Berita bohong atau hoaks dinilai mulai menyerang peserta Pemilu Presiden 2024. Prabowo menjadi korban pertamanya.
Diberitakan sebelumnya, beredar kabar Prabowo menampar dan mencekik Wakil Menteri Pertanian di istana menjelang rapat. Bahkan diberitakan juga Jokowi sangat marah atas kejadian itu.
Kabar itu pun meluas cepat sekali. Bahkan diedarkan tidak hanya oleh orang awam tetapi juga oleh kalangan terpelajar, dan oleh mereka yang juga dihormati.
Tak lama kemudian datanglah bantahannya. Dari lembaga yang bersangkutan, dari Kementerian Pertanian itu sendiri. Lembaga ini mengatakan berita soal Prabowo menampar dan mencekik Wakil Menteri Pertanian itu tidak benar.
"Ternyata Itu berita bohong. Alias hoaks. Alias palsu. Alias fitnah," kata pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dalam keterangan resminya, Rabu (20/9).
Kemudian Jokowi pun membantah. Jokowi mengaku, tidak ada peristiwa seperti itu, seperti mencekik. Jokowi pun mengakui kalau sekarang ini tahun politlk. Jadi, akan banyak berita-berita seperti itu.
Kepada wartawan di Bandung pada Selasa (19/9), Jokowi meminta kepada semua pihak untuk melakukan cross check. Dicek lagi kebenarannya. Jangan diterima mentah-mentah setiap ada berita .
"Pertanyaannya adalah mengapa berita bohong seperti ini cepat sekali diedarkan? Bahkan juga disebar oleh mereka kalangan terpelajar?" tanya Denny JA.
Denny pun menjawabnya dengan data. Dia merujuk pada sebuah studi yang dibuat oleh MIT, Amerika Serikat di 2018, atas ribuan posting di Twitter.
MIT menyimpulkan berita bohong menyebar lebih cepat dibandingkan berita yang benar. Bahkan dikatakan, menyebarnya berita bohong enam kali lipat lebih cepat.
Berita bohong pun memiliki probability (kemungkinan) disebarkan 70% lebih banyak ketimbang berita sebenarnya.
"Mengapa publik mudah tertipu dan sepertinya lebih berita bohong? Pertama, berita bohong itu jauh lebih seksi, jauh lebih menyentuh emosi," ucap dia.
Masyarakat dinilai menyukai berbagai hal-hal yang sensasional, dan cepat terdorong ikut menyebarkannya.
Kedua, berita bohong pun mudah sekali dibuat. Tinggal menambahkan saja drama, bumbu, sensasi di sana. Jadilah berita yang asyik.
Sementara berita yang benar memerlukan riset yang lebih mendalam. Memerlukan detail untuk dicek dan recheck. Berita yang benar memerlukan proses yang lebih lama. Sehingga selalu kalah cepat.
Ketiga, menurut Denny, pada dasarnya sebagian publik sudah memiliki prasangka dan bias. Mereka sudah memiliki citra dan bias tertentu kepada tokoh tertentu dan isu tertentu. Hal ini dinilai berbahaya.
Ketika mereka mendengar ada berita seperti itu, yang mendukung prasangkanya, mereka tak hanya cenderung percaya. Tetapi mereka cenderung meyakini berita itu benar- benar terjadi. Bahkan dengan gembira, suka cita, rasa puas, mereka ikut pula menyebarkannya.
Bahkan kaum terpelajar dan mereka yang dihormati bisa hilang metode kritisnya karena hadirnya prasangka dan bias.
Itu sebabnya berita bohong disebut mudah sekali beredar. Apalagi di era media sosial.
"Menjelang Pilpres 2024, makin ke sana kita akan melihat makin banyak berita bohong tersebar. Hanya satu senjata untuk menghadapinya. Yaitu cek dan recheck," papar dia.