close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 21 Maret 2019 11:35

Donald Trump, Islamophobia dan diseminasi emotional communication

Diseminasi ideologi supremasi kulit putih oleh Presiden AS ke-45 tersebut sudah terlihat muaranya akan menuju pada kebencian terhadap agama
swipe

Manifesto teroris yang melakukan penembakan dan membantai 49 orang di wilayah Christchurch, Selandia Baru mengungkapkan bahwa mereka terinspirasi dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Hal tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Diseminasi ideologi supremasi kulit putih oleh Presiden AS ke-45 tersebut sudah terlihat muaranya akan menuju pada kebencian terhadap agama atau ras lain, termasuk Islamophobia.

Kekhawatiran masyarakat dunia merebak sejak sebelum ia terpilih untuk memimpin Negara Super-power tersebut. Pasalnya, rekam jejaknya saat sebelum dan selama kampanye yang penuh kontroversi dan rasisme berpotensi dapat merugikan siapapun di luar ras kulit putih.

Melalui Laporan Tahunan FBI pada 2017, terbukti bahwa kasus kriminal di AS yang disebabkan oleh kebencian terhadap ras, agama dan orientasi seksual meningkat 17% pasca pelantikan Trump sebagai tuan rumah the White House.

Jejak virus Islamophibia yang disebarkan oleh Trump sudah dimulai jauh sebelum Pilpres AS 2016. Pada 2011, ia pernah menyebar isu bahwa Barrack Obama secara diam-diam telah memeluk agama Islam. Pada 2015, saat pidato kampanye di depan para pendukungnya, ia menyatakan bahwa Amerika memiliki masalah serius di bernama Muslim.

Kemudian kontroversi yang paling fenomenal yang pernah dinyatakan Trump saat kampanye dan direalisasikan saat ia telah terpilih adalah pengetatan imigrasi dan pelarangan Muslim dari negara tertentu masuk ke Amerika.

Selain itu, saat ini Trump juga dikelilingi oleh para bigot anti-Muslim. Seperti John Bolton, Penasehat Keamanan Nasional yang juga menjabat sebagai ketua Gatestone Institute, sebuah institusi penyebar propaganda anti-Islam; Sebastian Gorka, mantan penasehat Trump yang pernah dipecat dari FBI karena paham Islamopobia; dan bahkan Sekretaris Negara, Mike Pompeo yang memiliki keterkaitan dengan organisasi Counter-Jihad.

Paham anti-Islam bahkan juga disuarakan oleh Fox News, merupakan stasiun tv berita yang beraliansi dengan Trump dan Partai Republik. Aksi tersebut dilakukan oleh salah satu presenter Fox News, Jeanine Pirro yang menyatakan hijab yang dikenakan muslimah tidak sesuai dengan konstitusi AS.

Emotional communication dan pembentukan perspektif

Proses diseminasi perspektif rasial dan Islamophobia yang dilakukan oleh Trump tergambar dalam teori emotional communication. Di mana ekspresi emosi melalui komunikasi verbal dan non-verbal dapat memengaruhi kondisi psikologi orang lain. Sebagai seorang tokoh dunia, Trump tentunya memiliki pengaruh lebih besar lagi dalam diseminasi emosi kekhawatiran, ketakutan dan kebencian terhadap Islam yang ia lakukan.

Terlebih lagi, hampir setiap ucapan dan tingkah laku Trump diliput dan disebarluaskan oleh media internasional. Dalam Jurnal Centre for the Study of Communication and Culture, Volume 24 (2005) No. 3 tentang media dan emosi, dijelaskan bahwa media berperan besar dalam menciptakan kekhawatiran dan ketakutan pada masyarakat.

Oleh sebab itu, dengan konten kekhawatiran, ketakutan dan kebencian terhadap muslim yang dikomunikasikan oleh Trump dan disebar luas melalui media massa internasional, maka persepsi Islamophobia dapat menjangkit tidak hanya di AS namun juga negara-negara lain seperti New Zeland.

Informasi emosional yang diperkenalkan oleh Trump dan disebarluaskan melalui media membentuk berbagai macam persepsi publik. Ada yang menolak dan ada juga yang menerima. Alurnya, menurut Fiske dan Taylor dalam buku mereka Social Cognition, informasi yang diterima oleh manusia akan diseleksi melalui sensor informasi.

Selanjutnya, informasi tersebut akan akan diorganisasikan berdasarkan pola kognitif pengalaman dan pemahaman manusia. Terakhir, penerima informasi akan memberi makna informasi tersebut berdasarkan struktur mental yang telah terbentuk sebelumnya melalui basis data yang sudah tersimpan di otak bawah sadar manusia.

Oleh sebab itu, ketika para teroris di Christchurch menerima emotional information mengenai Islamophobia dari Trump dan mereka gabungkan dengan basis data lainnya seperti ketakutan dan kebencian terhadap imigran muslim dan juga game online yang mengandung kekerasan seperti Fortnite (yang juga masuk di dalam manifesto teroris tersebut), maka muncullah persepsi pribadi untuk melakukan penembakan masal terhadap muslim.

Tidak mudah untuk mengetahui orang-orang yang sudah terjangkit penyakit mental seperti ini karena proses emotional communication yang terjadi pada pikiran bawah sadar manusia. Oleh karena itu, hendaknya masyarakat sama-sama menyuarakan paham toleransi dan menolak paham rasisme yang juga memengaruhi emosi manusia namun perspektif yang positif.
 

img
Irwan Saputra
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan