Mengapa sanksi ekonomi kepada Myanmar tidak efektif?
Menyusul peristiwa kudeta militer di Myanmar dan penembakan brutal kepada demonstran, komunitas internasional menjatuhkan sanksi ekonomi untuk memaksa junta militer menghentikan aksinya.
Sejumlah negara Barat ramai-ramai menghukum Myanmar, seperti Inggris yang mengenakan sanksi kepada enam tokoh militer larangan bepergian ke Inggris dan penghentian bisnis. AS juga mengenakan sanksi berupa pembekuan aset US$ 1 miliar dan masih akan menambah sanksi lagi. Uni Eropa melakukan penangguhan bantuan pembangunan. Langkah yang sama juga dilakukan Norwegia. Selandia Baru mengikuti kebijakan Barat dengan pelarangan bepergian dan pembekuan bantuan.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemberlakuan sanksi ekonomi itu ampuh untuk menekan junta militer Myanmar? Tulisan ini berpandangan bahwa strategi menghukum yang dilakukan negara-negara Barat itu kemungkinan kecil akan berdampak terhadap kebijakan junta militer Myanmar. Setidaknya ada dua faktor di balik tidak efektifnya sanksi internasional kepada Myanmar.
Dua faktor
Pertama, sanksi ekonomi tidak efektif karena negara-negara Barat cenderung menggunakan sanksi terbatas atau sanksi spesifik ketimbang sanksi komprehensif. Sanksi komprehensif meliputi larangan perdagangan antarnegara (ekspor-impor atau embargo). Tujuan sanksi ini adalah untuk melumpuhkan perekonomian negara sasaran.
Namun karena sanksi jenis ini dianggap tidak manusiawi karena menimbulkan dampak sampingan yang tak dikehendaki (collateral damage) terhadap kehidupan warga masyarakat yang tak ada sangkut-pautnya dengan kebijakan pemerintah, maka negara-negara Barat kemudian menggunakan metode alternatif, yaitu sanksi terbatas atau sanksi spesifik. Dalam literatur politik internasional, metode ini dikenal dengan ‘smart sanction’.
Berbeda dengan sanksi komprehensif, di mana tujuannya adalah mengganggu perekonomian negara sasaran, sanksi terbatas hanya menyasar kelompok, lembaga, atau individu yang terkait langsung dengan kebijakan pemerintah. Dalam konteks Myanmar, kebijakan sanksi negara-negara Barat menyasar para jenderal di tubuh angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw) yang paling bertanggungjawab atas peristiwa kudeta militer beberapa waktu lalu.
AS merupakan negara yang paling banyak menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Myanmar. Setidaknya AS telah menjatuhkan tiga kali sanksi yaitu pada 1997, 2003, dan 2007. Namun pada 2016 di era pemerintahan Obama, AS mencabut seluruh sanksi kepada Myanmar.
Meskipun berulangkali dikenai sanksi, dampaknya tidak terlalu signifikan untuk mengubah pendirian kubu militer Myanmar. Hal ini dicatat oleh PBB pada 2018 menyusul serangkaian kekerasan terhadap etnis Rohingya bahwa sanksi Barat tidak efektif (Yhome, 2018). Penelitian-penelitian para ahli juga mengonfirmasi temuan bahwa sanksi Barat kepada Myanmar tidak efektif (Nyun, 2008; Andreasson, 2008). Pihak militer kemungkinan belajar dari pengalaman itu sehingga tidak gentar walaupun mendapatkan tekanan dari Barat. Artinya, mereka sudah tahu bahwa sanksi internasional tak akan berdampak bagi mereka dan karena itu tak perlu ditanggapi serius.
Kedua, Myanmar memiliki tingkat ketergantungan ekonomi yang rendah kepada negara-negara Barat. Salah satu prasyarat supaya sanksi komprehensif berjalan efektif (seperti kasus embargo minyak ke Irak pada awal 1990-an) adalah ketergantungan negara sasaran kepada negara pemberi sanksi (Drezner, 1999).
Logikanya, semakin tergantung negara sasaran kepada negara pemberi sanksi, maka semakin rentan perekonomian negara sasaran. Dalam kondisi di bawah tekanan internasional, negara sasaran tidak punya posisi tawar sehingga memilih menuruti tuntutan internasional. Kondisi inilah yang konon memaksa Korea Utara di bawah Kim Jong-un bersedia berkompromi dengan AS terkait denuklirisasi.
Faktanya, perekonomian nasional Myanmar ditopang oleh hubungan perdagangannya dengan negara-negara non-Barat. Menurut data Bank Dunia (2018), lima negara tujuan ekspor terbesar Myanmar berturut-turut adalah China, Thailand, Jepang, India, dan Hongkong (China). Sedangkan impor Myanmar tergantung secara berturut-turut pada China, Singapura, Thailand, India, dan Indonesia. Terlihat bahwa China, Thailand, dan India adalah tiga negara yang sangat penting bagi perekonomian Myanmar.
Masalahnya, ketiga negara itu sama-sama mengambil kebijakan hati-hati terhadap Myanmar. China menggunakan dalih prinsip nonintervensi. Sikap Thailand malah menunjukkan dukungan implisit kepada rezim militer Myanmar mengingat ada kesamaan diantara keduanya dimana kudeta militer sudah menjadi fenomena lazim di Thailand. Sikap India juga cenderung menjaga jarak dan ‘wait and see’; sekadar mendukung transisi politik demokratis di Myanmar. Pendek kata, tak satupun dari mitra ekonomi utama Myanmar itu yang menunjukkan sikap penentangan terhadap aksi kudeta.
Benturan norma
Jadi, jangankan sanksi terbatas, penerapan sanksi komprehensif terhadap Myanmar kecil kemungkinan akan menuai kesuksesan mengingat rendahnya tingkat ketergantungan ekonomi Myanmar kepada negara-negara Barat. Itulah sebabnya negara-negara Barat berupaya keras membujuk para negara mitra dagang Myanmar tadi untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih asertif. Namun sampai saat ini, belum ada indikasi negara-negara tadi mengubah kebijakan luar negerinya kepada Myanmar. Mereka tampaknya enggan menuruti kehendak Barat karena lebih memprioritaskan pada kepentingan nasional mereka sendiri ketimbang ikut campur urusan domestik negara lain.
Klaim ini barangkali terdengar tidak etis dari kacamata Barat yang memandang demokrasi dan HAM adalah norma universal. Barat menilai bahwa kedaulatan menjadi tidak bermakna apabila terjadi pelanggaran terhadap dua prinsip universal tadi. Kasus kudeta dan penembakan brutal kepada demonstran di Myanmar dianggap sudah melewati garis merah menurut standar Barat. Maka, sudah seharusnya negara-negara lain mengambil tindakan nyata.
Akan tetapi, politik di Asia Tenggara itu kompleks dan dalam banyak hal tidak kompatibel dengan cara pandang Barat. Kedaulatan masih merupakan norma fundamental. Sebagai kawasan yang mengalami pahitnya kolonialisme Eropa, negara-negara di kawasan sangat resisten terhadap setiap bentuk campur tangan negara lain. Jangankan sanksi ekonomi, kritikan dan kecaman kepada negara lain merupakan hal tabu untuk dilakukan. Di samping melanggar prinsip nonintervensi, sikap demikian itu bertentangan dengan prinsip ‘hidup bertetangga yang baik’ (good neighbourhood policy).
Menghukum tetangga yang ‘nakal’ bukanlah karakteristik hubungan internasional di Asia Tenggara.
Masalah Myanmar adalah masalah kompleks dan dilematis. Di satu sisi, apa yang dilakukan rezim militer di Myanmar adalah bentuk pelanggaran demokrasi dan HAM yang diakui dan djunjung tinggi oleh semua negara, termasuk ASEAN.
Di sisi lain, negara-negara di kawasan seolah tidak mampu berbuat banyak (selain menghimbau dan membujuk) untuk menghentikan pelanggaran itu. Tidak seperti negara-negara Barat, sanksi ekonomi bukanlah alat diplomasi yang lazim digunakan oleh negara-negara di Asia Tenggara. Pendekatan diplomatik dan bukan koersif masih menjadi instrumen paling masuk akal untuk mengubah kebijakan rezim militer di Myanmar.