Dalam jumpa pers di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Jumat (29/11), anggota KPU August Mellaz menyampaikan, partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 di bawah 70%. Meski begitu, menurutnya, angkat tersebut masih terbilang normal daripada Pilpres 2024 lalu.
Di sisi lain, kondisi penurunan partisipasi pemilih terjadi di Pilkada Jakarta 2024. Lembaga survei Charta Politika mencatat, partisipasi Pilkada Jakarta 2024 hanya 58%. Sedangkan pada Pilkada Jakarta 2017 angkanya 72%.
Sementara data Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta menyebut, angka partisipasi di Pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya sekitar 4,3 juta suara, dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, sekitar 3,4 juta orang memilih golput.
Bahkan, hasil perhitungan cepat Litbang Kompas menyebut, Pilkada Jakarta 2024 mencatatkan angka golput tertinggi di Pulau Jawa, yakni mencapai 42,07%. Hal ini menjadi angka partisipasi pilkada paling rendah sepanjang sejarah pesta demokrasi di ibu kota. Provinsi dengan angka golput tertinggi berikutnya adalah Jawa Barat (33,66%), Jawa Timur (30,15%), dan Jawa Tengah (26,44%).
Menurut peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati, partisipasi yang rendah salah satunya karena masa sosialisasi calon kepala daerah yang pendek, sehingga pemilih tidak merasa punya ikatan dengan pasangan calonnya.
“Dan masih banyaknya pasangan calon luar daerah berlaga di pilkada (yang bukan wilayahnya),” ujar Wasisto kepada Alinea.id, Minggu (1/12).
Karena banyak calon kepala daerah yang berasal dari luar wilayah pemilihan, imbasnya mereka tak memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat. Wasisto memandang, gerakan golput mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap situasi politik.
“Yang mana masyarakat merasa suara mereka tidak didengar,” tutur dia.
Dengan kondisi ini, Wasisto menyarankan partai politik untuk berbenah dalam melakukan pengkaderan calon kepada daerah mendatang. Tujuannya, agar lebih responsif di ruang publik, sehingga bisa mendorong kesadaran warga.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul mengatakan, partisipasi publik dalam pilkada rendah karena tokoh yang dimajukan sebagai calon kepala daerah adalah figur politik instan, bukan tokoh dengan rekam jejak yang kuat.
“Hal ini menyebabkan dukungan dari akar rumput menjadi lemah, seperti yang terjadi di Surabaya,” kata Adib, Minggu (1/12).
Sebagai informasi, Pilkada 2024 di Kota Surabaya hanya diikuti calon tunggal sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota, yakni Eri Cahyadi-Armuji. Mereka didukung 18 partai politik.
Charta Politika mencatat, dari hasil hitung cepat Eri Cahyadi-Armuji unggul dengan perolehan suara 83,98%, melawan kotak kosong sebanyak 16,02%. Pilkada Surabaya adalah satu dari 37 daerah yang diikuti calon tunggal versus kotak kosong.
Adib menilai, strategi yang efektif untuk mendorong kesadaran politik masyarakat adalah dengan menghadirkan calon yang benar-benar merepresentasikan kepentingan warga kalangan bawah atau akar rumput.
“Tokoh politik seharusnya adalah mereka yang memiliki rekam jejak kuat di kalangan masyarakat lokal,” ujar Adib.
“Dengan begitu, secara tidak langsung, partisipasi publik akan meningkat karena mereka melihat calon ini membawa gagasan, program, dan pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan warga.”
Menurut Adib, pendekatan lokalistik dalam politik sangat penting. Sebab, hal itu bisa meningkatkan semangat dan gairah para pemilih. Selain itu, KPU pun harus memikirkan strategi baru, dengan visi yang lebih segar.
“Bagaimana cara mereka berkomunikasi, khususnya dengan generasi muda, dan bagaimana mereka bersosialisasi juga perlu diperhatikan,” tutur Adib.