Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak punya niat menghapus operasi tangkap tangan (OTT) jika terpilih jadi Ketua KPK periode 2024-2029. Johanis menyebut OTT tak sesuai dengan isi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"OTT itu tidak tepat dan saya sudah sampaikan kepada teman-teman (pimpinan KPK saat ini). Tapi, seandainya bisa jadi, mohon izin, jadi Ketua (KPK), saya akan tutup (OTT)," kata Tanak dalam sesi tanya jawab uji kelayakan capim KPK, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (19/11).
Tanak kala itu menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Rudianto Lallo mengenai relevansi OTT pada KPK. Mendengar pernyataan Tanak, anggota Komisi III DPR RI yang hadir sebagai penguji kompak bertepuk tangan.
KUHAP, menurut Tanak, mendefinisikan tangkap tangan sebagai penangkapan ketika atau tak lama setelah pelanggaran hukum pidana terjadi. Adapun diksi operasi bermakna sesuatu yang telah direncanakan. Oleh karena itu, terminologi OTT dianggap Tanak tak tepat secara hukum.
Jika Tanak bicara soal legalitas OTT, capim KPK Poengky Indarti menyoroti OTT dari sisi efektivitas. Ia berpendapat fokus kepada upaya-upaya pencegahan lebih baik dibandingkan OTT. Capim KPK yang punya pendapat serupa ialah Fitroh Rohcahyanto, Michael Rolandi dan Alamsyah Saragih
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengkritik pernyataan Tanak yang ingin meniadakan OTT bila dia menjadi pimpinan KPK. Menurut Zaenur, Tanak sedang menjilat anggota Komisi III agar diloloskan menjadi pimpinan KPK.
"Jadi, KUHAP itu menjelaskan penangkapan dilakukan setelah terjadi tindak pidana. Itu makanya disebut tangkap tangan. Jadi, ini adalah sesat pikir dari Tanak yang sekadar ingin mengambil hati dan menyenangkan anggota DPR. Sebab, anggota DPR itu paling takut dengan OTT," kata Zaenur kepada Alinea.id, Rabu (20/11).
Menurut Zaenur, keputusan untuk menggelar OTT oleh penyidik KPK bukan datang tiba-tiba. Lazimnya OTT dijalankan lantaran suap atau korupsi yang dilakukan terduga pelaku korupsi terjadi untuk yang kesekian kalinya. OTT, kata dia, tidak semata-mata akrobat KPK.
"Kalau itu (OTT dihapuskan), maka akan menggagalkan upaya untuk membongkar terjadinya suap. Ini memang pertaruhan di Komisi III. Apakah akan memilih pimpinan KPK yang independen, bersih dan profesional atau memilih pimpinan KPK yang asal bapak senang (ABS). Kalau hanya memilih ABS, KPK dalam 5 tahun yang akan datang akan terus terpuruk," kata Zaenur.
Menurut Zaenur, pimpinan KPK yang bermental ABS tidak bisa diharapkan membawa perubahan positif pada kinerja KPK. Jika diloloskan Komisi III, Zaenur berharap capim bermental ABS tetap dicoret oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Prabowo saat ini memegang kendali koalisi yang sangat besar dan saya berharap dia mengembalikan independensi KPK. Saya tidak yakin KPK akan independen kalau pimpinan yang dipilih itu ABS," kata Zaenur.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menilai pernyataan Tanak berbahaya. Itu bisa dipersepsikan sebagai indikasi KPK di tangan Tanak akan lebih melindungi pejabat dan politikus korup yang selama kerap terjerat OTT.
"Itu menunjukkan keberpihakan dia. Sudah jelas Tanak tidak berpihak pada antikorupsi. Kalau dia terpilih, maka pemberantasan korupsi semakin kuat bahwa hanya sekadar gimik belaka," kata Orin kepada Alinea.id, Rabu (20/11).
OTT, kata Orin, justru cara kerja istimewa KPK yang membedakannya dengan penegak hukum lain dalam memberantas korupsi. Meskipun kian langka sejak revisi UU KPK pada 2019, OTT tak semestinya dihapus jika diperlukan.
"Pemberantasan korupsi sejak revisi UU KPK tahun 2019 itu sudah sangat jauh melemah. Tiada lagi ekspektasi yang berlebih kok memang sejak awal," kata Orin.