Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan sejumlah persoalan pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 lalu. Persoalan yang dimaksud terkait pemenuhan hak para pemilih di daerah yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun lembaga lainnya.
Berdasarkan pemantauan Komnas HAM di beberapa daerah, seperti di Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Maluku, ditemukan adanya ketidakselarasan data antara data KPU dengan asas HAM. KPU cenderung mengabaikan pemilih yang tidak memiliki KTP-elektronik, sehingga menjelang tahap pemungutan suara, persoalan tersebut menjadi sorotan publik.
"Walaupun akhirnya Kementerian Dalam Negeri dan KPU berupaya melakukan perekaman dan memfasilitasi pemilih dengan Surat Keterangan dan penerbitan KTP-elektronik, upaya itu terlambat dan sulit implementasinya, karena hanya berlaku bagi mereka yang tercatat dalam DPT. Padahal secara umum, syarat agar masuk dalam DPT harus memiliki dokumen tersebut," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah di kantornya di Jakarta, Senin (6/7).
Tak hanya itu, menurut Hairansyah, penyelenggara pemilu juga masih mengabaikan hak-hak bagi para pasien yang ada di rumah sakit. Menurutnya, KPU di tingkat daerah terkesan tak membangun koordinasi yang baik dengan Dinas Kesehatan setempat dan pihak rumah sakit. Walhasil, hal ini berdampak kepada hilangnya hak para pemilih.
"Adapun fasilitas yang terjadi sangat minimal, sebagi contoh di RS Kariadi Semarang. Dari sekitar 2.000 pasien dan petugas medis, hanya dilayani oleh enam TPS dengan total surat suara sekitar 125 buah," ucapnya menjelaskan.
Selain itu, pemenuhan hak bagi pasien ganguan kejiwaan juga belum menjadi perhatian serius penyelenggara pemilu. Pada bagian ini, masih terdapat kekurangan penanganan, baik dari sisi pendataan maupun fasilitas pada tahap pemungutan suara.
Komnas HAM juga melihat potensi timbulnya konflik sosial yang berlatar belakang SARA, masih merebak di media sosial. Hal ini dikhawatirkan dapat berujung pada persekusi di lapangan.
Oleh karenanya untuk menghadapi Pilpres 2019 yang memiliki eskalasi politik tinggi, dan berkaca pada Pilkada Serentak 2018, Komnas HAM mendorong para pihak terkait, seperti KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri, melaksanakan tugas dan tanggung jawab ke arah yang semakin baik dalam menghadapi Pilpres 2019 mendatang.
"Harus menjadi perhatian, seperti meningkatkan jaminan pemenuhan hak pilih bagi tahanan, dan harus saling koordinasi untuk pemenuhan hak pilih bagi para disabilitas. Kalau bisa, mendorong mereka semakin berpartisipasi sebagai petugas penyelenggara pemilu. Untuk Kemendagri, percepat pelayanan penerbitan KTP-elektronik bagi seluruh penduduk Indonesia bagi yang telah berhak yaitu 17 tahun, agar nanti hak-haknya tak hilang," kata Hairansyah menuturkan.
Terkait adanya ancaman konflik masyarakat yang berlatarbelakang SARA, Komnas HAM mendorong Kepolisian RI untuk meningkatkan pengawasan terhadap pelanggaran pemilu ke depan. Terutama apabila telah terjadi persekusi.
"Karena begitu potensi itu muncul dan tidak laten lagi dan berubah menjadi manifes, ini akan jauh lebih berat. Misalnya saja residu-residu bekas pemilihan 2014, kalau kita lihat di medsos masih banyak, dan ini kan terus mengeras menjadi dua kubu. Seolah-olah, Indonesia ini hanya hitam dan putih saja. Apabila kondisi ini tidak menjadi perhatian, maka akan terus mengeras," kata Beka Ulung Hapsara, Koordinator Subkom Pemajuan HAM di lokasi.
Meski demikian, Komnas HAM sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, maupun Kemendagri, dalam menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018, karena terbukti berjalan lancar.
"Kalau kita lihat kan sedikit sekali yang menggugat ke MK terkait sengketa Pilkada. Tapi tetap ada beberapa catatan, agar nanti dalam menghadapi Pilpres 2019 yang serentak antara legislatif dan eksekutif, dan eskalasi politiknya yang tinggi, dapat berjalan secara lancar," pungkasnya.