Terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK secara teknik, sah dan wajar. Tetapi secara etik cukup bermasalah.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa secara etik cukup bermasalah. Pertama, KPK lahir sebagai kritik atas lembaga-lembaga hukum yang lemah. Maka, polisi yang menguasai KPK menjadi sebuah anomali.
Kedua, kritik etik atas rekam jejak beliau harus diperhatikan. Dus, beliau harus membuktikan sebaliknya yakni, kuat, independen dan Pancasilais.
Peristiwa yang dialami KPK secara kelembagaan dan menghiasi diskursus kita, adalah momen terbaik untuk merefleksikan makna negara hukum.
Tetapi, harus diingat bahwa, "kejahatan terbesar seseorang (rezim) bukan terletak pada seberapa banyak harta yang mereka rampok dari negaranya, tetapi kejahatan terbesar mereka adalah, saat rezim mengkurikulumkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan mewariskan ke generasi berikutnya sebagai tradisi.
Kurikulum dan tradisi KKN seperti itu, dengan demikian merupakan tragedi bangsa dan aib negara yang perlu segera dihentikan sekarang juga. Oleh siapa saja. Di mana saja.
Tanpa usaha menghentikan KKN, hancurlah kita semua. Dan, tanpa mengganti tradisi tersebut dengan yang konstitusional, itu sama saja kita sedang membunuh kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Kita sadar, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945 yaitu, pada pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Hal ini semakin mempertegas kepada seluruh masyarakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua warga negara wajib untuk menaati aturan yang berlaku.
Negara hukum atau rechtsstaat atau the rule of law merupakan negara yang dalam menjalankan suatu tindakannya, harus berdasarkan pada aturan atau sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika ada seseorang yang melakukan tindakan melanggar aturan, maka harus mendapatkan suatu hukuman karena dianggap melanggar hukum.
Dus, menghadirkan dan mengevaluasi KPK demi tegaknya negara hukum adalah keniscayaan, bahkan kewajiban kita semua. Tentu saja evaluasi dilakukan dalam upaya meningkatkan kinerja KPK dan bukan sebaliknya.
Mengapa? Sebab ini berhubungan dengan masa depan kita semua. Sudah lama hukum kita lumpuh. Baik itu dari sisi internal dan eksternal.
Secara internal, aparat hukum, lembaga hukum dan aturan hukum makin mundur. Mereka bukan menjadikan negara ini menjadi negara hukum, justru menjadi rimba hukum.
Secara eksternal, para pelangggar hukum makin ekstensif dan variatif. Mereka menyerang secara sporadis komunitas epistemik hukum kita sampai hampir hancur. Jika itu terjadi, maka penuhlah penjara-penjara kita.
Kini, semua berpulang pada kita semua. Mau bagaimana nasib Indonesia ke depan? Bebas korupsi sehingga bisa fokus membangun dan merealisasikan janji proklamasi, atau terhempas dalam lingkaran kebusukan oligarki.
KPK menjadi batu uji kita semua. KPK menjadi alat ukur kita semua.