Pandemi semakin gawat, perlu kebijakan darurat!
Jumlah total yang terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia hingga 17 Juli 2021 mencapai 2.780.803 orang. Lonjakan kasus meningkat pesat pascaberlangsungnya Idulfitri pada Mei 2021. Dari data yang ditampilkan oleh covid19.go.id dapat dilihat peningkatan kasus dimulai pada awal Juni dengan tren yang sangat ekstrem.
Kasus positif harian sejak Maret hingga Mei 2021 berkisar di angka 4.000 orang, namun di pertengahan Juli sudah mencapai 50.000 orang. Kasus kematian akibat Covid-19 dari Maret sampai Mei 2021 berada di rata-rata 150 orang per hari, namun hingga 16 Juli 2021 sudah mencapai 1.205 orang per hari.
Berdasarkan tampilan grafik, terlihat bahwa kasus positif, sembuh, dan kasus meninggal memiliki tren yang searah. Peningkatan kasus positif diikuti laju peningkatan pasien yang sembuh dan meninggal dengan persentase yang persis sama.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini tidak bisa diatasi dengan kebijakan yang biasa-biasa saja. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sedang berlangsung tidak efektif untuk memutus rantai penularan penyakit ini. Kasus harian yang semakin tidak terkendali bahkan hingga durasi PPKM yang sudah mau selesai di Pulau Jawa dan Bali merupakan gambaran tidak efektifnya kebijakan tersebut.
Satu-satunya cara untuk memutus rantai penularan adalah dengan memperkecil semaksimal mungkin interaksi manusia. Aturan PPKM masih memberi peluang yang cukup besar untuk terjadinya mobilitas penduduk. Peluang besar muncul karena pembatasan mobilitas yang diinginkan pemerintah tidak diikuti dengan pemberian insentif bagi pihak yang terdampak dari pemberlakuan tersebut.
Masyarakat yang mencari nafkah di sektor nonesensial dan nonkritikal diwajibkan untuk tetap di rumah (bekerja dari rumah), sementara banyak masyarakat yang nafkahnya dapat terpenuhi dengan cara ke luar rumah. keadaan ini menyebabkan sebagian masyarakat tersebut cenderung tidak peduli atas instruksi yang ditetapkan.
Pemberian bansos yang dilakukan secara sporadis oleh beberapa pihak yang berkecukupan kepada pihak-pihak yang dirugikan bukan lah solusi jitu dari dampak yang ditimbulkan oleh pembatasan kegiatan yang berlangsung. Meskipun pemberian ini bermanfaat bagi segelintir orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun tidak bisa menjangkau keseluruhan penduduk yang terdampak.
Berbeda halnya jika pemerintah mau menanggung kebutuhan hidup seluruh penduduk yang kemudian diikuti dengan kebijakan untuk penghentian sebagian besar aktivitas. Dari sisi anggaran, pemerintah mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya, diluar dari apakah dana tersebut berasal dari utang atau tidak.
Jika dilihat dari realisasi APBN 2020, pemerintah pusat mempunyai kelebihan anggaran (SILPA) dari komponen pembiayaan sebesar Rp234,7 triliun. Realokasi dan refocusing belanja pada kementerian/lembaga juga bisa dilakukan, untuk mendukung bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Anggaran Penanganan Covid-19 (PC) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 yang meningkat dari Rp.699,43 triliun (2020) menjadi Rp.744,75 triliun (2021) merupakan alternatif lainnya agar digunakan sebagian untuk menyokong kebijakan ini. Misalnya, dengan mengalihkan anggaran kartu prakerja yang kurang efektif atau dengan mengelaborasi anggaran klaster perlindungan sosial ini menjadi satu atap kebijakan yang komprehensif.
Memaksimalkan pengurangan laju mobilitas masyarakat selama standard waktu tertentu, yang dikompensasi dengan pemberian BLT merupakan langkah yang efektif dari sisi risiko penularan maupun dampak ekonominya. Masa karantina masyarakat di rumah masing-masing bisa dilaksanakan selama satu bulan didapat dari pertimbangan batas waktu penularan Covid-19 dan rentang waktu pasien hingga negatif Covid-19. Secara umum pasien yang positif covid-19 dinyatakan negatif setelah melewati masa waktu sekitar satu hingga tiga minggu dari awal mula terinfeksi. Meskipun terdapat beberapa kasus yang mengalami masa infeksi di luar dari gambaran umum tersebut.
Jika pemberian bantuan langsung tunai diberikan sebesar Rp1 juta per kepala selama satu bulan, dengan total jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, maka kebutuhan anggaran untuk penghentian aktivitas ini sebesar Rp270 triliun. Penghentian aktivitas yang dimaksud adalah untuk sektor nonesensial dan nonkritikal.
Simulasinya adalah setiap penduduk mendapatkan bantuan sebesar Rp1 juta, yang akan digunakan untuk memenuhi keperluan sehari-sehari selama durasi satu bulan. Untuk supply makanan, minuman, rokok, pulsa, internet, obat, dan keperluan pokok lainnya harus terjaga. Beberapa tempat seperti supermarket, warung, apotek, dan pasar tetap dibuka dengan protokol ketat dan dijaga oleh beberapa petugas di setiap titiknya.
Alasannya, karena tidak semua penduduk terbiasa untuk memanfaatkan marketplace atau e-commerce untuk bertansaksi secara online, disamping terdapat beberapa kebutuhan pokok yang tidak tersedia pada marketplace tersebut. Masyarakat hanya perlu ke luar rumah untuk membeli keperluan hidup beberapa hari, dan setelah itu kembali ke rumah masing-masing.
Penghentian sementara segala aktivitas masyarakat dari pekerjaannya dan kegiatan pembelajaran membuat masyarakat tidak mempunyai alasan lagi untuk keluar rumah (selain belanja keperluan sehari-hari). Rincian teknisnya dapat dipetakan dan ditetapkan sebelum kebijakan penghentian aktivitas ini dilakukan. Skema bantuan yang sudah ada sebelumnya jika perlu dapat ditunda hingga kebijakan ini selesai dilaksanakan. Bagi individu-individu yang merasa cukup mampu dan tidak ingin mengambil bantuan ini, dapat dikembalikan kepada negara atau disedekahkan kepada yang kurang mampu.
Keadaan krisis kesehatan yang berkepanjangan hingga saat ini tentu memengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi. Perekonomian tidak akan pernah optimal untuk menghasilkan nilai tambah jika sumber masalahnya masih belum sepenuhnya berkurang bahkan hilang. Pilihannya hanya ada dua, apakah menerapkan kebijakan yang setengah-setengah lalu berharap ekonomi akan pulih atau kebijakan yang fokus untuk memutus rantai penularannya dengan harapan yang sama.
Penanganan yang dilakukan untuk memutus rantai penularan sejak PSBB hingga PPKM masih memberi ruang kepada masyarakat untuk ke luar rumah. Sedangkan penghentian aktivitas nonesensial dan nonkritikal yang disertai dengan pemberian bantuan tunai menutup peluang untuk hal itu dapat terjadi. Pemerintah juga dapat menegakkan sanksi tegas bagi para pelanggarnya karena insentif yang cukup sudah diberikan.
Sejalan dengan penghentian aktivitas ini, pemerintah dapat mengoptimalkan program pemberian vaksin dari rumah ke rumah. Melalui metode door to door, kuota vaksin dapat dihabiskan lebih cepat, dan menghilangkan risiko kerumunan yang terjadi akibat vaksinasi massal yang belakangan banyak berlangsung.
Pemberian vaksin dengan target 5 juta penduduk per hari melalui metode ini masih masuk akal, sehingga herd immunity di hari ke-30 sudah mulai terbentuk. Target vaksinasi yang ditetapkan sebanyak 208 juta jiwa, sedangkan yang sudah divaksin pertama hingga hari ini sebanyak 41 juta jiwa, dengan tambahan 150 juta di akhir berlangsungnya kebijakan ini, maka kekurangannya hanya tinggal sedikit lagi. Masalah mengenai kurangnya jumlah petugas, distribusi, stock vaksin, dan koordinasi dapat disiapkan sebelum kebijakan ini dimulai.
Pembangunan yang terus berlangsung akan berkurang manfaatnya jika sebagian besar penduduk Indonesia terinfeksi dan meninggal akibat virus ini. Belum lagi mengenai munculnya long Covid, dimana pasien yang sudah negatif namun gejalanya masih terus berlanjut, akan mengikis kemampuan individu tersebut dalam mewarnai pembangunan.
Penduduk Indonesia adalah subjek dan objek dari pembangunan, dan pangsa pasar yang besar bagi perekonomian. Urgensitas kesehatan masyarakat agar dapat berekonomi dengan baik adalah hal yang mutlak dipenuhi, di tengah ketidakpastian pandemi yang berlangsung hingga saat ini. Wabah ini merupakan masalah bersama, yang seyogianya dapat diatasi jika pemerintah dan masyarakat saling bekerja sama menekan penularannya. Kerja sama dapat dibangun jika dampak dari sebuah kebijakan diberikan kompensasinya. Terlepas dari kalkulasi untung rugi sesaat secara finansial beberapa pihak akibat penghentian aktivitas, tentu manfaat gradual yang diterima lebih besar dibanding mudharatnya.