Pendapatan negara bocor
Kebocoran pada sisi pendapatan pemerintahan Indonesia yang diungkap KPK merupakan isu yang dapat dibahas para kandidat dalam debat pamungkas nanti. Kebocoran pendapatan pemerintah merupakan hal penting yang langsung berhubungan dengan keuangan APBN. Agenda kebijakan kandidat untuk mengatasi temuan kebocoran pendapatan pemerintah oleh KPK bisa menjadi keunggulan untuk menggaet suara pemilih di bilik TPS pada 17 April.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, menyebut adanya kebocoran pada pendapatan pemerintahan Indonesia. Menurut perhitungan Litbang KPK, ada Rp4.000 triliun yang seharusnya diterima tiap tahunnya, sebagai pendapatan negara. Namun pada kenyataannya pendapatan negara yang diterima hanya sekitar Rp2.000 triliun.
Kebocoran yang dimaksud oleh pimpinan KPK tersebut, bisa kita telisik dari kinerja penerimaan pajak selama ini di APBN. Selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjabat, realisasi penerimaan pajak tak pernah mencapai target. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, terakhir kali penerimaan pajak mencapai target terjadi pada tahun fiskal 2008. Pada saat itu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp571 triliun atau 106,7% dari target yang ditetapkan sebesar Rp535 triliun.
Dalam periode 2014-2017, realisasi penerimaan pajak tidak bisa memenuhi target. Pada 2014, realisasi penerimaan pajak hanya Rp985 triliun (91,9%) dari target Rp1.072 triliun. Pada 2015 terealisasi sebesar Rp1.055 triliun (81,5%) dari target Rp1.294 triliun. Lalu pada 2016 hanya terealisasi Rp1.283 triliun (83,4%) dari target Rp1.539 triliun. Kemudian pada 2017 sebesar Rp1.147 triliun (89,4%) dari target Rp1.283 triliun. Pada 2018 sebesar Rp1.315,9 triliun (92%) dari target sebesar Rp1.424 triliun.
Selain realisasi yang tidak sesuai target, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) sejak 2014 juga terus merosot. Pada periode tersebut, tax ratio tercatat 13,7%, namun dalam kurun waktu tiga tahun berikutnya terus menurun. Pada 2015 tax ratio Indonesia berada di angka 11,6%, kemudian pada 2016 kembali turun menjadi 10,8%. Lalu pada 2017 tax ratio stagnan di 10,7%. Pada 2018 rasio pajak mencapai 11,5% dari PDB, sedikit lebih baik dari 2017.
Menurut paparan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, melalui Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal, rasio pajak Indonesia yang sekarang sebesar 10,3% belum memasukkan semua komponen yang merupakan potensi pajak. Angka tersebut baru merupakan hasil dari total penerimaan perpajakan dalam hal ini pajak dan bea cukai dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Pemerintah sudah mulai memasukkan komponen PNBP, SDA, migas, dan pertambangan masuk dalam perhitungan. Dengan tambahan komponen tersebut, rasio pajak naik sedikit menjadi sekitar 11%. Apabila pemerintah melakukan perhitungan tax ratio Indonesia menggunakan arti luas, angkanya naik menjadi sekitar 13%-13,5%. Dengan catatan bahwa angka itu sudah memasukkan seluruh komponen pajak, baik di pusat maupun daerah.
Apabila memasukkan unsur pajak daerah, akan berkontribusi menambah kenaikan rasio pajak 1,5%-2%. walaupun seluruh komponen potensi penerimaan pajak tersebut telah dimasukkan, menurut Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal, tax ratio Indonesia masih rendah (https://bit.ly/2D3t18k).
Kinerja penerimaan pajak yang tidak menggembirakan itu, menunjukkan ketidakmampuan dalam mencapai apa yang sudah menjadi target. Persoalannya, target yang dipatok untuk penerimaan pajak di Indonesia ternyata baru 50% dari potensi yang ada.
Dengan kondisi itu, pendapatan negara mengalami kehilangan potensi sebanyak dua kali. Pertama dari segi perhitungan target sudah hilang 50%. Lalu kedua, dari target yang hanya 50% dari potensi yang ada juga tidak bisa dipenuhi. Gambaran ini menunjukkan bahwa rasio antara penerimaan pajak terhadap potensinya tidak optimal. Menurut beberapa penelitian yang ada, angka tax effort 2018 di Indonesia hanya mencapai 43% hingga 59% dari kapasitasnya. Setidaknya ada 41% hingga 57% aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki oleh pemerintah (https://bit.ly/2D8EbZq).
Dibalik tax ratio Indonesia yang rendah itu memang terdapat kebocoran seperti yang diungkap oleh KPK. Kebocoran itu terjadi karena aktivitas shadow economy yang tidak dijangkau oleh pemerintah dan potensi pajak yang ada didalamnya justru menguap begitu saja. Kebocoran juga terjadi akibat kegagalan pemerintah dalam menentukan tarif dan basis pajak.
Akibatnya penerimaan pajak kita menjadi tidak optimal karena pemerintah tidak fokus pada upaya memperkuat basis pajak. Titik kebocoran lainnya adalah offshore tax evasion yang masih belum bisa diatasi walaupun sudah ada instrumen automatic exchange of information (AEoI). Begitu pula dengan base erosion and profit shifting (BEPS). Tindakan yang menempatkan penghasilan di negara yang memberikan fasilitas pajak rendah. Kebocoran lainnya ada manipulasi data alias unreported and unpaid tax. Pelaporan pajak tidak sesuai dengan data (https://bit.ly/2IpYbKO).
Kebocoran juga bisa terlihat dari GDP Indonesia terus naik dari tahun ke tahun, namun tax ratio-nya fluktuatif. Idealnya kemajuan perekonomian suatu negara linier dengan tax ratio. Untuk kawasan ASEAN, PDB Indonesia merupakan yang tertinggi, untuk Asia diurutan kelima, dan urutan ke lima belas dunia. Namun tax ratio Indonesia justru lebih rendah dibanding nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia di level 15,06% (World Bank: 2016). Bahkan masih lebih rendah dibandingkan Malaysia 14,4%, Filipina 13,67%, Singapura 14,29%, dan Kamboja 15,3% (https://bit.ly/2D430G8).
Kebocoran pendapatan negara, yang diungkap oleh KPK harusnya menjadi prioritas untuk segera berbenah. Faktor pertama dan yang utama adalah pembenahan regulasi dan kebijakan dengan tujuan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance). Agar bisa meninngkatkan tax ratio. Agar kepatuhan pajak bisa meningkat, maka biaya kepatuhan (compliance cost) juga harus diperhatikan.Dengan semakin rendah biaya yang ditanggung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, semakin tinggi kepatuhan pajak.
Dalam rangka itu maka inovasi perpajakan di bidang IT seperti e-filing, e-billing, e-registration,e-Bupot, dan sejenisnya menjadi instrumen prioritas untuk meningkatkan pelayanan sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.
Untuk menjalankan itu semua, tentunya sangat dibutuhkan penguatan organisasi, regulasi, dan sumber daya manusia. Perbaikan organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi, sumber daya manusia, dan peraturan perundang-undangan menjadi mutlak untuk menjawab kebocoran pendapatan negara yang ada saat ini.
Langkahnya dimulai dengan penguatan kewenangan otoritas pajak dengan cara melepas lembaga perpajakan dari Kementerian Keuangan, menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab kepada presiden. Pemisahan ini disertai dengan sejumlah kewenangan yang memperkuat lembaga otoritas pajak.
Sayangnya sepanjang pemerintahan Jokowi tak pernah merealisasikan dengan sungguh-sungguh agenda kebijakan untuk mengatasi kebocoran pendapatan negara yang disebut oleh KPK.