close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 05 Agustus 2019 20:18

Konstruksi kabinet nirtransaksi

Praktik koalisi dan oposisi merupakan simalakama dan menyandera demokrasi Indonesia.
swipe

Bangsa Indonesia akan segera memiliki pemimpin definitif untuk periode 2019-2024. Hasil sengketa di MK menguatkan keputusan KPU, yaitu memenangkan Jokowi-Makruf pada Pilpres 2019. MK memutuskan menolak seluruh gugatan pihak Prabowo-Sandi. 

Jokowi-Makruf memiliki tugas berat dalam menyusun kabinet pemerintahan. Penyusunan diprediksi akan berjalan alot. Sejak awal janji telah disampaikan untuk membangun koalisi tanpa syarat.

Konsekuensi yang harus dijalankan adalah membentuk kabinet tanpa transaksi. Kacamata awam menganggap hal ini sebuah kemustahilan mendasarkan tradisi selama ini. Pembuktian yang mesti dilakukan adalah minimalisasi hadirnya transaksi tersebut.

Sandera koalisi

Praktik koalisi dan oposisi merupakan simalakama dan menyandera demokrasi Indonesia. Indonesia sebagai penganut sistem presidensialisme idealnya ditentukan segalanya oleh presiden yang memiliki mandat rakyat dan hak prerogatif dalam banyak hal. Faktanya koalisi mewarnai.

Koalisi secara terminologi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerja samanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri (Sudirman, 2014). Koalisi di Indonesia yang tersusun dari koalisi beberapa partai atau gabungan partai politik secara normatif bertujuan membangun pemerintahan yang kuat.

Secara konstitusional koalisi hanyalah persyaratan untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 serta terkait kebutuhan presidential threshold.

Pascapemilu kelanjutan bangunan koalisi tetap menjadi keniscayaan. Koalisi acap diimplementasikan untuk power sharing dan demi menguatkan legitimasi kebijakan pemerintah selama lima tahun. Hal ini menguatkan bukti bahwa koalisi yang dibangun selama ini cenderung pragmatis dan lebih mengesankan transaksi politik dibandingkan pembangunan politik. Misalnya, pembentukan kabinet yang semestinya menjadi wilayah prerogatif presiden cenderung tergerus oleh intervensi politik dari partai-partai yang ”berkeringat” dalam kontestasi pemilihan presiden (Wahyu dan Purwantari, 2014).

Data membuktikan bahwa jumlah menteri berlatar belakang partai politik sangat tinggi. Era SBY sebesar 61,8%. Era Jokowi-JK sebanyak 15 menteri. Kini sudah banyak parpol yang terang-terangan mengungkapkan permintaan jumlah menteri. Kondisi ini akan melahirkan dualisme loyalitas para menteri partisan. Antara loyalitas kepada presiden dan loyalitas kepada pemimpin partai. Akibatnya pemerintah tersandera politik transaksional tersebut.

Tjandra (2014) menilai wajar semua fenomena ini akibat watak semi parlementarisme telah menimbulkan kebuntuan sistem ketatanegaraan. Presiden dipaksa selalu ”bermanis muka” sejak membangun koalisi masa pencalonan hingga saat harus mengeksekusi kebijakan pascaterpilih yang diharuskan berhadapan dengan watak semi-parlementarisme sistem legislatif.  Kondisi ini menyebabkan presiden sulit diharapkan akan mampu merepresentasikan harapan pemilihnya.

Koalisi dalam sistem presidensial memiliki kelemahan (Mainwaring, 1990). Pertama, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sedangkan parpol bisa lemah komitmennya terhadap presiden. Kedua, anggota legislatif dari parpol yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga, keinginan parpol membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.

Indonesia realitanya memang tidak murni menganut sistem presidensial karena dalam beberapa hal presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Haris (2008) menjelaskan bahwa koalisi menjadi rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi presidensial dan multipartai di satu pihak, serta dalam rangka efektivitas mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain.

Sistem koalisi dan oposisi sendiri masih belum memiliki konsep yang mapan di Indonesia. Tanuwijaya (2010) menegaskan terdapat tiga permasalahan fundamental yang harus diselesaikan dalam membangun sistem koalisi. Permasalahan tersebut terkait kejelasan arti partai koalisi dan partai oposisi, dasar koalisi yang lebih banyak pragmatis, serta mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang berkhianat.

Minimalisasi transaksi
Politik sejatinya adalah who gets what, how, and when. Oleh karenanya menurut Laswell (2014) koalisi di Indonesia pasti membicarakan kursi.  Hanya saja porsi pembagian ini ke depan mesti semakin dikurangi. Beberapa hal penting dipertimbangkan guna meminimalasi transaksi selama masa transisi dan kedepannya.

Pertama, mempertebal nyali pemimpin dalam bernegosiasi dengan partai koalisi. Jokowi mesti berani mendikte partai koalisi demi menjalankan komitmen. Penunjukan menteri mesti dengan pertimbangan kapasitas bukan representasi politik. Sosok pilihan yang kebetulan partisan mesti dipaksa melepas jabatan strategisnya di partai politik seperti ketua umum. Langkah moderatnya dengan meminta parpol koalisi menyiapkan sosok profesional yang diajukan.

Kedua, menguatkan keyakinan presiden sebagai bekal berhadapan dengan oposisi di parlemen. Jokowi mesti memutus stigma paranoid terkait budaya ganjalan opisisi. Sikap kritis oposisi sebenarnya wajar terkait tugas parlemen maupun praktik demokrasi. Konsekuensinya kabinet mestilah berkualitas sehingga kebijakan yang ditelurkan dapat meyakinkan dan sulit dimentahkan opisisi.

Ketiga, publik penting terus melakukan pengawalan khususnya menyangkut implementasi janji selama kampanye. Realisasi zaken kabinet menjadi harga mati. Publik mesti menuntut presiden melakukan uji publik terhadap kandidat menteri sebelum diputuskan. Semua elemen dituntut sinergis sebagai penyambing lidah rakyat yang memberikan mandat.

Keempat, parpol koalisi penting menyadari dan tidak memaksanakan kehendak terhadap presiden terpilih. Ini menjadi ujian kedewasaan berdemokrasi sekaligus memberikan teladan pembelajaran ke depan. Kedewasaan parpol koalisi dapat dikapitalisasi guna mendapatkan dukungan politik rakyat demi persiapan hajatan demokrasi lima tahun mendatang. Jika hal ini diabaikan, maka sanksi sosial berpotensi terjadi melalui antipati publik terhadapnya.

Jokowi-Makruf memiliki peluang menorehkan kiprahnya dalam sejarah demokrasi Indonesia. Peluang tersebut berupa upaya minimalisasi transaksi politik dan penguatan sistem presidensialisme.  
 

img
Ribut Lupiyanto
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan