Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi pemenang dari kontestasi Pilpres 2024. Seperti biasa, pembagian kue di antara para pendukung dan pengusung akan mulai terlihat satu demi satu.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul pun berkaca pada ucapan Prabowo yang ingin merangkul semua pihak. Belum lagi melihat Surya Paloh yang sudah ‘dikondisikan’ menjelang sidang di MK dan meninggalkan Anies Baswedan.
Demikian dengan PPP. Partai berlambang kabah ini identik dengan keakraban bersama pemerintah dan tidak pernah beroposisi.
“Saya kira porsi-porsi itu diberi (dengan lawan politik) hanya tidak sama dengan pendukung,” ujar Adib kepada Alinea.id, Rabu (24/4).
Sementara, Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan melihatnya berdasarkan dua variabel. Pertama adalah “kontribusi” dan kedua “pengalaman”.
Untuk variabel pertama, jelas saja Gerindra yang layak mendapatkan jumlah menteri terbanyak. Bagaimana pun Gerindra adalah parpol tempat bernaung Prabowo dan sudah tiga kali mengajukan mantan Danjen Kopassus itu sebagai capres.
Jika menggunakan variabel jumlah kursi Parlemen, tentu Golkar yang layak untuk mendapatkan jumlah menteri terbanyak. Golkar sangat berpengalaman di pemerintahan dan bisa diandalkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan ke depan.
“Profil kabinet ke depan cenderung bercorak party cabinet di mana akan diisi oleh sebagian besar kalangan partai politik. Jika menggunakan variabel kontribusi dalam pilpres, tentu Gerindra yang paling layak,” kata Yusak kepada Alinea.id, Rabu (24/4).
Namun, tidak boleh dilupakan juga para lawan politik yang tergabung dalam kubu 01 dan 03. Misalnya, Nasdem dan PKB sudah memberikan sinyal kuat akan merapat.
Bahkan PKS juga menerima putusan MK. Demikian juga PPP, meskipun tidak punya kursi di DPR RI, PPP bisa mewakili kelompok Islam tradisional.
“Sangat mungkin bagi partai-partai di kubu 01 dan 03 bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Khusus PDIP, kata Yusak,!masih terbuka kemungkinan menjadi oposisi. Peluang bergabung atau oposisi masih sama-sama terbuka, bergantung pada kompromi Mega dan Jokowi.
Terlebih, Gugatan PDIP ke PTUN menandai bahwa rekonsiliasi antara Mega dan Jokowi masih menemui jalan buntu.
“Kalau Pak Prabowo saya kira tidak ada masalah dengan PDIP,” ucapnya.