Sukmawati, puisi dan politik praktis
* Penyair dan Sastrawan
Pada Oktober 1971, Bengkel Teater Rendra menyelenggarakan sebuah kegiatan yang diberi nama “Perkemahan Kaum Urakan” di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Di antara para peserta perkemahan, terdapat sosok Sukmawati.
Pada saat itu, Sukmawati yang bernama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri, baru berumur 20 tahun. Ia lahir di Jakarta, 26 Oktober 1951. Putri ke empat Bung Karno dengan Fatmawati ini, merupakan mahasiswi Akademi Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sama dengan sang adik, Guruh Sukarnoputra, sejak remaja Sukma juga berminat menekuni dunia kesenian. Sebagai mahasiswi seni tari IKJ, juga sebagai puteri Bung Karno, Sukma banyak bergaul dengan para seniman. Maka tak mengherankan kalau ia hadir dalam Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis.
Kehadiran Sukma tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi Pers Indonesia pada waktu itu. Meskipun begitu, media-media besar mainstream takut untuk mengeksposnya secara mencolok. Maklum, pada tahun itu, semua yang berbau Sukarno tabu untuk ditampilkan oleh pers nasional. Padahal Sang Proklamator itu sudah wafat pada 21 Juni 1970.
Setelah itu tak pernah kedengaran aktivitas Sukma sebagai penari, koreografer, atau kritikus seni tari, bahkan juga dalam bidang di luar kesenian. Lain dengan Guruh, sang adik yang mempunyai jejak rekam cukup jelas dalam dunia seni Indonesia. Baik sebagai pencipta lagu maupun koreografer.
Sukma kemudian menikah dengan Pangeran Sujiwa Kusuma, Putera Mahkota Pura Mangkunegaran. Sekarang Sujiwa Kusuma menjadi Mangkunegara IX. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang anak. Kemudian Sukma dan Sujiiwa Kusuma bercerai. Paundra (G.R.M Paundrakarna Sukmaputra Jiwanegara) putera sulung Sukma dengan Sujiwa Kusuma, sekarang justru dikenal sebagai penyanyi, pemain sinetron, dan bintang iklan.
Itulah latarbelakang Sukmawati, yang sebenarnya sama sekali tak pernah dikenal sebagai seniwati, apalagi sastrawati, terlebih lagi sebagai penyair. Tetapi itulah ajaibnya politik. Tiba-tiba puisi Sukmawati menjadi permasalahan besar di negeri ini. Puisi itu berjudul Ibu Indonesia, dan dibacakan dalam acara Indonesia Fashion Week, untuk memperingati 29 Tahun Anne Avantie Berkarya.
Disambar Dunia Politilk
Sampai dengan Jumat (6/4), tercatat ada 14 laporan tentang dugaan penistaan agama dalam puisi tersebut, dari berbagai kalangan kepada pihak polisi. Ini sudah bukan lagi urusan puisi, melainkan sudah terkait ke masalah politik.
Pada 2018 ini, ada pemilihan beberapa kepala daerah penting secara serentak. Lalu 2019 akan ada pemilihan presiden dan anggota legislatif secara serentak pula. Bagaimana pun, Sukmawati merupakan adik kandung Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang berkuasa saat ini.
Menggoyang PDIP dan sekaligus Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa dimulai dari memerkarakan Sukmawati, dengan tuduhan penistaan agama. Terbukti atau tidak di pengadilan, itu bukan sesuatu yang penting. Sebab tujuan utama dari gerakan politik dengan menumpang puisi Ibu Indonesia ini, hanyalah untuk membuat suasana kacau.
Persis ketika tuduhan penistaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digulirkan akhir 2016. Waktu itu gerakan tersebut diduga bukan hanya tertuju ke Ahok, melainkan ke Jokowi.
Respon Dunia Sastra
Dari kalangan internal dunia sastra, hampir tak terdengar ada komentar. Kalau pun ada, bukan berasal dari institusi resmi. Misalnya dari fakultas sastra sebuah perguruan tinggi, pengelola rubrik sastra sebuah penerbitan pers, atau lembaga bahasa.
Komentar itu juga bukan berasal dari tokoh-tokoh sastra dengan nama besar. Lembaga dan para tokoh sastra ini sadar, yang sedang terjadi bukan masalah sastra. Itulah sebabnya komentar tentang kualitas puisi Ibu Indonesia, baik negatif (sangat jelek) atau positif (sangat mengena), menjadi tak relevan.
Dalam dunia apa pun, dikenal produk massal sebagai benda pakai; dan produk terbatas sebagai benda hias. Puisi Sukmawati ini merupakan benda pakai, yang kemudian direspon secara massal.
Karya sastra serius, ibarat produk terbatas sebagai benda hias. Hanya sedikit orang yang akan meresponnya, dan respon tersebut juga berupa kritik, telaah, atau esai sastra. Bukan reaksi emosional secara massal. Dunia sastra Indonesia pernah berpengalaman dengan kasus seperti puisi Ibu Indonesia ini.
Misalkan saja Majalah Sastra edisi Agustus 1968, memuat sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul Langit Makin Mendung, karya Ki Panji Kusmin. Cerpen ini berisi perjalanan Nabi Muhammad SAW dari surga ke dunia, lebih tepatnya ke Jakarta. Peristiwa ini terjadi pada pra G 30 S. Reaksi menentang bermunculan. Majalah Sastra dibredel oleh pemerintah, dan HB Jassin, pemimpin redaksinya diadili, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman percobaan.
Meski reaksi umat Islam secara massal terhadap cerpen ini berlandaskan pada ajaran agama, kasus cerpen Langit Makin Mendung tetap merupakan masalah sastra. Bukan masalah agama. Sebab sebelum cerpen Langit Makin Mendung, dua cerpen Ki Panji Kusmin pernah dimuat di Majalah Sastra, dan tak ada protes apa pun. Setelah kasus Langit Makin Mendung pun, sebuah cerpen Ki Panji Kusmin pernah dibuat di Majalah Horison.
Inilah yang membedakan Ki Panji Kusmin dengan Arswendo Atmowiloto. Pada 1990, sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, membuat angket. Hasilnya Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Monitor dibredel, Arswendo diadili, dinyatakan bersalah dan divonis hukuman 5 tahun penjara.
Puisi Ibu Indonesia, karya Sukmawati tetap sebuah puisi. Puisi memang tidak harus ditulis oleh penyair profesional. Siapa pun boleh menulis puisi, lalu menyebarluaskannya dalam bentuk teks atau audio visual. Puisi Ibu Indonesia Sukmawati ini, bisa diibaratkan benda pakai, yang berkategori efektif.
Reaksi yang dilatarbelakangi kepentingan politik langsung merebak. Menelaah puisi Ibu Indonesia dari kacamata sastra, tentu tidak pada tempatnya. Hingga menyebut puisi ini buruk, atau baik, menjadi tidak tepat.
Sebagai alat politik, puisi Ibu Indonesia ini justru efektif. Baik dari kacamata pihak Sukmawati, maupun dari pihak yang ingin menggoyang PDIP dan Jokowi menjelang Pemilu dan Pilpres 2019 nanti.