close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Freepik
icon caption
Ilustrasi. Freepik
Nasional
Rabu, 19 Agustus 2020 13:15

HUT 75 RI: Diskriminasi tak kunjung surut

Sebanyak 940 media massa memuat 5.117 berita tentang diskriminasi rentang 1 Januari-10 Agustus 2020.
swipe

Masih kerap terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan rentan di Indonesia hingga kini. Usia 75 tahun tak menjadi tingkat berkeadaban di Indonesia membaik, khususnya toleransi terhadap sesama yang berbeda. Keberadaan berbagai regulasi–seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis–pun demikian, tidak bisa menjadi alarm dini untuk mengikis intoleransi.

Berdasarkan pemberitaan media daring lokal dan nasional rentang 1 Januari-10 Agustus 2020, Alinea.id mencatat, terdapat 5.117 berita terkait diskriminasi di 940 portal. Angka kejadian sebenarnya bisa jadi lebih besar dibandingkan yang dimuat media massa.

Seluruh pemberitaan tersebut memuat tentang 18 kasus diskriminatif terhadap penyandang disabilitas serta berbasis agama dan gender. Insiden terjadi di 17 kabupaten/kota di 10 provinsi.

Berdasarkan jenisnya, diskriminasi berbasis agama di puncak dengan 10 kasus (56%). Kemudian, enam kasus (33%) terhadap penyandang disabilitas dan dua kejadian (11%) berbasis gender.

Tindakan diskriminatif tertinggi terjadi di Jawa Barat (Jabar) dengan empat kasus. Perinciannya, tiga kasus diskriminasi agama di Kuningan (penyegelan bakal makam tokoh adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan), Kabupaten Sukabumi (penyegelan pintu Masjid Al Furqon milik jemaah Ahmadiyah), dan Kota Bogor (polemik penolakan pembangunan GKI Yasmin) serta satu kasus diskriminasi disabilitas, yakni (pengusiran terhadap 41 disabilitas dari Balai Wyata Guna, Kota Bandung.

Kemudian, tiga kasus di Sumatera Barat (Sumbar). Mencakup kriminalisasi terhadap aktivis pejuang hak minoritas, Sudarto, karena menyerbarkan informasi larangan ibadah Natal di Dharmasraya; penolakan aplikasi Injil berbahasa Minang; dan pemberhentian calon pegawai negeri sipil (CPNS) jalur disabilitas pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumbar, Alde Maulana.

Berikutnya, masing-masing dua kasus di DKI Jakarta, Aceh, dan Jawa Tengah (Jateng). Pemberitaan terkait perlakuan diskriminatif di Ibu Kota menyangkut penderitaan penyandang disabilitas mental yang terkurung dalam ruangan tidak layak di panti-panti sosial selama pandemi coronavirus baru (Covid-19) dan pembakaran hidup-hidup seorang transpuan di Jakarta Utara.

Sementara itu, insiden di “Serambi Makkah” meliputi penahanan terhadap penyandang disabilitas, Darmansyah, atas dugaan pengeroyokan di Aceh Barat dan razia polisi syariah terhadap transpuan pekerja salon. Sedangkan di Jateng, adalah perlakuan diskriminatif Badan Kepegawaian Daerah (BKD) provinsi dalam proses seleksi CPNS disabilitas asal Kota Pekalongan, Muhammad Baihaqi dan penyerangan acara doa pernikahan midodareni di Kota Surakarta.

Lalu, masing-masing satu kasus di Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Utara (Sumut), Jawa Timur (Jatim), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Utara (Sulut). Diskrimasi di Kepri mengenai penolakan renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Karimun. Adapun di Sumut menyangkut perusakan warung Lamria boru Manullang oleh Front Pembela Islam (FPI) saat melakukan penyisiran (sweeping) di Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang.

Diskriminasi di Jatim diterima Suyanto, warga di Dampit, Kabupaten Malang. Orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ) ini dipasung oleh keluarganya. Sementara di NTB mengenai trauma 114 jemaah Ahmadiyah yang enggan pulang ke Perumahan Bumi Asri Ketapang di Desa Gegerung, Lombok Barat dan memilih tetap mengungsi di Asrama Transito Kementerian Sosial (Kemensos) di Kota Mataram sejak 2006 lantaran dipersekusi.

Sedangkan diskriminasi di Sulut dirasakan umat muslim Perumahan Agape Griya, Desa Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara, pada 29 Januari. Kala itu, bangunan yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan Musala Al Hidayah dirusak sekelompok orang. Diduga karena menolak izin pendirian tempat ibadah.

Kasus terpopuler

Dari 18 kasus tersebut, sebanyak lima di antaranya paling banyak disorot publik. Pertama, kasus pembubaran paksa disertai kekerasan fisik dan verbal saat midodareni di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Sabtu (8/8). Perisakan oleh ormas ini diduga karena kegiatan yang dilakukan keluarga korban, Assegaf bin Juhri, dianggap tidak sesuai syariat Islam. Aparat sedikitnya telah mengamankan lima pelaku, empat di antaranya berstatus tersangka.

Berikutnya, perusakan Musala Al Hidayah di Minahasa Utara. Pascainsiden, forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) bersama tokoh masyarat dan agama setempat mengadakan pertemuan tertutup, 30 Januari, dan menghasilkan tiga kesepakatan. Perinciannya, bupati akan meneken surat perizinan pendirian musala jika persyaratan lengkap serta balai pertemuan akan diperbaiki dan ditutup sementara sembari proses pengajuan perizinan.

Ketiga, penyegelan bakal makam tokoh adat Karuhun Urang di Kuningan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan kilah tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Tindakan aparat penegak peraturan daerah (perda) itu pun menuai kritik dari Komisi Nasional (Komnas) HAM hingga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) karena menghalami ekspresi atau pengamalan agama yang dijamin konstitusi.

Kemudian, penolakan pembangunan Gereja Paroki Santo Joseph di Karimun, 6 Februari. Meski telah memiliki IMB, para penolak mendorong rumah ibadah direlokasi dan bangunan di lokasi lama dijadikan cagar budaya.

Terakhir, penyegelan pintu Masjid Al Furqon milik jemaah Ahmadiyah di Sukabumi oleh pemerintah kabupaten (pemkab) dengan dalih menghindari terulangnya insiden pembakaran pada 2008. Kaum Ahmadi–sebutan bagi pengikut Ahmadiyah–lalu mendatangi dan mengaku kepada Komnas HAM, 2 Maret.

Akar diskriminasi

Sementara itu, sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Erna Ermawati Chotim, menerangkan, diskriminasi–secara teori–lahir akibat upaya sekelompok masyarakat memelihara tatanan nilai dan norma yang dipegangnya. Sementara, masyarakat terdiri dari berbagai kelas.

“Ketika misalnya mau menikah dengan kelas yang lain, maka itu akan terjadi diskriminasi kelasnya kalau dia bukan satu kelas dengan kita, padahal sama-sama manusia,” ujarnya saat dihubungi Ardiansyah Fadli dari Alinea.id.

Dalam kelompok agama di Indonesia, terang dia, pun terdiri dari berbagai kelas dan di setiap kelas memiliki berbagai lapisan. Islam sebagai mayoritas merupakan kelas tersendiri.

“Kelas mayoritas dia punya nilai dan norma yang dianut dalam kelasnya. Itu bentuk konstruksi, sehingga (terhadap) yang bukan nonmuslim itu ada diskriminasi,” ucapnya.

“Termasuk laki-laki dan perempuan, yang normal terhadap yang disabilitas. Jadi secara sederhana begitu. Sehingga, memang persoalan diskriminasi itu enggak akan pernah hilang karena dia melekat dengan struktur sosial,” sambung peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) ini.

Demikian pula terhadap penyandang disabilitas. Mereka kerap termarjinalkan dari keluarga sendiri hingga negara lantaran dianggap bukan bagian dari kelasnya.

Karenanya, Erna menerangkan, diskriminasi selalu terjadi di seluruh negara. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan adalah meminimalisasi faktor-faktor pemicunya agar tidak terjadi diskriminasi.

“Makanya, kenapa harus ada undang-undang, norma, nilai, yang melindungi semua. Itu yang harus diupayakan,” jelasnya.

Dirinya berpendapat, kebijakan pemerintah mulai inklusif. Dicontohkannya dengan ruang pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas mulai membesar.

“Misal di Jakarta seperti di kereta api, di busway, itu ada tempat duduk prioritas, termasuk kelompok disabilitas. Itu sudah satu progress,” katanya.

“Terus kemudian kebijakan-kebijakan Jakarta sudah berikan ruang perkantoran. Itu juga diminta, diimbau untuk menerima, mempekerjakan dari kelompok dari kalangan disabilitas. Itu juga bagian dari progres,” lanjutnya.

Menurut Erna, adanya pandangan yang menganggap tidak ada kemajuan karena perubahan belum sesuai ekspektasi, terlebih saat dibandingkan dengan kebijakan di negara lain yang sistemnya lebih matang.

Meski demikian, dia berpendapat, perlu upaya lagi untuk mewujudkan masyarakat madani. Pertama, membangun budaya yang memperlakukan seluruh lapisan setara tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, dan normal atau disabilitas.

“Karena hukum hanya akan berjalan kalau budayanya mendukung. Kalau hukum ada tapi budayanya enggak ada, ya, tetap saja enggak akan sustain (menopang),” tegasnya.

Diumpamakannya dengan Jepang, di mana budaya penghormatan terhadap orang tua tinggi. Kelompok produktif di sana cenderung bekerja, intensif, dan rutin membayar asuransi. Sedangkan pemerintah menyediakan panti khusus orang tua dan memasukkan pada program asuransi.

“(Itu) budaya masyakaratnya melampaui dari hukumnya,” ujarnya. “Kalau basis kulturnya sudah ada, baru kemudian hukumnya. Hukum hanyan jadi koridor dari dinamika kultur yang sudah ada di masyakarat,” imbuhnya.

Sedangkan di Indonesia, pendapatnya, cenderung mengedepankan hukum dengan harapan budaya masyarakat terbentuk. Namun, harus disertai penguatan kultur.

Selanjutnya, membangun penguatan dari penyandang disabilitas seperti melalui pendidikan khusus. Kemudian, menyediakan media bagi kelompok rentan macam penyandang disabilitas untuk mengartikulasikan kebutuhannya.

“Sehingga ketika ada undang-undang dibuat untuk mereka, jadi bukan ‘kacamata’ orang normal (dipakai untuk) melihat orang tidak normal,” katanya.

Erna kemudian mencontohkan dengan pembuatan garis pemandu disabilitas netra di pedestrian (yellow line) yang kadang dibuat lurus sekalipun ada gangguan, seperti pohon, di depannya. Sehingga, membuat perjalanan penyandang disabilitas terganggu.

“Ini memperlihatkan, bahwa inisiatif untuk memberikan sebuah kebijakan terhadap kelompok disabilitas sudah benar, Tapi bagaimana implementasinya, kan, itu, ya, harus ditanya sama kelompok disabilitasnya. Jadi, jangan melihat dari cara pandang orang yang normal untuk orang yang tidak normal,” paparnya.

Pemerintah pun didorong memberikan edukasi dan sosialisasi sesuai kelas sosial sasarannya karena beragam. “Masyakarat itu heterogen, ya, kebutuhannya beda, dong,” tutup Erna.

img
Ardiansyah Fadli
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan