Kebetawian dan pengakuan negara
"Saya adalah orang Betawi" merupakan penegasan terhadap identitas diri kita dalam rangka menjawab keraguan orang terhadap kebetawian kita. Pernahkah kita ragu untuk menunjukan bahwa diri kita adalah seorang Betawi? Adakah orang yang apabila ditanyakan tentang kebetawiannya, lantas menjawab, "Hal itu tidak penting bagi saya!"
Pernyataan-pernyataan di atas menjadi soal, menjadi keraguan, bahkan menjadi keengganan dalam masyarakat Betawi yang harus dijawab. Terlepas dari pengakuan diri, hal itu juga sangat dipengaruhi idiom yang secara harfiah berbeda dengan kenyatan, seperti Betawi kagak sekolah, tukang jual tanah warisan, dan banyak lagi yang kemudian ditanamkan secara turun-temurun oleh mereka yang tidak mengetahui fakta orang Betawi saat ini.
Keselarasan dan kesetaraan saat ini tengah terbangun dalam masyarakat Betawi untuk menghilangkan idiom negatif. Meskipun tidak mudah, tetapi keselarasan masyarakat Betawi akan menjawab perubahan zaman, kesetaraan dengan diberikannya pengakuan oleh negara dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 adalah hak identitas kebetawian sekaligus kewajiban negara yang diatur dalam UUD 1945 dan perundangan lainya di era otonomi daerah.
Eksistensi dan peran masyarakat di era otonomi daerah sejatinya membuka ruang bagi tokoh-tokoh lokal untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah. Pesatnya pembangunan harus sejalan dan disertai pertumbuhan masyarakat lokal, berkembangnya kearifan lokal, dan lahirnya tokoh-tokoh lokal agar tujuan pelimpahan kewenangan atau desentralisasi dari pusat ke daerah berjalan secara berkesinambungan.
Ketergantungan terlihat dari proses pembangunan politik sebagai kebutuhan pokok negara. Ketergantungan tersebut mencakup partisipasi masyarakat, baik lingkup partisipasi politik formal kenegaraan dan partisipasi politik informal yang terkait dengan geneologis teretorial, untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas pembangunan daerah.
Reformasi politik di Indonesia mestinya membuahkan hal positif terkait reformulasi hubungan negara dengan masyarakatnya sehingga, baik negara maupun masyarakat, mengalami berbagai tuntutan perubahan secara bersama dan mendasar, yang harus diatur dalam berbagai ketentuan perundangan. Tuntutan ini dimaksudkan agar hubungan negara dan masyarakat memiliki tujuan yang sama, menempatkan masyarakat sebagai pengendali utama jalannya pemerintahan.
Pengakuan negara
Bukan saja soal momentum politik dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), yang mengharuskan kekhususan Jakarta sebagai ibu kota dalam UU 29/2007 ditarik, terakomodasinya identitas sebuah komunitas atau kaum merupakan suatu yang penting bahkan prinsipiel karena berbagai kepentingan manusia sesungguhnya bertitik tolak darinya. Oleh karena itu, mempertahankan dan menjaga identitas menjadi sebuah misi penting setiap komunitas atau kaum.
Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas telah menjadi milik semua komunitas atau kaum, suatu hal yang mendorong sebagian komunitas melakukan "agresi identitas" terhadap lainnya.
Oleh sebab itu, revisi UU 29/2007 seyogianya memasukkan beberapa hal mendasar yang mengakomodasi kepentingan masyarakat Betawi. Misalnya, mencantumkan lembaga adat dan memasukkan tokoh Betawi dalam Dewan Kawasan (Dewas) Jabodetabekpunjur.
Dalam pidatonya pada peringatan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1964, Bung Karno memaparkan gagasannya tentang Trisakti. Ia meyakini bahwa Trisakti adalah "senjata ampuh" untuk mewujudkan Indonesia maju, berdaulat, mandiri, dan berbudaya.
Bung Karno memahami betul bahwa Indonesia kaya akan budaya karena dihuni sekitar 1.340 suku bangsa. Oleh sebab itu, budaya menjadi salah satu aspek penting dalam penyusunan Trisakti selain politik dan ekonomi.
Masyarakat Betawi, yang saat ini berhimpun dalam berbagai kelompok berakar budaya, sepatutnya bersatu tanpa menanggalkan identitasnya masing-masing, dan dengan pengkuan negara membentuk lembaga adat masyarakat Betawi. Kehadiran Lembaga Adat Masyarakat Betawi (LAMB) adalah hal mendasar dan mendesak untuk menjawab tantangan-tantangan ke depan. Sebab, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 Tahun 2007, ia memiliki fungsi, peran, dan kewenangan yang vital.
Permendagri 5/2007 juga secara tidak langsung mengingatkan kepada pemerintah agar melibatkan lembaga adat dalam merencanakan, mengarahkan, menyinergikan program pembangunan agar sesuai tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Tokoh Betawi pun harus mendapatkan posisi strategis pada Dewas Jabodetabekpunjur. Harapannya, paradigma Dewas Jabodetabekpunjur dalam membantu penanganan masalah di Jakarta dan sekitarnya tidak bersifat fisik, tetapi dikuatkan dengan nilai-nilai kebudayaan yang hidup dalam masyarakat sehingga kebijakan yang dikeluarkan nantinya memiliki fondasi yang kuat dan mengakar. Paradigma pembangunan ini yang belum nyata terasa di masyarakat dan Jakarta harus memulainya.
Diakomodasinya lembaga adat Betawi dan masuknya tokoh Betawi dalam Dewas Jabodetabekpunjur pada draf revisi UU 29/2007 merupakan bentuk pengakuan negara terhadap salah satu suku bangsanya, Betawi. Ini tidak bisa ditawar dan dinegosiasikan, sebab ini adalah keniscayaan.