close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Slamet Pribadi.dok
icon caption
Slamet Pribadi.dok
Kolom
Selasa, 17 September 2019 16:57

Revisi UU KPK

Mengubah suatu perundang-undangan bukanlah sesuatu yang haram di republik ini
swipe

DPR sudah selesai membahas dan mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi undang-undang.

Seperti diketahui, DPR mempunyai otoritas soal legislasi, karena itu, idealnya kita semua harus menghormati, karena proses politik di DPR itu, adalah proses yang berat dalam kancah kebijakan hukum di Indonesia.

Mengubah suatu perundang-undangan bukanlah sesuatu yang haram di republik ini, apalagi dalam implementasi hukum, yang sejatinya untuk mengatur sesuatu, agar ada perubahan dan ketertiban, dan untuk perbaikan kebijakan hukum. Kalau itu soal korupsi, maka perubahan UU dilakukan agar korupsi hilang atau berkurang dari Bumi Indonesia. 

Apalagi ternyata korupsi tidak kunjung habis di republik ini. Apakah berarti ada yang belum 'tuntas' dalam hukum atau lembaga hukumnya? Atau penegakan hukumnya? Itulah sebabnya ada sesuatu yang perlu dilakukan dengan melakukan perbaikan sana-sini.

Revisi UU KPK yang telah dilakukan, memiliki semangat dan tujuan agar KPK lebih kuat dan lebih independen. Apalagi KPK didirikan di atas semangat dan dengan tujuan awal untuk menggilas kelakuan berangasan koruptor yang suka melalap habis aspal, beton, besi, kertas dan lain-lain, seperti tikus-tikus kelaparan dan menggendutkan perutnya. Tidak peduli kalau aspal, beton, besi dan kertas itu adalah milik rakyat. 

Korupsi adalah bencana nasional dan menyengsarakan rakyat yang menginginkan terjaminnya kesejahteraan dan keamanan. KPK sendiri lahir dari ibu kandung reformasi dan demokrasi, itulah sebabnya KPK tentu akan bekerja keras karenanya. 

Tetapi yang harus disadari oleh semua pihak adalah, hukum itu harus senantiasa mengikuti perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, progresif, dan dinamis. Apalagi perkembangan sosial di masyarakat sangat cepat. Secepat peradaban yang ditunjang dengan teknologi dan cara berpikir manusia yang adaptif dengan lingkungannya. 

Hukum akan menolak status quo manakala ada stagnasi cara berpikir eksklusif yang kurang adaptif terhadap berbagai perubahan. Kemudian bisa dipastikan status quo akan tergilas oleh arus perubahan, karena cara pandangnya sempit, merasa paling adaptif, antipenyimpangan dan lain-lain. Tidak heran jika ada yang berpendapat sebuah UU memerlukan perubahan perbaikan dalam rangka menuju kekuatan yang hakiki. 

Makanya KPK haruslah lembaga yang kuat, man, money, material, dan method yang dipergunakan harus lebih baik dari lembaga lain. Ini karena kehendak sejarah menginginkan KPK harus kuat terhadap para pemangsa aspal, beton dan besi tadi.

Tetapi di sisi lain KPK memanfaatkan uang negara dan uang donatur dari Kebijakan Nasional Sistem Keuangan Negara, makanya KPK harus bisa diaudit oleh siapa saja, baik oleh negara melalui lembaga berwenang untuk itu, termasuk DPR. Donatur yang membiayai juga harus bisa melakukan audit, yang sampai saat ini belum jelas kapan dan dimana serta bagaimana hasil auditnya itu. 

Kalau KPK diharuskan kuat, maka pengawasnya juga harus kuat. Oleh karena itu, pengawasnya  harus benar-benar memahami persoalan korupsi, baik dari sisi teknis, taktis, maupun yuridis. 

Mungkin tidak harus orang-orang yang mengerti hukum, pihak lain yang memahami tujuan keberadaan KPK juga bisa menjadi pengawas KPK. Pengawas yang kuat dan kredibel akan berkontribusi dalam dalam rangka membangun KPK yang kuat, baik itu dari sisi hukum, kelembagaan hukum, penegak hukum, sarana dan prasarana hukum. 

Selama ini auditor hukum belum pernah melakukan audit sistem hukum di KPK, apakah hukum yang berkaitan dengan KPK sudah benar adanya, sesuai dengan cita-cita hukum? Apakah praktek hukum sudah dilakukan dengan benar? Apakah sarana dan prasarana hukum sudah tersedia untuk eksistensi lembaga seperti KPK? Bagaimanakah sistem koordinasi kelembagaan antar penegak hukum, apakah sudah ideal atau belum?. 

Banyak pertanyaan audit hukum yang harus dijawab KPK dan itu harus diketahui semua pihak berkepentingan. Seperti sesama penegak hukum, termasuk masyarakat.   

Soal penyadapan telepon, meskipun ada dalih untuk independensi dan penguatan, penyadapan oleh penegak hukum harus diatur sedemikian rupa oleh orang yang mempunyai pemahaman kuat serta kejujuran untuk menggilas korupsi di muka Bumi Indonesia ini. 

Secara teknis kriminalistik, penyadapan harus bertujuan untuk penegakan hukum, yang subjek dan objeknya bermasalah dengan hukum. Alat sangat bergantung dengan operator, oleh karena itu, tidak boleh menyimpang sedikitpun dari tujuan hukum, misalnya penyadapan terhadap orang-orang yang tidak bermasalah dengan hukum, dengan alasan balas dendam karena seseorang itu mempersoalkan penegakan hukum, padahal yang bersangkutan tidak bermasalah dengan persoalan hukum atau perkara pidana, atau masalah-masalah lain di luar perkara atau tidak masuk dalam lingkaran perkara.

Teknis seperti ini harus bisa diaudit oleh pihak tertentu yang secara khusus ditugaskan, bukan hanya internal penegak hukum, tapi di luar itu dengan penunjukan petugas yang super khusus, diatur secara khusus, tidak boleh sembarangan. 

Secara teknis penyelidikan, penyadapan adalah roh penyelidikan, banyak hal diperoleh yang tidak diketemukan di area penyidikan, dan hasil penyadapan dapat mendukung pembuktian di penyidikan atau untuk operasi penyidikan, makanya pengaturannya harus khusus dan rahasia.

Operasi penyadapan harus menjadi primadona KPK dengan pengaturan khusus, pengawasannya juga khusus, menghindari penyalahgunaan teknologi untuk hal lain di luar perkara, audit hukum juga harus khusus, yang semuanya dimaksudkan untuk mendapatkan hasil efektif.

img
Slamet Pribadi
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan