Tantangan optimalisasi pajak daerah
Munculnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), membuat beberapa penyesuaian, di antaranya yaitu pengintegrasian beberapa objek pajak sebelumnya ke dalam komponen pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Pajak daerah jenis makanan dan/atau minuman serta jasa perhotelan termasuk di dalamnya. Selain itu, terdapat penambahan jenis pajak baru bagi kabupaten/kota seperti opsen PKB dan BBNKB.
Upaya optimalisasi penerimaan daerah terus digulirkan, dalam rangka memperkuat local tax ratio dan kemandirian fiskal antardaerah. Beberapa jenis pajak daerah yang memiliki tantangan untuk dilakukan optimalisasi diantaranya adalah pajak hotel dan restoran. Kedua jenis pajak ini bersifat self assessment system, di mana para wajib pajak melakukan prosesi perpajakan dari pencatatan hingga pelaporan secara mandiri.
Digitalisasi ekonomi membawa tantangan baru dalam dunia perpajakan, khususnya pajak daerah. Transaksi bisnis hotel dan restoran yang berpindah dari manual ke digital belum diimbangi dengan sistem perpajakan yang melekat di dalam setiap transaksi elektronik tersebut. Timbulnya aktivitas shadow economy dengan skala tinggi membuat potensi pajak daerah yang ingin diraih semakin menjauh. Tidak heran, jika volume transaksi nontunai tumbuh pesat namun di sisi lain total penerimaan pajak daerahnya cenderung lebih lambat.
Perkembangan bisnis dengan memanfaatkan media digital ini memang perlu diapresiasi, utamanya banyak sektor usaha yang terbantu dengan adanya bisnis gaya baru. Digitalisasi yang terjadi mampu mengisi sesuatu yang tidak didapat dari transaksi offline. Melalui media digital yang terus meningkatkan performanya, konsumen merasa dimanjakan dengan berbagai kemudahan, kecepatan, dan harga yang lebih bersaing. Banyaknya kompetitor bisnis yang mencoba peruntungan di pasar online relatif mendorong harga jual bahkan sampai ke titik terendahnya. Rantai bisnis yang terbangun melibatkan beberapa sektor pendukung yang secara spesifik saling menjaga reputasinya masing-masing. Ekosistem ini membentuk sistem transaksi yang semakin mapan, menguatkan permintaan dari main sector dan support sectornya.
Penggunaan transaksi nontunai sebenarnya bukan barang baru bagi masyarakat. Namun pemanfaatan media nontunai bukan pada pembelian barang dan jasa melalui e-commerce seperti saat ini. Sebelumnya, juga sudah berlangsung dan semakin intens dilakukan pada transaksi non platform. Jalur komunikasi yang semakin memudahkan membuat pembeli dan penjual mempunyai pilihan untuk menggunakan gawainya dalam berkomunikasi dan bertransaksi tanpa menggunakan jasa e-commerce.
Jaringan internet diperlukan hanya sebatas menggunakan media pembayaran seperti transfer melalui mobile banking atau ATM untuk transaksi pembayarannya. Rekanan atau pelanggan lama di dalam bisnis sudah terbiasa memanfaatkan media pembayaran transfer, karena lebih praktis dan terekam otomatis, tanpa repot membawa uang fisik yang lebih beresiko. Pada titik ini, justru fokus otoritas pajak daerah seharusnya lebih berkonsentrasi pada pemanfaatan sistem pembayarannya sebagai pintu masuk yang dapat diintegrasikan dengan sistem perpajakan. Adapun e-commerce dengan segenap perkembangannya hanyalah sebagai media pemasaran bagi penjual, meski masing-masing memiliki sayap pembayaran. Ini adalah potensi optimalisasi pajak, yang cukup memungkinkan untuk diwujudkan.
Prosesi perpajakan daerah khususnya pajak hotel, restoran, dan hiburan dilakukan dengan system self assessment. Wajib pajak daerah dituntut untuk terlibat aktif mulai dari pencatatan transaksi, penghitungan beban pajak, pembayaran pajak, hingga pelaporan. Kondisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi, pertama, energi dari wajib pajak daerah terpecah dua, yaitu disamping berusaha untuk meningkatkan omzet namun disaat yang sama juga dituntut menerapkan secara aktif proses-proses perpajakan tersebut di setiap bulannya.
Kondisi ini dapat pula menimbulkan kekurangnyamanan wajib pajak dalam berwirausaha, dan menimbulkan beban biaya dalam prosesinya. Potensial omzet sedikit banyak terpengaruh dengan realisasinya yang cenderung lebih rendah, dan akhirnya berdampak ke penerimaan daerah. Kedua, system self assessment sulit untuk mendeteksi kesesuaian pajak daerah yang dibayar dan dilaporkan dengan keadaan sebenarnya.
Beberapa hal yang perlu dicermati mengenai belum optimalnya penerimaan pajak daerah dan antusias wajib pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya. Pertama, soal keadilan. Asas equality yang lemah menimbulkan kecemburuan dan antipati dari wajib pajak daerah. Lebih dominannya aksi intensifikasi dibandingkan ekstensifikasinya membuat pihak yang memikul pajak hanya itu-itu saja, sehingga beban yang ditanggung antar pebisnis daerah menjadi timpang karena pajak mempengaruhi harga jual, sementara persaingan harga salah satu kunci utama dalam merebut pasar.
Kedua, sebagian pelaku usaha belum tentu memiliki karyawan yang khusus membidangi perpajakan, karena skala usaha yang masih tergolong mikro dan belum mampu mengalokasikan penambahan biaya baru. Akhirnya, pembayaran pajak hotel/kos-kosan maupun restoran yang sudah dipungut kemudian dibayarkan dan dilaporkan oleh pelaku usaha itu sendiri. Keadaan ini cukup merepotkan pelaku usaha, yang “memaksa” pengusaha untuk menyisihkan waktu setiap bulan agar membayarkan dan melaporkan omzet penjualannya.
Ketiga, pungutan yang mestinya direkapitulasi setiap bulan oleh pelaku usaha untuk disetorkan ke kas daerah memiliki celah yang besar untuk terjadinya kebocoran. Tidak semua pelaku usaha memiliki pembukuan transaksi penjualan yang baik, bahkan ada yang tidak melakukan pencatatan sama sekali. Sehingga kecenderunganya, pembayaran yang disetorkan lebih rendah dari total omzet yang sebenarnya. Keempat, batasan omzet minimal yang dikenakan pajak restoran terlalu rendah, keadaan ini memungkinan pedagang kaki lima juga dikenakan tarif restoran. Kelima, proses pembangunan yang sangat jauh dari ekspektasi, seperti maraknya korupsi, proyek-proyek yang terbengkalai, hingga pelayanan yang tidak prima. Proses pembangunan yang sebagiannya didukung oleh pajak daerah perlu menunjukkan kinerja yang baik untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaannya. Dari beberapa poin yang disampaikan, masalah dapat dikerucutkan pada tiga hal, pertama, pada cara pembayaran dan pelaporan pajak, kedua, pada kriteria pelaku usaha yang dikenakan pajak daerah, dan ketiga, pada masalah ekstensifikasi pajak daerah.
Perkembangan teknologi keuangan dan pembayaran yang berkembang memungkinan untuk menyelesaikan ketiga hal masalah tersebut sekaligus. Bayangkan, jika pembayaran pajak hotel dan restoran tidak lagi dilakukan oleh pelaku usaha, namun diserahkan kepada konsumen. Disamping beberapa kendala yang dihadapi sebagian pelaku usaha pada pembahasan sebelumnya, konsumen merupakan pihak yang relatif netral dari kepentingan dan hambatan apapun terkait pembayaran pajak. Selama ini, dan yang menjadi konsentrasi masalah, dimana pembayaran dari konsumen atas harga yang sudah termasuk pajak dititipkan kepada pelaku usaha yang kemudian disetorkan pengusaha tersebut ke kas daerah.
Berbeda hasilnya jika setiap transaksi tersebut sudah terpisah secara otomatis, dimana haknya pemerintah daerah langsung masuk ke rekening daerah, dan haknya pelaku usaha dibayarkan tanpa lagi ada titipan pajak daerahnya. Jika proses bayar pada sistem pembayaran yang ada mampu memfasilitasi otomatisasi pembayaran pajak daerah tersebut, tentu akan menutup peluang kebocoran yang terjadi selama ini. Keadaan ideal ini adalah jawaban dari latar belakang masalah poin kedua dan ketiga sebelumnya.
Otomatisasi pembayaran pajak daerah yang dieksekusi oleh konsumen, diharapkan dapat memotong aktivitas pelaporan yang selama ini kerap dilakukan, dengan asumsi data transaksi realtime diterima dinas pendapatan daerah. Untuk mengintegrasikan sistem pembayaran pajak daerah pada transaksi nontunai tentunya bersinggungan dengan beberapa stakeholder di dalamnya. Koordinasi antar pihak perlu dilakukan sebelum mengeksekusi kebijakan. Selanjutnya, pemerintah pusat dapat membuat payung hukum yang memungkinkan setiap daerah untuk menerima pungutan pajak daerahnya melalui konsumen dan ruang gerak yang luwes dalam penentuan tarif daerahnya.
Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat membangun regulasi yang diterapkan kepada perbankan dan Penyedia Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) untuk mengakomodir proses transaksi hotel dan restoran yang terintegrasi dengan data wajib pajak daerah di seluruh kabupaten kota di Indonesia, termasuk juga variasi tarif yang dibebankan masing-masing daerah. Pembaharuan data wajib pajak daerah dirancang agar dapat dengan mudah masuk ke sistem pembayaran ini, dimana proses identifikasi pada perubahan omzet dipadukan dengan monitoring transaksi offline pelaku usaha. Tidak kalah penting, intensifikasi pajak daerah juga dapat dilakukan dengan pemberian tarif pajak yang fleksibel agar dapat merangsang volume transaksi penjualan yang berdampak kepada peningkatan penerimaan daerah.