close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko (tengah, kemeja putih) menghadiri peluncuran acara Skema Pendanaan dan Fasilitasi Riset dan Inovasi 2024 di  Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jakarta, Selasa (6/2).
icon caption
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko (tengah, kemeja putih) menghadiri peluncuran acara Skema Pendanaan dan Fasilitasi Riset dan Inovasi 2024 di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jakarta, Selasa (6/2).
Nasional
Selasa, 13 Februari 2024 06:05

Jumpalitan peneliti di balik birunya capaian publikasi BRIN 

Sejumlah peneliti BRIN mengaku harus merogoh kocek pribadi untuk membiayai riset dan publikasi di jurnal ilmiah.
swipe

Robert, bukan nama sebenarnya, pasrah menerima sanksi pemotongan tunjangan kinerja (tukin) yang diberlakukan manajemen Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dianggap tak mampu memenuhi parameter kinerja yang ditetapkan BRIN sepanjang 2023, tukin Robert dipotong hingga 10% sejak Januari. 

"Semuanya enggak ada aturan yang jelas dan semaunya manajemen BRIN. Akhirnya, saya dipotong tukin karena memang dicari-cari salahnya," ucap Robert saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Robert merupakan salah satu peneliti di rumpun ilmu biologi di BRIN. Ia bercerita sepanjang 2023 menggarap enam riset. Tiga di antaranya dipublikasikan di jurnal internasional. Sesuai regulasi, peneliti BRIN wajib menghasilkan riset yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. 

Menurut Robert, BRIN memasang standar kualitas yang tinggi untuk riset-riset yang dihasilkan para penelitinya. Namun, dana riset yang digelontorkan tergolong minim. Ia bercerita harus "membongkar celengan" untuk mendanai sejumlah riset. 

Selain mendanai riset, Robert juga mengeluarkan duit yang tak kecil untuk membiayai publikasi di jurnal internasional berbayar. Ia bahkan pernah merogoh kocek pribadi hingga Rp30 juta supaya risetnya bisa tembus jurnal internasional.

"Penilaian kami itu hitungan setahun. Jadi, untuk bisa menyesuaikan itu kami cari jurnal berbayar. Masalahnya, publikasi itu tidak murah. Dananya juga tidak bisa dilaporkan ke BRIN. Mau bagaimana lagi? Kami dikejar laporan. Tapi, sekarang saya lebih memilih menerima potong tukin saja dari pada harus bayar terus (publikasi di jurnal) dengan harga mahal," tutur Robert. 

Selain cekaknya dana riset, Robert juga mempersoalkan kewajiban penulisan riset menggunakan Bahasa Inggris yang ditetapkan manajemen BRIN. Menurut dia, ketentuan itu melanggar isi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. 

Pada Pasal 29 Perpres itu disebutkan Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan, semisal laporan pengelolaan kegiatan, pelaksanaan tugas kedinasan, kegiatan masyarakat, dan pengaduan masyarakat. Bahasa Indonesia juga wajib digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah. 

"Karena apa-apa harus jurnal internasional dengan Bahasa Inggris. Ini dampak turunannya banyak. Melanggar Perpres 63/2019 dan juga orientasinya mencerdaskan pihak luar. Padahal, riset BRIN itu didanai dari pajak rakyat," kata Robert.

Cekaknya dana riset dan beratnya menembuskan artikel di jurnal internasional juga diungkap salah satu peneliti BRIN di bidang ilmu perikanan. Seperti Robert, ia juga kerap harus merogoh kantong pribadi untuk mendanai risetnya. 

"Dana riset di BRIN, menurut saya, tidak menghargai peneliti. Masa dana penelitian sebesar Rp20 juta tanpa ada fasilitas laboratorium penelitian dan dana perjalanan yang sangat minim? Nombok kita lakukan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar seperti sewa lab di lab lain," ucap peneliti yang enggan menyebut namanya itu. 

BRIN, kata sang peneliti, memang punya mekanisme penyediaan laboratorium berbayar dengan mekanisme E-layanan Sains yang mewujud dalam aplikasi Elsa. Namun, alat-alat tersedia di laboratorium kerap tidak sesuai standar baku untuk melakukan analisis.

"Analisa di Elsa itu ada yang ngantre dua sampai tiga bulan. Kita biayai sendiri biar enggak terlalu lama. Yang seperti ini memang harus kami lakukan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar dan selesai tepat waktu," kata dia. 

Sepanjang 2023, ia bercerita sudah mengeluarkan Rp9 juta untuk mengongkosi uji laboratorium di luar BRIN. Selain itu, ia telah mengeluarkan duit kisaran US$2.200-2.500 untuk membiayai publikasi di jurnal internasional.

"Untuk output jurnal, kalau cari yang berbayar, enam bulan baru terbit. Kalau yang tidak berbayar, bisa lebih dari satu tahun baru terbit. Kami nombok sebagai bentuk rasa tanggung jawab supaya kegiatan dapat selesai," ucap narasumber Alinea.id.

Akhir tahun lalu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengumumkan capaian publikasi riset di lembaga yang ia pimpin. Hingga 25 Desember 2023, publikasi yang bereputasi global dari BRIN telah mencapai 4.633 publikasi. Jumlah ini naik cukup signifikan dibandingkan dengan tahun lalu yang sekitar 3.000 publikasi. 

Publikasi di jurnal bereputasi global tersebut berasal dari 27 bidang riset, seperti ilmu lingkungan, pertanian, teknik, sosial, kimia, energi, fisika dan astronomi, seni, bisnis, ekonomi, serta kesehatan. Riset-riset yang dipublikasikan sudah "memperoleh" 2.273 sitasi.

Sebanyak 501 publikasi sukses menembus jurnal dengan kualitas tertinggi (Q1) dihasilkan dengan penulis pertama dari BRIN. Rinciannya, diterbitkan pada Elsevier (171 artikel), Springer Nature (66), MDPI (45), Wiley-Blackwell (22), Taylor and Francis (17), Dove Medical Press (12), Public Library of Science (11), dan penerbit lainnya (157).

Kepada Alinea.id, salah satu peneliti senior di BRIN mengatakan capaian publikasi riset di jurnal internasional seharusnya tidak dijadikan tolok ukur utama untuk merekam kinerja para peneliti. Kebijakan semacam itu membuat periset berlomba-lomba memproduksi karya tulis ilmiah (KTI) tanpa menimbang kualitas. 

"KTI ini bisa jadi bentuk tekanan ke periset yang khawatir kena sanksi pemotongan tukin dan bisa jadi data yang digunakan tak berhubungan dengan masalah-masalah dihadapi bangsa. Apalagi, peneliti harus membiayai sendiri publikasi paper (makalah) dan harus atas nama lembaga," ucap dia. 

Narasumber Alinea.id membenarkan BRIN menggelontorkan dana riset yang terbatas untuk para peneliti. Menurut dia, itu terjadi lantaran semua dana riset berasal dari anggaran dari empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang dilebur BRIN pada akhir 2021. 

"Dampaknya terasa ke semua lini periset. Akhirnya, ya, periset dianjurkan mencari sendiri anggaran dari tempat lain. Ada yang akhirnya dapat banyak dan ada juga yang minim," ucap narasumber Alinea.id

Eks gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini melebur ke BRIN. Alinea.id/Chris

Jadi bumerang

Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) sekaligus penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (Kika) Herlambang Perdana Wiratraman curhat para peneliti BRIN soal dana riset yang terbatas tak bisa disepelekan. Menurut dia, birokratisasi di BRIN justru melemahkan iklim produksi ilmu pengetahuan.

"Ini yang harus dijadikan refleksi kembali bahwa politik hukum dan kebijakan soal riset harus ditinjau ulang, terutama bagaimana memastikan iklim riset dan inovasi itu terbangun secara lebih baik," ucap Herlambang kepada Alinea.id

Ia mencontohkan limitasi waktu yang diterapkan BRIN dalam mengukur kinerja periset, yakni selama setahun. Menurut dia, banyak kerja riset yang muskil dirampungkan hanya dalam setahun. Apalagi, setiap periset diwajibkan mempublikasikan artikel di jurnal internasional setiap tahunnya. 

"Saya kira memang kita tidak ingin para peneliti itu dalam bentangan birokrasi semacam itu. Itu sebabnya harus diupayakan bahwa output dari kajian itu tidak selalu diukur dari limitasi waktu. Tetapi, juga berbasis pada proses yang tentu perlu mendapat penghargaan tersendiri," ucap Herlambang. 

Kebijakan BRIN soal publikasi ilmiah, lanjut Herlambang, berpotensial jadi bumerang. Supaya tidak disanksi pemotongan tukin, misalnya, para peneliti BRIN mengakses jurnal berbayar demi mempublikasikan riset. Bukan tidak mungkin para peneliti lalai dan mengakses jurnal predator yang menjadikan publikasi riset ilmiah sebagai ladang bisnis. 

"Ini memang pertaruhan bagi reputasi peneliti itu sendiri. Itu akan merugikan reputasi penelitinya. Tentu akan terjebak di dalam jaringan transnasional kriminal publikasi yang belakangan ini santer diperbincangkan selain justru merendahkan peneliti itu sendiri," ucap Herlambang.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan