close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Hadi Supratikta, Ketua Umum Ikatan Peneliti dan Inovator Pemerintahan Indonesia /IPINDO
icon caption
Hadi Supratikta, Ketua Umum Ikatan Peneliti dan Inovator Pemerintahan Indonesia /IPINDO
Kolom
Rabu, 22 Februari 2023 14:59

Menjadikan BRIN menjadi brilian (3)

Perencanaan riset dan inovasi nasional di Indonesia yang sebelumnya bersifat bottom-up terdesentralisasi, kini tidak lagi mempunyai renstra
swipe

Pola sentralisasi dalam berbagai hal, seperti pengelolaan infrastruktur riset yang dilaksanakan dalam dunia riset dan inovasi seperti BRIN, cenderung telah membuat lenbaga riset ini mengulangi rezim pemerintahan Order Baru yang seharusnya sudah berakhir pada 1998.

Perencanaan riset dan inovasi nasional di Indonesia yang sebelumnya bersifat bottom-up terdesentralisasi, kini tidak lagi mempunyai renstra dan hanya menerima top down dari kedeputian dan semuanya bersifat tersentralisasi. Tidak heran jika pola bottom-up dan desentralisasi di lembaga riset dan inovasi nasional telah menjadi barang yang mahal harganya. 

Hal tersebut sangat dirasakan oleh para aktor riset pemerintah. Yang kemudian memicu sejumlah masalah kelembagaan baru, khususnya menyangkut koordinasi, diskoneksi, dan tumpang tindih kegiatan di antara lembaga-lembaga kedeputian dan organisasi riset yang terkesan tidak punya program yang jelas.

Sebagai contoh, universitas sebagai lembaga pendidikan tetapi juga banyak diminta melakukan hilirisasi. BRIN yang harusnya banyak menjemput riset-riset hilir ke universitas, malah ikut-ikutan melakukan penelitian dasar dengan dana sangat kecil seperti di universitas. Sehingga sulit membedakan mana peran BRIN dan mana peran universitas. Dan Balitbang yang sebelum diintegrasikan fungsinya juga dianggap tidak efisiensi anggaran dan dipandang tidak mempunyai standar kinerja nasional bagi Lembaga Litbang Pemerintah. 

Selain itu, integrasi di BRIN cenderung menyebabkan proses perencanaan, eksekusi, dan evaluasi kegiatan riset yang dilaksanakan dilakukan secara internal. Audit eksternal hanya terbatas pada audit keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK). Sedangkan audit substansi justru cenderung tidak serius dilakukan. Pasalnya, audit substansi bukan dilakukan oleh ahlinya, yakni organisasi profesi kepakaran yang perannya mengembangkan kepakaran.

Sehingga ketika masyarakat mempertanyakan penghentian paksa berbagai laboratorium, maka para penguasa dengan enteng menjawab bahwa laboratorium itu tidak lolos seleksi. Hal itu dikarenakan dana yang ada bersifat kompetitif. Tentunya hal ini sangat naif, karena tim reviewer-nya adalah orang yang tidak kompeten dan menguasai subtansi kepakaran. Parahnya lagi, hasil audit subtansi yang tidak kompeten tersebut kemudian menjadi alasan menutup berbagai laboratorium yang ada. 

Di sisi lain, dengan kompleksitas permasalahan dalam ekosistem riset di Indonesia, sepertinya menjadi hal mustahil bagi BRIN untuk menyelesaikan seluruh masalah tersebut pada waktu yang sama. Padahal, BRIN perlu memutuskan fokus awalnya dan mengatasi masalah satu per satu: Apakah mau efisiensi anggaran, alokasi, atau mau perampingan lembaga? Apakah efisiensi itu di sertai efektivitas atau hanya sekedar efisiensi? 

Kemudian kalau efisiensi diterjemahkan sebagai perampingan lembaga. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan perampingan dapat memperbaiki koordinasinya? Termasuk protokolnya, atau juga membangun kolaborasinya? Hal itu perlu dicarikan jawabannya agar kita bisa menyelesaikan akar permasalahan dari inefisiensi dan efektivitas. 

Lantas bagaimana mengevaluasi perbaikan BRIN ke depan agar brilian? Saya berpendapat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni: 

1). Koordinasi
Sebagian pemangku kepentingan melihat peran BRIN sebagai ‘koordinator’. Sehingga perlu pengurangan duplikasi dalam misi lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan riset. 

Selain itu, BRIN perlu memastikan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga ini diakumulasi dengan benar dan dibagikan dengan cara-cara yang membuat aktor di luar lembaga dapat memakainya. 

Tumpang tindih dalam kegiatan riset tidak sepenuhnya merupakan hal buruk. Apalagi jika riset di bidang tertentu hanya dilakukan satu lembaga, hasil riset menghadapi risiko reliabilitas dan akuntabilitas.

Salah satu faktor penting yang mendukung produksi riset berkualitas adalah berjalan beriringan dengan organisasi profesi kepakaran. Di mana di setiap kepakaran ada organisasi kepakaran yang berperan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kepakarannya. 

2). Bertindak sebagai perantara bagi riset dan perumusan kebijakan.

Peru diakui, hubungan antara riset dan kebijakan di Indonesia masih lemah, meski sejumlah upaya telah dilakukan untuk membangun jalur (pipeline) antara riset dan kebijakan tersebut. 

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki potensi untuk menjalankan peran perantara yang menjadi jembatan antara pelaku riset dan pembuat kebijakan. 

3). BRIN bisa berperan aktif dengan mencari tahu kebutuhan riset dan pangkalan data (database)

Dalam proses penyusunan kebijakan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah, BRIN bisa menyampaikan kebutuhan-kebutuhan ini kepada aktor riset yang aktif bergerak di bidang-bidang yang dapat memberikan kontribusi kepada kebijakan itu. 

4). Menjadi perantara aktor riset dan industri

Proses hilirisasi pemanfaatan hasil riset, masih menjadi masalah besar di Indonesia. Itulah sebabnya, hubungan antara aktor riset dan aktor industri perlu terjalin jauh lebih kuat.

BRIN dapat bertindak sebagai perantara aktor riset dan industri dengan membuat pedoman mengenai standar dan proses yang harus diikuti, dan membantu menyusun kesepakatan riset yang diterima kedua belah pihak. Hal Ini akan menjamin kualitas hasil yang lebih baik dan memperkecil kemungkinan hasil itu ditolak oleh sektor industri.

BRIN juga dapat memakai kekuatannya sebagai perantara untuk membantu mencari tahu kebutuhan sektor industri. Serta menolong sektor industri dengan menjalin hubungan dan berkomunikasi dengan para aktor riset. 

5). BRIN dapat mengelola dan menyalurkan anggaran riset pemerintah

Terutama Dana Abadi Penelitian dan program Prioritas Riset Nasional (PRN). Sekaligus memainkan peran sentral dalam pengelolaan kegiatan riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga kebijakan pemerintah perubahan organisasi dari Balitbang pemerintah.

BRIN juga bisa berperan sebagai lembaga pengelola dana, misalnya Rp100 miliar dikirim ke BRIN. Kemudian BRIN membagi dengan bantuan reviewer yang merupakan pakar dibidangnya yang kompeten (organisasi profesi kepakaran). 

Variasi lainnya, bisa saja dana ini dikelola. Misalkan ketika BRIN memiliki pemasukan Rp100 miliar, maka bersama organisasi kepakaran menyeleksi dan membuat kriteria. Sehingga masing-masing lembaga riset memiliki paket kegiatan riset dengan nominal sekian rupiah. Kemudian organisasi riset tersebut langsung berhubungan dengan pengelola dana tadi. 

6). Kebanyakan sistem pengetahuan yang sudah matang memakai model ‘dukungan ganda’ untuk universitas dan lembaga riset.

Lembaga riset menerima dukungan institusional (pendanaan ‘block grant’) untuk riset, yang dapat dipakai untuk kebutuhan internal sesuai dengan kebijaksanaan mereka, kemudian juga memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan memperoleh pendanaan hibah yang dialokasikan secara kompetitif (pendanaan level proyek). Sampai sejauh mana sebuah sistem dapat membangun ‘dukungan ganda’ merupakan faktor amat penting dalam upaya meningkatkan kapabilitasnya (Nurse, 2015: 6).

Perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir adalah pendanaan ‘block grant’ yang kian terkait erat dengan kinerja (Liefner, 2003). Inggris adalah inovator awal (yang dapat dikatakan sukses) dalam hal ini-pendanaan yang dahulu bernama ‘pendanaan block grant kini dikenal sebagai pendanaan riset yang terkait dengan kualitas (QR), yang secara eksplisit memberikan reward atas kinerja riset lembaga, berdasarkan Kerangka Kerja Research Excellence Fund (REF). 

REF diperoleh melalui penilaian pakar yang kompeten dari Organisasi profesi kepakaran yang dilakukan pada setiap siklus terhadap keluaran (output), lingkungan dan dampak, yang mengukur hubungan (link) riset, dan kontribusi riset kepada hasil-hasil di bidang ekonomi, di dalam masyarakat, dan hasil-hasil publik (UKRI, 2018a:23).

Uni Eropa (EU) juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang lebih kuat, yaitu agar negara-negara anggota meluncurkan pendanaan kompetitif bagi lembaga, atau pendanaan berbasis kinerja berdasarkan penilaian terhadap lembaga (Zacharewicz dkk., 2018). Meski mengakui bahwa tidak ada satu model penilaian kinerja lembaga yang dipakai di dalam EU, para penulis dengan cukup tegas menyatakan bahwa pendanaan berbasis kinerja memiliki korelasi dengan kinerja riset yang lebih baik (2018:10).

Sandström dan van den Besselaar (2018) menunjukkan bahwa korelasi positif antara tingkat pendanaan institusional dan kinerja – itu berarti pendanaan institusional sangat penting bagi sistem riset, dan meningkatkan pendanaan proyek mungkin akan mengakibatkan persaingan yang berlebihan. Mereka juga menemukan bahwa kebebasan akademik merupakan hal penting. Namun mereka juga menemukan, dalam sistem yang sangat efisien seperti Inggris, Australia, Swedia dan Finlandia, bahwa sistem evaluasi institusional memastikan bahwa pendanaan institusional digunakan dengan bijak (2018:373). 

7). Kebebasan akademik.

Yang dimaksud dengan kebebasan akademik di sini adalah peneliti yang kompeten dan dapat bebas mengajukan pertanyaan, mencari jawabannya, dan berdebat tentang hal ini, tanpa melihat apakah pertanyaan riset itu sendiri merupakan pertanyaan yang populer atau enak didengar bagi pemerintah, perusahaan, atau pihak lain yang berkepentingan.

Itu adalah salah satu sisi universitas dan dimasukkan sebagai bagian permanen dari ‘sistem tenure (jabatan tetap)’ yang melindungi akademisi dari pemecatan untuk alasan yang mungkin terkait dengan pertanyaan riset pilihannya.

Meski pada praktiknya, universitas sekarang mempekerjakan banyak peneliti berdasarkan kontrak, ketimbang dalam posisi ‘jabatan tetap (tenured)’, prinsip kebebasan akademik dan kebebasan berbicara tetap terjaga dengan kuat.

Pertimbangan sebaliknya cenderung berlaku di badan pemerintah dan lembaga swasta. Peneliti yang dipekerjakan di sana mungkin memiliki otonomi yang jauh lebih kecil dan bisa saja terikat kode etik dan/atau kontrak kerja yang mencegah mereka ambil bagian dalam debat publik.

Tentunya kebebasan tersebut disertai tanggung jawab, dan dalam beberapa tahun terakhir ada peningkatan fokus kepada makna penting etika yang selama ini basisnya adalah etika jabatan fungsional maka harus di kembangkan secara gradual dan spesifik dalam desain riset ada per reviewer dari organisasi profesi kepakaran dan dalam publikasi penerbit yang paling tepat adalah yang di kelola oleh organisasi kepakaran.

Klirens Etik basisnya adalah organisasi profesi kepakaran  perannya adalah menyampaikan desain dan hasil yang kuat, meyakinkan, dan dapat diduplikasi, terlepas dari apakah proyek itu berhasil atau tidak. Selain itu, lazimnya desain, riset perlu mempertimbangkan hak dan kepentingan ‘subjek manusia’, terutama kelompok rentan dan pihak lain yang berkepentingan, seperti pihak yang berkepentingan di bidang lingkungan.

8). Harus dibedakan antara kode etik jabatan fungsional peneliti dengan kode etik riset

Organisasi kepakaran/disiplin ilmu yang tersistem secara nasional, merupakan bagian dari upaya mengembangkan komunitas organisasi profesi kepakaran sesuai kepakaran peneliti di setiap universitas dan lembaga riset. Hal itu untuk menunjukkan tugas mereka dalam memenuhi tanggung jawab sosial kepada pemerintah dan masyarakat luas.

9). Dukungan lembaga kepada peneliti.

Selain kurangnya investasi untuk membangun keterampilan dan pengetahuan peneliti, masih kurangnya dukungan lembaga untuk riset dan sistem yang ada, membuat riset terlaksana dengan tidak efisien. misalnya (i) pendanaan riset yang tidak memadai (dalam beberapa kasus, riset terpaksa dihentikan akibat kurangnya pendanaan); dan (ii) tidak ada fungsi administrasi dan keuangan riset yang dijalankan dengan profesional, dan peneliti dibebani oleh pekerjaan administrasi.

Peneliti memahami bahwa proses riset selalu melibatkan tugas administrasi. Kendati demikian, peneliti melaporkan bahwa mereka kerap harus menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menyelesaikan tugas administrasi, ketimbang untuk melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan substansi riset. Hampir semua peneliti di BRIN mengeluh tentang situasi ini.

Pertanggung jawaban atas pengeluaran yang dibuat dengan pendanaan pemerintah adalah hal yang penting, namun meningkatkan kapasitas profesional untuk melakukan hal ini dengan efisien juga tak kalah pentingnya.

10). Alur waktu yang kaku

 Pelaksanaan proyek riset membutuhkan alur waktu (timeline) yang fleksibel. Peneliti di BRIN yang melakukan riset dengan pendanaan dari anggaran negara (APBN) sangat bergantung kepada timeline yang ditentukan oleh pemerintah. Mereka mengeluh bahwa proses riset tidak bisa disesuaikan dengan tujuan untuk memperoleh momentum terbaik, karena sering kali proses riset harus mengikuti durasi APBN yang berlaku sangat kaku. 

Penutup

Masalah-masalah yang dikemukakan di atas adalah masalah struktural, bukan masalah individual. Untuk memotivasi peneliti agar mencapai kualitas yang diharapkan, perlu ada ekosistem yang lebih terbuka dan fleksibel, di mana para peneliti didorong untuk mengembangkan diri sebagai kelompok profesional.

Selama isu SDM hanya dipandang sebagai masalah individual tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor-faktor struktural, sulit untuk mewujudkan perubahan perilaku di tingkat individual, yang secara agregat akan menciptakan kinerja lebih kuat di seluruh sistem yang pada gilirannya akan membuat brilian organisasi, yakni berkinerja tinggi.

img
Hadi Supratikta
Kolomnis
img
R. Nida Sopiah
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan