo bilang, jumlah pengakuan itu jauh lebih rendah dari potensi wilayah hutan adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang mencapai 22,84 juta ha.
“Pengakuan hutan adat ini sejak Desember lalu tidak ada pengakuan. Kami sebenarnya sedang menunggu hutan adat di wilayah Tapanuli Utara itu ada tujuh, sudah selesai proses verifikasinya, tinggal menunggu SK Menteri LHK untuk penetapannya,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (21/3).
Kata Widodo, capaian-capaian itu menunjukkan lambatnya kerja pengakuan masyarakat dan wilayah adat, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Dari sisi pemerintah daerah, lambatnya penetapan wilayah adat terjadi karena tidak adanya program dan dana yang khusus dianggarkan untuk registrasi wilayah, berikut hutan adat.
Sedangkan dari pemerintah pusat, lambatnya kerja pencatatan wilayah adat terjadi karena tidak adanya komitmen yang kuat untuk mengakui masyarakat dan wilayah adat. “Ini perlu perhatian kita semua, dan juga pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK untuk segera melakukan upaya-upaya percepatan dan perluasan verifikasi wilayah adat,” imbuh Widodo.
Rentan konflik
Sementara itu, telah diakuinya wilayah tidak membuat masyarakat adat terbebas dari masalah. Sebab, sekitar 90% wilayah adat yang telah terverifikasi dan diakui, masuk ke dalam wilayah konflik, yang membuatnya rentan terhadap perampasan tanah.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, di akhir 2023 ada sebanyak 2,5 juta ha tanah adat yang dirampas. Sedangkan dalam lima tahun terakhir, ada sekitar 5,5 juta ha wilayah adat yang dirampas oleh berbagai pihak berkepentingan.
Perampasan wilayah adat ini dilakukan melalui beberapa modus, yakni, melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek-proyek energi, maupun penguasaan negara melalui konservasi hutan lindung dan lainnya.
“Itu besar sekali dan pemerintah tidak pernah menunjukkan ada upaya penyelesaian masalah ini,” kata Deputi II Sekjen AMAN bidang Advokasi dan Politik Erasmus Cahyadi, saat dikonfirmasi Alinea.id, Jumat (22/3).
Parahnya, perampasan hak atas tanah tersebut juga disertai dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. AMAN mencatat, tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang terjadi di sepanjang tahun 2023 telah memakan 247 korban, dengan 204 di antaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia karena tertembak.
Tidak hanya itu, konflik di kawasan konservasi negara juga telah menghancurkan sekitar 100 rumah masyarakat adat. Menurut aktivis yang kerap disapa Eras itu, lambatnya capaian registrasi wilayah adat dan hutan adat, perampasan hak atas tanah serta kriminalisasi menunjukkan lemahnya pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat adat.
“Komitmen pemerintah lemah, tidak ada iktikad yang serius untuk memperkuat komitmen dalam pengakuan dan melindungi masyarakat adat,” ujarnya.
Baru-baru ini, ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat terlihat dari instruksi Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) yang meminta masyarakat adat Pemaluan dan warga pendatang pindah dari Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku hanya dalam waktu 7x24 jam setelah surat sampai di tangan. Instruksi itu tertuang dalam Surat Teguran Pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III2024 tertanggal 4 Maret 2024, yang menyatakan rumah warga di RT 05 seharusnya sudah dibongkar pada Agustus dan Oktober 2023.
Tidak hanya masyarakat adat Pemaluan, di IKN pun ada masyarakat adat lainnya seperti Suku Balik dan Suku Paser. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengungkapkan setidaknya ada 100.000 ha wilayah adat yang tersebar di empat wilayah di area mega proyek IKN, di Mentawir, Sepaku, Pemaluan, dan Maridan.
“Kalau dari catatan kami, luas kawasan hutan yang masuk wilayah adat itu ada sekitar 70% hingga 80%. Dari data di sekitar IKN, potensi hutan adatnya sekitar 70.000-an ha,” katanya.
Sayangnya, wilayah adat dan hutan adat yang ada di dalam IKN belum bisa diproses, karena kini status Penajam Paser Utara adalah Otorita. Artinya, proses registrasi dan pencatatan wilayah dan hutan adat di daerah itu, kini sudah tidak lagi sama dengan proses yang harus ditempuh di daerah yang berstatus kabupaten atau kecamatan.
“Sebagai Otorita, penanganan (masyarakat adat) tidak lagi bisa dilakukan oleh Kabupaten Penajem Paser Utara, sebagai wilayah awal administrasi. Ini jadi persoalan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di IKN,” lanjut Widodo.
Kini, masyarakat-masyarakat adat yang sebelumnya tinggal di hutan-hutan di Penajem Paser Utara harus tersudut ke daerah ‘sabuk hijau IKN’. Di mana di sini, kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak bisa melakukan apapun, selain menunggu pemerintah ‘menata’ mereka.
“Ini menjadi pertanyaan kita juga, tentang bagaimana pemerintah akan memperlakukan delapan komunitas masyarakat adat di wilayah IKN ini. Karena sampai sekarang, beberapa tawaran yang sudah disuarakan pemerintah, seperti relokasi sudah ditolak oleh masyarakat adat,” beber Eras.
Eras menyambung, sebenarnya, Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UU MA) sedikit bisa mengatasi derita yang masih meliputi masyarakat adat. Sayang, sejak pertama kali direncanakan pada 2009 lalu, sampai kini UU ini tidak pernah jadi.
Urusan pengakuan masyarakat adat pun masih terus dijalankan mengikuti peraturan perundangan sektoral, yang kebijakannya kerap kali berbeda antara satu kementerian dengan kementerian lain. Akibatnya, tidak ada kelembagaan dan progam di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
“Oleh karena itu AMAN sedang berusaha untuk menggugat presiden dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena 15 tahun tak kunjung sahkan RUU Masyarakat Adat”, kata Eras.
Ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayah adat berpotensi masih terus berlangsung di masa transisi pemerintahan maupun pada masa pemerintahan mendatang. Ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah menjadi kombinasi yang sempurna terhadap perampasan wilayah adat serta penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya.
“Kerumitan yang dialami masyarakat adat dalam menghadapi kondisi politik kebijakan daerah dan birokasi pengakuan wilayah adat, hak-hak atas tanah, hutan serta wilayah pesisir laut perlu segera dihentikan. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan terobosan kebijakan,” pungkas Eras.