Dalam serangkaian persidangan gratifikasi pemerasan terhadap anak buah yang dilakukan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, uang mengalir ke banyak pihak. Termasuk ke keluarga dan Partai NasDem—partai politik tempat Syahrul dahulu bernaung.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Senin (27/5), staf khusus Menteri Pertanian era Syahrul Yasin Limpo yang juga wakil bendahara Partai NasDem, Joice Triatman, yang dihadirkan sebagai saksi mengungkapkan, dirinya memakai Rp50 juta dari Rp850 juta uang Kementerian Pertanian untuk acara bakal calon legislatif (bacaleg) Partai NasDem.
Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni mengaku, telah mengembalikan uang Rp860 juta—bukan Rp850 juta—yang diberikan Syahrul Yasin Limpo untuk keperluan partainya kepada KPK.
Dalam sidang kasus korupsi dana base transceiver station (BTS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang melibatkan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate pada Oktober 2023 lalu, jaksa penuntut umum pun mengonfirmasi adanya pembayaran dari Johnny untuk pembuatan kaos Partai NasDem sebesar Rp100 juta. Namun, mantan politikus Partai NasDem itu berdalih, segala pengeluaran untuk partai berasal dari kocek pribadinya.
Menurut pengamat politik dari Institute for Digital Democracy (IDD) Yogyakarta Bambang Arianto, fenomena partai politik menerima aliran dana korupsi dari kadernya yang menjabat di institusi tertentu merupakan sebagian kecil dari kondisi utuh di setiap partai politik.
Sebab, kebutuhan partai poitik terhadap dana tidak bisa dielakan lagi besarnya. Sayangnya, kolektif dari para kader maupun simpatisan dan pemerintah, dianggap tak pernah cukup untuk memenuhi biaya operasional setiap partai politik.
“Fenomenanya ya memang mirip, partai politik jadi alat pencuci uang,” kata Bambang kepada Alinea.id, Sabtu (8/6).
Apalagi bila sudah masuk persiapan pemilu. Belum lagi, kondisi Partai NasDem yang juga memiliki organisasi sayap, kerap menjadi ladang dulang rupiah. Dana siluman, seperti diduga terjadi pada dua kasus tindak pidana korupsi yang menyeret Syahrul dan Johnny, adalah contoh nyata.
Sementara itu, untuk menghindari dana siluman ke partai politik tersebut, pengamat politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat menyarankan agar ada undang-undang terkait pendanaan politik. Alasannya, keuangan partai politik harus segera diatur. Terutama soal aliran masuk dan segala sumbernya.
“Aturan ini sudah diterapkan negara-negara kawasan Afrika,” tutur Cecep, Minggu (9/6).
Tak bisa dimungkiri, kata dia, persoalan ini terkait adanya desakan partai politik lantaran harus memenuhi kebutuhan operasional. Meski bisa saja kader partai politik itu memang terbilang serakah.
Cecep menuturkan, bila hanya sebatas pengawasan, masih terbilang berat tanpa penindakan. Partai politik harus diberikan aturan main yang lebih baik untuk mencari dana. Misalnya membuat badan usaha swasta.
“(Masalah ini terjadi) kan karena keuangan partai belum diatur, masalah pendanaan partai belum jelas. Misalnya, apakah partai boleh atau enggak punya badan usaha?” kata Cecep.