close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Akmal Nasery Basral. Foto istimewa
icon caption
Akmal Nasery Basral. Foto istimewa
Kolom
Jumat, 13 Oktober 2023 18:42

Komitmen omong kosong Netanyahu tentang status quo

Polisi Israel penjaga kompleks Al Aqsha semakin memberikan kebebasan kepada pengunjung Yahudi sejak 2017.
swipe

Hari ini, tepat sepekan Perang Gaza pecah sejak Sabtu 7 Oktober. Hamas memulai serangan lewat Operasi Topan Al Aqsha, Israel membalas melalui Operasi Pedang Besi. Tulisan ini bukan kronik tentang data jumlah korban atau jenis senjata yang digunakan.  Saya mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat dan lebih cermat salah satu masalah utama Palestina-Israel dari perspektif sejarah dan hukum Taurat.  

Pada 6 Juni 1967, hari kedua Perang Enam Hari, para penerjun payung Israel dari Brigade 55 yang dikomandani Kolonel Motta Gur sukses memasuki wilayah Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Yordania. “Har HaBayit sudah kita kuasai,” seru Kolonel Gur gembira melalui radio ke markas besar militer.  

Ini bukan cuma laporan operasi biasa melainkan sebuah klaim sejarah yang istimewa. Sebab, Har HaBayit adalah bahasa Ibrani untuk Bukit Bait Suci (Temple Mount) atau al Haram al Sharif dalam bahasa Arab. Inilah lokasi Masjid Al Aqsha tempat Nabi Muhammad s.a.w. melakukan isra mi’raj pada abad ke-7.

Petugas radio Brigade 55 bernama Ezra Orni di samping Kolonel Gur dengan cekatan mengeluarkan bendera Israel dari salah satu sakunya dan bertanya apakah boleh mengibarkannya dari Kubah Emas? 
“ Yalla!” jawab Kolonel Gur. Lakukan!.

Maka Orni ditemani Mayor Arik Achmon  bergegas naik ke bangunan suci yang juga disebut Kubah Batu (Dome of the Rock) itu. Bendera Bintang Daud pun berkibar.

Menteri Pertahanan Jenderal Moshe Dayan yang berada di Bukit Scopus dan menyaksikan kelakuan anak buahnya melalui teropong kontan berteriak gusar. “Apa yang kalian lakukan? Mau jadikan Timur Tengah lautan api? Turunkan bendera sekarang juga!” bentaknya. “Siap, Jenderal!” jawab Kolonel Gur goyah. Bendera Israel pun diturunkan, dilipat dan disimpan kembali oleh Orni. 

Ini kesaksian Mayor Arik Achmon yang diceritakannya kepada jurnalis Yossi Klein Halevi dari majalah bulanan The Atlantic edisi Juni, 2017. 

Pada 10 Juni Perang Enam Hari berakhir dengan kemenangan Israel atas tiga negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah). Sepekan kemudian, Moshe Dayan bertemu dengan pihak Waqf Yordania, pengelola kompleks Bukit Bait Suci. Dia kembalikan mandat pengelolaan kompleks kudus bagi umat Yahudi, Kristiani, dan Islam, tersebut ke pihak Waqf kendati hak untuk mengontrol dan menjaga wilayah sekitarnya tetap di tangan Israel. Bagi Dayan, inilah cara mendinginkan letupan konflik dan menurunkan tensi ketegangan. Para pemuka Yudaisme mendukung keputusan sang Menteri Pertahanan.  

Maka sejak 17 Juni 1967 berlaku kebijakan yang dikenal sebagai Status Quo Bukit Bait Suci (Temple Mount Status Quo) yaitu, kebijakan di mana umat Islam bebas berkunjung dan melakukan ibadah di dalam kawasan, sementara nonmuslim hanya boleh datang sebagai wisatawan. Turis. Orang-orang Yahudi tak diizinkan melakukan ritual peribadatan di lingkungan dalam Bukit Bait Suci kecuali di Tembok Ratapan (Western Wall) yang berada di sebelah barat.

“Inisiatif Moshe Dayan meski tak tercantum dalam satu pun peraturan negara Israel tetapi diperkuat oleh persetujuan Mahkamah Agung Israel yang melihatnya sebagai cara efektif menjaga perdamaian,” ungkap Shmuel Berkovits, pengacara dengan spesialisasi hukum tempat-tempat suci Israel.

Hampir setengah abad setelah Status Quo berlaku-persisnya 48 tahun kemudian-pada 2015 terjadi kesepakatan empat negara (Israel, Palestina, Yordania, dan Amerika Serikat) yang melakukan reafirmasi terhadap kebijakan itu.  “Pemerintah Israel berkomitmen untuk tetap menjalankan Status Quo,” ujar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengucap janji kepada dunia internasional.  

Yerusalem terbagi dalam dua kategori wilayah, yakni wilayah umum (machaneh Yisrael) dan wilayah suci (machaneh kodesh/machaneh levayah). Bukit Bait Suci termasuk yang kedua. Terlarang dimasuki oleh orang Israel, kecuali bagi yang ingin menjalani proses penyucian diri paripurna dengan membawa hewan kurban seekor sapi betina berwarna merah (red heifer atau para adumma dalam bahasa Ibrani).

Para adumma adalah sapi betina yang belum dikawinkan, belum pernah bunting, belum pernah diperah susunya, dan kulitnya harus berwarna merah, bukan cokelat, menurut hukum Taurat. Dalam praktiknya, sapi seperti itu sangat sulit ditemukan--untuk tak menyebutnya mustahil. Maka, para rabi selalu melarang umat Yahudi memasuki kawasan Bukit Bait Suci, bukan karena mereka pendukung politik Jenderal Moshe Dayan, melainkan tersebab hukum Taurat yang mereka yakini.

Larangan itu selain berulang kali disampaikan di sinagogue, atau melalui pemberitaan di media massa, juga dalam bentuk pengumuman tertulis dalam bahasa Ibrani dan Inggris pada gerbang masuk Bukit Bait Suci seperti terlihat pada ilustrasi foto di awal tulisan ini yang mewartakan: "Announcement and Warning: According to Torah Law, entering the Temple Mount area is strictly forbidden due to the holiness of the site – The Chief Rabbinate of Israel.  (Pemberitahuan dan Peringatan: Berdasarkan Hukum Taurat, dilarang keras memasuki wilayah Bukit Bait Suci terkait dengan kesucian wilayah-Kepala Kerabian Israel).

Itu sebabnya mengapa Yitzhak Yosef, Kepala Rabi Yahudi Sefardi, tiga bulan lalu mengecam keras Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir yang menurutnya telah “berdosa dan menyebabkan umat Yahudi lainnya ikut berdosa dengan mengunjungi Bukit Bait Suci,” katanya seperti dikutip harian The Times of Israel (16/7/23).  Ben Gvir, politisi sayap kanan dari partai Otzma Yehudit yang radikal, dinilainya sebagai pembangkang halacha, hukum Ortodoks Yahudi. 

Bukit Bait Suci memiliki 11 gerbang masuk. Setiap gerbang dijaga polisi Israel yang menanyakan identitas peziarah dan agama mereka. Berdasarkan Status Quo, jika yang datang kaum muslimin, mereka diizinkan masuk dari salah satu dari 10 gerbang. Jika nonmuslim yang berkunjung, mereka hanya boleh masuk dari satu akses bernama Gerbang Mughrabi yang paling dekat dekat dengan Tembok Ratapan.  

Gerbang Mughrabi dibuka dua kali sehari, pada jam tertentu. Tidak setiap saat, setiap waktu. Polisi Israel mengingatkan antrean peziarah nonmuslim bahwa mereka hanya diperkenankan berjalan mengitari kawasan Bait Suci. Tidak boleh berdoa, tidak boleh melakukan ritual peribadatan baik berdiri atau tengkurap (prostrating), tidak boleh mengibarkan bendera Israel, tidak boleh meneriakkan agitasi politik atau keagamaan, bahkan frasa pendek “Shema Israel” (“Dengarkan hai orang Israel”) yang merupakan mitzvah (perintah rohani) di awal doa-doa umat Yahudi. Siapa pun yang melanggar larangan akan ditangkap polisi Israel saat itu juga. 

Secara umum larangan itu ditaati umat Yahudi yang berkunjung. Baik dari Israel maupun luar Israel. Namun beberapa tahun belakangan semakin banyak Yahudi radikalis dan ultranasionalis yang sengaja melanggar larangan. 

“Sejak 2017 orang Yahudi diam-diam diperbolehkan berdoa di Bukit Bait Suci (oleh polisi),” ujar Eran Tzidkiyahu, doktor ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem (Hebrew University of Jerusalem).

Nir Hasson, jurnalis koran terkemuka Israel Haaretz, menengarai hal serupa. “Polisi Israel penjaga kompleks Al Aqsha semakin memberikan kebebasan kepada pengunjung Yahudi sejak 2017,” katanya. “Mereka telah berubah dari sebuah lembaga profesional yang menjaga hukum (Status Quo) menjadi lembaga yang melindungi para pelanggar hukum.”

Pelanggaran semakin terang benderang sejak Itamar Ben Gvir menjadi Menteri Keamanan Nasional pada 2022. Kedatangannya ke Bukit Bait Suci bukan saja melanggar kebijakan warisan Jenderal Moshe Dayan dan hukum Taurat, juga membuat kelompok Yahudi ultranasionalis seperti Beyadenu yang dipimpin Tom Nisani kian berani mengampanyekan agar orang Yahudi dari seluruh dunia berbondong-bondong mendatangi Bukit Bait Suci melalui program “Beyadenu – Returning to the Temple Mount”.

Bagi Beyadenu dan kelompok ultranasionalis Yahudi, kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari 1967 dinilai belum cukup dan masih belum sempurna jika mereka masih belum bisa datang dan berdoa di Bukit Bait Suci kapan saja mereka suka. 

Jika mereka bertemu polisi Israel penjaga gerbang yang masih tegas menegakkan larangan, maka Beyadenu tak akan segan menyebut petugas itu diskriminatif terhadap warga Israel sendiri, termasuk menyebarluaskan video dan nama sang petugas di kanal medsos mereka.

Pelanggaran demi pelanggaran yang kian masif dari kaum Yahudi radikal dan ultranasionalis yang seakan dibiarkan oleh Pemerintahan Netanyahu inilah yang membuat Hamas naik pitam dan menjadikannya sebagai salah satu justifikasi mereka melakukan Operasi Topan Al Aqsha, Sabtu lalu. Selain justifikasi mengenai kondisi memprihatinkan warga Gaza yang selalu dikontrol ketat tentara Israel.

Inilah salah satu pekerjaan rumah sangat mendesak yang harus ditangani Benjamin Netanyahu, perdana menteri terlama dalam sejarah Israel--total memerintah sudah 16 tahun--yang pada 2015 sangat berapi-api menyatakan komitmen pemerintahannya untuk tetap menjalankan Status Quo di Bukit Bait Suci, tetapi gagal membuktikan janjinya dalam tahun-tahun terakhir. 

Jika Netanyahu tetap mempertahankan sosok radikal seperti Itamar Ben Gvir di kabinetnya sebagai Menteri Keamanan Nasional, serta tidak melarang kelompok ultranasionalis seperti Beyadenu yang terus memprovokasi umat Yahudi untuk mendatangi Bukit Bait Suci, maka sejatinya Pemerintahan Israel sendiri yang enggan menciptakan perdamaian abadi seperti keinginan Jenderal Moshe Dayan dan para rabi yang masih memegang teguh hukum Taurat. Apa yang disebut Netanyahu sebagai komitmen pada kenyataannya tak lebih dari omong kosong belaka.

Bahkan, sekiranya tentara Israel pun mampu mengalahkan Hamas pada perang ini seperti terjadi pada beberapa pertempuran hebat sebelumnya (2008, 2012, 2014, 2021), potensi pecahnya perang serupa—bahkan lebih dahsyat—tetap masih bisa terulang di masa depan dengan salah satu korban terbesar yang tak bisa dihindarkan adalah masyarakat sipil Israel sendiri, terutama dari kalangan rakyat kebanyakan. Bukan kalangan Yahudi kaya-raya yang berbondong-bondong membanjiri bandara internasional Ben Gurion dan terbang keluar negeri, ke Amerika Serikat atau Eropa Barat, untuk mencari selamat.

Inilah salah satu kontradiksi besar pemerintahan dan masyarakat Israel terhadap Jenderal Moshe Dayan, yang mereka gadang-gadang sebagai Pahlawan Yahudi Perang Enam Hari dan selalu diagung-agungkan dalam setiap ucapan dan tulisan, tetapi sesungguhnya mereka nistakan warisan kebijakannya secara terang benderang tanpa basa-basi.

img
Akmal Nasery Basral
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan