Serangan corona, kepanikan massa dan ke(tidak)siapan pemerintah
Setelah beberapa kali secara optimis menyebut Indonesia bebas dari penyebaran virus Corona, pemerintah akhirnya mengumumkan bahwa ada warga negara Indonesia yang terjangkiti virus tersebut. Pengumuman itu bahkan langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo didampingi oleh Menteri Kesehatan. Segera setelah pengumuman itu disampaikan, kepanikan massa pun terjadi. Masyarakat yang panik lantas memborong bahan makanan di sejumlah supermarket.
Tidak hanya itu, stok masker dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) pun ludes diborong oleh masyarakat. Fenomena rush atau panic buying ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun juga hingga ke pelosok daerah. Kondisi ini pun dimanfaatkan sejumlah oknum dengan menjual masker dan hand sanitizer, dua benda yang paling diburu masyarakat saat ini dengan harga yang fantastis.
Sejumlah oknum pedagang pun tidak segan melakukan penimbunan dengan tujuan mendapatkan keutungan pribadi. Beruntung aparat keamanan dengan sigap merespons fenomena tersebut.
Sebagai sebuah fenomena psikososial, kepanikan masyarakat itu terbilang wajar. Adalah naluri alamiah manusia untuk selalu mempertahankan diri apabila menghadapi ancaman. Maka, kepanikan masyarakat yang berujung pada panic buying kebutuhan pokok serta masker dan hand sanitizer yang diharap bisa mencegah penularan Corona bisa dibilang sebagai bagian dari upaya masyarakat untuk mempertahankan diri. Terlebih penyebaran virus Corona hingga saat ini terbilang masif.
Catatan World Health Organisation (WHO) menyebutkan virus Corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Chins telah menyebar ke 76 negara, menjangkiti setidaknya 48 ribu manusia dan menewaskan 3 ribu di antaranya. Selain fakta bahwa virus Corona merupakan virus ganas yang belum ditemukan vaksinnya, kepanikan massa juga dilatari oleh setidaknya dua faktor lain.
Pertama, adanya kesan bahwa pemerintah tidak responsif menyikapi isu penyebaran virus Corona. Dari awal ketika isu Corona mencuat ke publik, pemerintah Indonesia tidak menunjukkan langkah-langkah yang responsif dan antisipatif untuk menangkal penyebaran virus tersebut. Alih-alih melakukan langkah strategis untuk mengantisipasi penyebaran Corona, pemerintah justru menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk membayar buzzer. Tujuannya agar tercipta opini bahwa negara Indonesia baik-baik saja sehingga investor dan wisatawan asing tetap tertarik menanamkan modal dan berkunjung ke Indonesia.
Kebijakan itu memperlihatkan kesan bahwa pemerintah cenderung lebih mementingkan aspek investasi ekonomi dan dunia pariwisata ketimbang memikirkan keselamatan warganya. Lebih parah lagi, para pejabat publik yang seharusnya memberikan pencerahan pada masyarakat pun justru acap membikin pernyataan yang meresahkan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin misalnya sempat berujar bahwa virus Corona tidak bisa masuk Indonesia karena umat Muslim Indonesia rajin merapal doa Qunut. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut bahwa cirus Corona ditularkan melalui konsumsi daging babi.
Pernyataan-pernyataan yang demikian itu jelas kontraproduktif terhadap upaya mitigasi penyebaran virus Corona. Di tengah situasi yang serba tidak menguntungkan ini, pemerintah dan para pejabat publik hendaknya menahan diri untuk tidak berkomentar yang berpotensi meresahkan publik.
Faktor kedua yang melatari kepanikan massa ialah pemberitaan tentang virus Corona oleh media massa yang lebih mengedepankan unsur dramatisasi ketimbang edukasi. Amplifikasi korban terjangkit Corona yang terlalu didramatisasi justru mengaburkan fakta dan informasi yang seharusnya diketahui publik. Sebaliknya, masyarakat justru dilanda kecemasan akibat pemberitaan yang terlalu berlebihan.
Misalnya saja, ketika salah seorang reporter TV berita swasta mengenakan masker gas ketika melakukan reportase langsung di kawasan tempat tinggal warga yang terjangkiti virus Corona. Hal itu lebih menimbulkan efek sensasional ketimbang bertujuan mengedukasi masyarakat ihwal bagaimana menghadapi penyebaran virus Corona.
Ujian kepemimpinan
Rob Weinhold dalam bukunya berjudul The Art of Crisis Leadership menyebut bahwa seorang pemimpin niscaya diuji kapabilitas kepemimpinannya ketika menghadapi masa-masa krisis. Di masa-masa krisis itulah seorang pemimpin diuji seberapa piawai ia mengendalikan situasi, mengambil kebijakan yang tepat dan menampilkan kemampuan leadership-nya untuk membimbing para pengikutnya keluar dari kemelut krisis.
Mengacu pada teori itu, barangkali inilah ujian terpenting bagi kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua pemerintahannya. Di satu sisi ia dihadapkan pada perlambatan ekonomi dunia yang berdampak pada lesunya ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari terjerembabnya nilai tukar rupiah terjadap dolar Amerika Serikat yang saat ini ada di kisaran 14 ribu rupiah. Padahal, sebelumnya rupiah sempat menguat di angka 13 ribu rupiah per-dolar AS. Di sisi lain, ia juga dihadapkan pada penyebaran virus Corona yang juga berdampak pada stabilitas ekonomi dan sosial dalam negeri.
Mula pertama yang harus dilakukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan ialah mengonsolidasikan para pembantunya agar bekerja sesuai dengan bidang dan kapasitasnya masing-masing. Jangan ada lagi pejabat publik yang diperbolehkan berkomentar mengenai isu virus Corona dan berpotensi menimbulkan kegaduhan publik. Lalu lintas informasi seputar penanganan Corona idealnya dilakukan melalui satu pintu, yakni dengan menunjuk juru bicara yang kompeten dan memahami persoalan.
Langkah selanjutnya ialah memastikan penangangan korban virus Corona dilakukan secepat dan semaksimal mungkin. Pemerintah perlu menambah daftar rumah sakit rujukan yang bisa merawat pasien baik yang masih terduga atau yang sudah terjangkit Corona. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi hal yang mutlak dalam hal ini, lantaran fasilitas kesehatan di daerah merupakan wewenang pemerintah daerah. Komunikasi intensif antarberbagai lini dan sektor pemerintah yang terlibat langsung dalam penanganan penyebaran virus Corona diperlukan agar tidak ada kebijakan yang tumpang tindih dan berlawanan antarlembaga.
Tidak kalah penting ialah pemerintah perlu melakukan langkah nyata untuk meredam kepanikan masyarakat yang kadung berpikir dan bertindak irasional dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan bahan pangan di pasaran agar fenomena panic buying tidak meluas. Selain itu, pemerintah juga perlu mengintervensi pasar agar ketersediaan masker dan cairan pensteril tangan bisa mencukupi kebutuhan masyarakat dan bisa didapatkan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat kecil.
Terakhir, kita juga perlu mendorong media massa untuk tidak mendramatisasi pemberitaaan tenyang penyebaran virus Corona. Media massa seharusnya bisa menjadi penyampai informasi dan pengetahuan yang edukatif bagi masyarakat dalam menghadapi fase sulit dan penuh kecemasan ini. Jangan sampai, media massa justru menjadi sumber persoalan baru yang membuat kecemasan dan kepanikan publik kian memuncak. Di tengah situasi yang demikian ini, kita membutuhkan sinergi bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil agar mampu melewati fase krisis dan menekan dampak negatifnya hingga ke angka seminimal mungkin.