Mendukung pilkada di tengah pandemi
Banyak orang takut dengan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Barangkali Anda termasuk salah satunya. Boleh jadi ketakutan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang kuat.
Mari kita kuliti satu per satu alasan mengapa perlu menggelar pilkada di tengah pandemi.
Publik, khususnya 105 juta pemilih di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tentu bertanya apa sih pentingnya pilkada di saat mereka harus berjuang melawan wabah korona ini?Bukankah sekarang lebih penting bagaimana korona segera hilang dari muka bumi. Tak kalah penting, masyarakat kecil bisa kembali bekerja untuk mengisi perut yang telah dikencangkan ikat pinggangnya tiga bulan ini. Seolah-olah langkah KPU bertentangan dengan logika publik.
Antara melindungi kesehatan vs menjaga demokrasi
Urusan menunda atau tetap menggelar pemilu di tengah pandemi di berbagai negara pun beragam. 30 negara tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal di 2020 misalnya Jerman, Prancis, dan Korsel. Ada yang menunda di tahun depan antara lain, Paraguay, Inggris, Kanada. Ada yang menggeser jadwal pelaksanaan tetapi tetap di 2020 oleh sebagian besar negara yang menyelenggarakan pemilu di tahun ini, misalnya Afrika Selatan, Austria, Polandia.
Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya.
Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontra produktif dalam situasi penanganan Covid-19.
Standart internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standar pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005).
Bayangkan, potensi masalah politik dan hukum jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi.
Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat. Gara-gara pandemi bisa dijadikan alasan bagi pemerintah otoritarian untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya dengan menghilangkan hak asasi paling mendasar, yakni hak politik untuk memilih dan dipilih.
Secara hukum, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi memiliki payung hukum yang kuat, yakni Perppu No.02 Tahun 2020. Artinya, pelaksanaan pilkada bukan semata kemauan KPU sebagai penyelenggara tetapi amanat undang-undang dalam hal ini Perppu.
Menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara pemilu di Indonesia. Publik tidak perlu ragu, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu yang seringkali sistem dan aturan mainnya berubah. Undang-Undang Pemilu dan Pilkada sering berubah-ubah, baik di ubah oleh DPR, judicial review di MK ataupun tiba-tiba ada Perppu dari pemerintah.
Masyarakat atau pemilih di Indonesia karakteristiknya mudah menerima perubahan sistem dan cenderung manut. Lihat saja perilaku pemilih pada pemilu Orde Baru maupun di era reformasi yang berubah-ubah aturan mainnya. Misalnya, pemilu serentak lima kotak, sistem tertutup kemudian terbuka, dan macam-macam sistem pemilu sudah pernah dicoba dan pemilihnya cenderung mudah beradaptasi.
Coba saja lihat hasil survei Litbang Kompas yang terbaru pada 5 Juni 2020, 64,8% publik tetap bersedia ikut serta saat pencoblosan jika pilkada tetap digelar saat pandemi.
Soal aspek kesehatan publik bagaimana? BNPB sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penanganan pandemi Covid-19, tentu di dalamnya berisi para ahli kesehatan, ahli pandemiologi, dan para pakar, telah memberikan surat jawaban bahwa tahapan pilkada dapat dilanjutkan dengan memenuhi protokol kesehatan.
Dari 294 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020, tidak semua daerah rawan Covid-19. Hanya 15% yang menerapkan PSBB dan 16 kabupaten/ kota yang memiliki kasus Covid-19 lebih dari 100 kasus. Cukup realistis menggelar pilkada di tengah pandemi ini, saat pemerintah sedang berupaya membuka kembali aktivitas sosial ekonomi masyarakat secara bertahap.
Efektivitas pemerintahan di era new normal
Era new normal, suka tidak suka, mau tidak mau “terpaksa” kita pilih karena tidak ada satupun ilmuwan, peneliti maupun lembaga yang memastikan kapan pandemi Covid-19 berakhir.
Untuk mengindari ketidakpastian yang tiada ujungnya, pilkada bisa terus ditunda di 2021, 2022 dan seterusnya. Jika pilkada ditunda terus maka tidak akan ada kepastian penyelenggaraan pemilu.
Bila pilkada harus ditunda, pemerintah harus mengangkat 270 penjabat kepala daerah yang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi pemerintah, yang konsentrasi semua SDM dialokasikan untuk perang total melawan pandemi Covid-19.
Kalau ditanya ke warga daerah, kira-kira lebih suka dipimpin gubernur, wali kota, atau bupati beneran apa penjabat gubernur, walikota atau bupati. Pasti, lebih banyak yang ingin dipimpin sosok gubernur, wali kota, atau bupati definitif.
Bukan sekedar simbol pemerintahan, tetapi gubernur, wali kota atau bupati memiliki kewenangan yang lebih powerfull. Misalnya dalam bidang penataan organisasi birokrasi, SDM atau kepegawaian maupun soal alokasi anggaran untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya pada rakyat yang telah memilihnya.
Banyak pengamat yang menilai pilkada di tengah pandemi akan menguntungkan petahana. Tidak juga, sebaba pilkada di tengah pandemi ini bisa jadi soal ujian akhir kompetensi kepemimpinan kepala daerah. Bagi pemimpin yang sukses menangani krisis pandemi Covid-19 ini baik mengelola bansos, membuat sistem manajemen kesehatan dan kerja keras turun ke lapangan, memastikan kesehatan publik dan keseimbangan ekonomi terjaga, bisa menjadi poin plus.
Sebaliknya, jika gagal, misalnya pengelolaan bansos yang amburadul, kasus korona yang tidak terkendali hingga isu korupsi bansos, bisa jadi pemilih akan menghukum petahana dengan tidak memilihnya kembali.
Selain itu, tahun depan pemerintah termasuk pemda fokus pada tahun recovery ekonomi. Bila tahun depan masih berfokus pada tahun politik dengan menggelar pilkada, maka recovery ekonomi tidak akan maksimal. Begitu pula dengan anggaran penyelenggaraan pilkada jika ditunda tahun depan, akan menjadi beban berat bagi ruang fiskal pemda yang sedang bekerja keras memulihkan ekonomi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, enak tidak enak, kita harus legawa untuk berikhtiar menggelar pilkada di tengah pandemi.
Bergandengan tangan
Saat ini, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan kepemiluan baik penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, pemerintah, partai politik dan peserta pilkada bergandengan tangan. Bersama-sama melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga demokrasi. Keyakinan bahwa pemilu adalah instrumen penting untuk memperkuat demokrasi sekaligus menegakkan kepastian hukum perlu digaungkan.
Bila antarpemangku kepentingan masih saling “ngotot” menunda atau melanjutkan pilkada, akan memicu keraguan bagi pemilih dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu. Problem kesehatan publik dan menjaga demokrasi, dua-dua nya tidak akan terpecahkan, yang ada hanya saling adu kuat argumentasi mendukung atau menolak pilkada.
Penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik dan kandidat peserta pilkada, maupun masyarakat sipil, secara kolektif sudah harus selangkah lebih maju membahas mengantisipasi potensi permasalahan yang akan terjadi. Pilkada yang demokratis, aman dan sehat harus kita wujudkan bersama-sama. Kesetaraan kompetisi antar kandidat, pemenuhan hak pilih dan penyelenggara pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat harus kita jaga. Jangan sampai, habis pilkada terbitlah wabah korona klaster pilkada jika protokol kesehatan diabaikan.