Menjadikan BRIN brilian (2)
Ada pertanyaan dari teman-teman sejawat, yaitu bisakah menghebatkan BRIN dengan cara yang Anda usulkan? Yang diawali dengan pemisahan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan?
Maka penulis mengatakan, bahwa BRIN mengemban amanat dari lima undang-undang. Yaitu, UU Sisnas Iptek, UU Keantariksaan, UU Ketenaganukliran, UU Pemda yang mengatur inovasi daerah atau inovasi publik, dan UU Cipta Kerja yang baru, yaitu Perppu Cipta kerja.
UUD 45 juga mengatur fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara. Di mana, semua berbasis check and balance agar tidak menjadi lembaga super body. Karena BRIN termasuk penyelenggara riset negara, maka dipastikan harus mengikuti UUD 1945, yakni harus ada check and balance. Di mana, BRIN bukan semuanya (pembuat kebijakan, pelaksana dan pengawas untuk dirinya sendiri) menjadi satu jelas tidak ada check and balance.
Perlu di garis bawahi di Pasal 50 ayat (4) UU Sisnas Iptek mengatakan, untuk menjamin akuntabilitas profesi sumber daya iptek, perlu dibentuk organisasi profesi ilmiah. Kemudian Pasal 87 ayat (2) menyebutkan, masyarakat iptek bertanggung jawab untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi ilmiah. Sayangnya, BRIN tidak mengakomodir fungsi organisasi ilmiah seperti organisasi profesi kepakaran, padahal itu diatur dalam UU Sisnas Iptek dan juga pada UU lainnya di atas.
Selain itu, BRIN juga tidak boleh hanya memberi sedikit ruang gerak terhadap organisasi profesi ilmiah. Apalagi, menganggap semua kepakaran ilmu yang di gawangi oleh peneliti dan perekayasa level Ahli Utama memiliki Keluaran Kinerja Minimal (KKM) yang sama, yaitu hanya publikasi ilmiah terindek global menengah dan tinggi saja .
Padahal, peneliti dengan kepakaran ilmu tertentu membutuhkan belanja alat misalnya untuk membuat roket, belanja reaktor untuk riset nuklir, belanja replikasi alat kunci teknologi tepat guna, alat-alat untuk riset di lapangan dan sebagainya yang tidak bisa semuanya alat tersentralisasi dengan birokrasi rumit yang. Sehingga berujung kegagalan dalam mencapai target riset sesuai waktu yang telah di susun oleh peneliti mengikuti pemberi dana,
Secara konsep, inovasi merupakan perkalian antara invensi dan komersialisasi yang berarti membutuhkan lintas kepakaran dan lintas organisasi profesi (orprof) ilmiah yang terlibat. Dan kalau sudah parah (bikin para peneliti seluruh kepakaran sulit bernapas), harus dimulai dari pelibatan orprof ilmiah. Makanya, perlu mendudukkan pembuat kebijakan sebagai pengganti peran Dewan Riset Nasional. Agar semua kapakaran yang dibuat susah bernapas, dapat diurai dengan mengubah dan membongkar dari akar awal permasalahannya, yakni pemisahan pembuat kebijakan dari BRIN untuk check and balance kebijakan yang bikin susah bernapas diikuti pemisahan pengawas pelaksanaan subtansi riset dari BRIN.
Pembuat kebijakan sebelum integrasi BRIN dilakukan oleh Dewan Riset Nasional (DRN) telah dihapus. Sehingga perlu pengganti semacam Dewan Penasihat Nasional yang berasal dari perwakilan organisasi profesi ilmiah yang dapat membantu membentuk misi-misi riset nasional baru.
Misi tersebut harus dikaitkan dengan link untuk mendapatkan kesempatan pendanaan kompetitif. Itu berarti porsi pendanaan pemerintah untuk riset paling sedikit mencapai 40% hingga 60% dari total pendanaan pemerintah yang tersedia untuk riset seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya.
Bagaimana kebijakan riset dan inovasi berkontribusi kepada pembangunan nasional?
Agenda dan prioritas riset nasional merupakan bentuk kebijakan publik akhir abad ke-20. Negara-negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan yang sudah matang, menetapkan agenda dan prioritas ini dengan melakukan tiga transisi besar dalam produksi pengetahuan yaitu: pendanaan langsung untuk riset dan inovasi melalui model top-down. Pada mekanisme ini, pendanaan digerakkan oleh penawaran (‘riset yang diarahkan’). Kemudian, pendanaan melalui sistem hibah bersaing yang kebijakannya arah dan prioritas riset di buat oleh Dewan Penasihat Nasional (kumpulan perwakilan organisasi profesi ilmiah) atau lembaga berbasis ikatan-ikatan peneliti dan inovator yang menandakan pergeseran ke produksi pengetahuan yang digerakkan oleh permintaan komunitas profesi kepakaran selalu simbul pasar atau pelanggan. Terakhir, pendanaan berorientasi kepada tema, yang berkembang sebagai tambahan di luar kebijakan umum tentang ilmu pengetahuan (de Haas 2017:48).
Sumber daya untuk mendukung hal ini disediakan oleh pendanaan di dalam dan di luar pemerintah yang difasilitasi regulasinya oleh pemerintah. Meski pada praktiknya masing-masing negara mempunyai bauran pendanaan yang berbeda. Mazzucato (2018) menyebut, tahap ini sebagai ‘riset yang berorientasi kepada misi’ yang dirumuskan oleh organisasi profesi kepakaran/orprof ilmiah.
Skema di atas menunjukkan, bagaimana penawaran pendanaan pemerintah untuk riset yang diarahkan dikelola. Namun di sebagian besar negara dengan perekonomian pascapemulihan akibat pandemi, riset ‘blue-sky’ atau riset yang digerakkan oleh rasa ingin tahu (riset ‘bottom-up’) yang diajukan oleh para peneliti, menjadi bagian penting dari seluruh upaya riset dan inovasi yang dibutuhkan pasar. Yang pada gilirannya dibutuhkan bangsa dan negara.
Keseimbangan dalam bauran antara riset yang berorientasi kepada misi dan riset yang digerakkan oleh rasa ingin tahu peneliti, harus lah memiliki keseimbangan pendanaannya. Oleh karena itu, negara haruslah fokus kepada ‘penyerapan luas’. Artinya pemerintah mendanai riset tanpa mengikatnya secara langsung dengan sektor industri tertentu atau bahkan di arahkan pada publikasi yang tidak berbayar, yang berarti bersifat closed access.
Melalui pola ini, berarti hasil publikasi akan diminta pihak penerbit bahkan dimintai pelepasan property right kepada penerbit karena tidak berbayar. Hal itu sangat merugikan negara karena hasil riset telah diklaim property right milik penerbit. Pola ini telah menguntungkan sejumlah negara yang telah mengambil alih property right-nya, misalnya Jepang. Di mana dibaliknya ada pengusaha Elsivier yang merupakan para kapitalis global yang haus akan kapital (de Haas 2017: 49, mengutip Soete dkk. 2012). ‘Penyerapan’ juga terkait dengan membangun kapasitas umum di kalangan pelaku riset, termasuk sektor industri, untuk menyerap kemudian mengembangkan riset.
Mengapa check and balance riset merupakan hal penting?
Kebanyakan negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan yang sudah matang, mempunyai agenda riset nasional yang dirumuskan dari Dewan Penasihat Riset (Perwakilan Organisasi Profesi Ilmiah). Kebijakan itu sering kali mencakup kombinasi beragam pendekatan, yakni: (1) kebijakan yang mendorong terciptanya kondisi umum untuk inovasi (misalnya, insentif pajak bagi belanja perusahaan untuk riset dan pengembangan, atau investasi dalam pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapasitas penyerapan nasional untuk riset dan inovasi); (2) pilihan tematik eksplisit, yang memfokuskan perhatian dan sumber daya kepada kekuatan yang ada dan sudah terbukti (yang biasanya disebut sebagai pendekatan yang ‘mendukung pemenang’); (3) membantu tumbuhnya jaringan yang terdiri dari perusahaan, peneliti, dan pemerintah.
Semua itu dimaksudkan agar agenda riset nasional mewakili kesepakatan yang dibuat oleh para mitra jaringan (yang biasanya memuat insentif bagi beragam aktor untuk membentuk konsorsium riset dan mengembangkan penemuan melalui pendekatan ‘bottom up’) (de Haas 2017: 50).
Pakar ekonomi pembangunan terkemuka dunia saat ini Mazzucato, menulis tentang hubungan antara negara, perekonomian, dan inovasi, dan menyatakan, bahwa menetapkan riset yang berorientasi kepada misi, serta prioritas dan program inovasi, merupakan hal penting pada saat pemerintah merancang strategi untuk riset dan Inovasi.
Menyusun riset yang berorientasi kepada misi, membutuhkan roadmap (atau peta jalan yang mempertimbangkan semua peraturan yang relevan dan aktor pengetahuan yang perlu dikoordinasi dan berorientasi ke arah yang sama, juga sasaran yang sama. Pada tingkat sistem, Roadmap Riset dan Pengembangan Inggris (2020) adalah pendekatan yang amat jelas dan komprehensif dalam menyederhanakan kompleksitas peraturan dan mengoordinasikan pendanaan dan para aktor demi meraih hasil yang lebih signifikan.
Pada tingkat kebijakan individual, Miedzinski, Mazzucato dan Ekins (2019) memberikan solusi terperinci tentang bagaimana kebijakan inovasi dapat disusun untuk menghasilkan misi lingkungan yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Riset oleh konsorsium, yang menekankan riset bersifat luas, interdisipliner, dan transdisipliner, mengenai subjek yang relevan bagi ilmu pengetahuan dan/atau masyarakat, mempunyai nilai tambah jelas bagi pendekatan yang bersifat luas dan nasional. Selain itu, riset harus melibatkan mitra dari masyarakat (termasuk industri) juga warga.
Penyusunan program tematik, meliputi program-program yang dibangun melalui konsultasi dengan kementerian-kementerian pemerintah. Inovasi dan jejaring mengembangkan jaringan yang terselenggara mandiri sesuai rumusan organisasi profesi ilmiah yang menaunginya.
Sebagai penutup, Agenda Riset Nasional (ARN) harus dirumuskan, dimonitor, dan dievaluasi pelaksanaannya oleh Dewan Penasihat Nasional (perwakilan dari organisasi profesi ilmiah), sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah di luar struktur birokrasi BRIN yang normal. Dewan Penasihat Nasional menerima mandat untuk mewakili pandangan para aktor kapakaran yang memiliki kepentingan dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.