close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Denny JA
icon caption
Denny JA
Kolom
Sabtu, 07 November 2020 11:20

Joe Biden di ambang kemenangan, tetapi Trump-ism tetap berjaya

Jika pun Trump memudar, kultur ultra kanan dalam politik Amerika Serikat akan mencari sejenis Trump yang lain.
swipe

Ketika esai ini ditulis, belum ada kepastian yang sah tentang siapa yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat 2020-2024.

Tetapi dua kenyataan ini semakin kuat. Pertama, data semakin mengarah. Peluang Joe Biden  menjadi Presiden Amerika Serikat berikutnya semakin besar. Kedua, walaupun dikalahkan, tetapi Donald Trump dan Trump-ism tetap berjaya.

Trump-ism adalah kultur politik yang tumbuh di Amerika Serikat karena pengaruh tata nilai dan pesona Donad Trump.

Esai ini akan mengeksplorasi fenomena itu.

Saya sering ditanya. Mengapa tak ada quick count dalam pilpres Amerika Serikat? Bukankah melalui quick count hasil Pilpres AS dapat diketahui lebih cepat? Di hari itu juga. Tanggal 4 Nov 2020. 

Kini sudah 7 Nov 2020. Sudah 3 hari sejak pencoblosan. Masih belum ada kepastian statistik siapa yang akan terpilih sebagai Presiden AS 2020-2024.

Dalam Pilpres 2019 di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memutuskan quick count pilpres dapat diumumkan paling cepat jam 15.00 di hari pemungutan suara.

Video di Youtube menunjukkan. Di era Pilpres Indonesia, 17 April 2019. Satu detik melewati jam 15.00, saya mewakili LSI Denny JA, tercatat paling cepat secara resmi mengumumkan kemenangan Jokowi.

Sekitar 5 minggu kemudian, (21 Mei 2019), KPU mengumumkan hasil resmi pemenang pilpres. Hasil quick count LSI Denny JA itu dicatat banyak media sangat akurat, paling akurat di antara lembaga survei yang ada. Ia hanya selisih 0,2%  dibandingkan hasil real KPU, 5 minggu kemudian.

Tiga alasan mengapa quick count tidak digunakan dalam pilpres Amerika Serikat.

Pertama, pemenang pilpres di Amerika Serikat tidak ditentukan oleh pemenang popular vote di tingkat nasional. Walau tetap menggunakan sistem one man, one vote, tetapi suara pemilih itu diterjemahkan menjadi “kursi” melalui electoral college.

Acap terjadi, seorang presiden terpilih di Amerika Serikat, walau ia kalah dalam populer vote, tetapi menang dalam electoral college

Donald Trump di 2016 kalah dengan Hilary Clinton dalam popular vote. Tetapi Donald Trump yang ditetapkan sebagai Presiden AS, 2016-2020, karena memenangkan electoral college.

Apa itu electoral college? Ia adalah sekumpulan elektor yang ditunjukan empat tahun sekali untuk memilih Presiden Amerika Serikat.

Konstitusi Amerika Serikat menentukan untuk membentuk elektor di semua negara bagian. Sejak tahun 1964, total jumlah elektoral itu 538. Capres yang memperoleh 270 elektor, terpilih sebagai Presiden AS.

Prosentase elektor di setiap negara bagian berbeda-beda sesuai dengan jumlah populasi atau anggota perwakilan di negara bagian itu.

Sebagai contoh, negara bagian California memiliki jumlah elektoral terbesar, 55 kursi. Negara bagian Wyoming hanya memiliki 3 kursi elektor saja.

Sistem yang berlaku adalah the winner takes all, untuk semua negara bagian. Terkecuali Maine dan Nebraska.

Katakanlah jika di California, satu calon hanya unggul 0,2% dalam popular vote di sana, ia akan ambil semua 55 kursi. Jika ia unggul 30% dalam popular vote, ia juga akan ambil 55 kursi. 

Itu sebabnya pemenang popular vote selalu tak sama dengan pemenang electoral collegeQuick count acap kali menghitung pemenang popular vote, bukan pemenang electoral college.

Kedua, acapkali dalam pilpres Amerika Serikat, persaingan di beberapa negara bagian sangatlah ketat. Selisih popular vote di negara bagian itu kadang di bawah 0,2%.

Contoh nyata sekarang di negara bagian Pennsylvania. Pada 7 November 2020, 3 hari setelah pencoblosan, Joe Biden mendapatkan 49,6%, sementara Donald Trump 49,3%. Masih ada 2% suara yang belum terhitung.

Ini yang sering disebut too close too call. Margin of victory, begitu kecilnya. Itu hanya selisih 0,3% saja antara Biden dan Trump.

Sementara quick count karena menggunakan sampel, pasti ada margin of error. Umumnya margin or error quick count itu plus minus 0,5%.

Jelaslah quick count tak bisa digunakan dalam persaingan sangat ketat, karena memiliki margin of error yang lebih besar dibandingkan margin of victory.

Ketiga, Amerika Serikat juga menggunakan mailing ballot (postal poting/mail in voting). Seorang pemilih yang terdaftar tak harus datang ke TPS untuk memilih. Ia dapat memilih melalui surat yang ia kirim lewat kantor pos yang ditunjuk.

Dengan sendirinya, tak semua mailing ballot ini bisa dihitung di hari pemilihan. Mailing ballot itu dapat datang beberapa saat setelah hari pemilihan. Di era pandemik, semakin banyak pemiliih yang menggunakan mailing ballot.

Tiga alasan di atas yang membuat quick count tak digunakan dalam pilpres Amerika Serikat.

Ketika esai ini ditulis, belum ada kepastian yang sah tentang siapa yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat 2020-2024.

Tetapi dua kenyataan ini semakin kuat. Pertama, data semakin mengarah. Peluang Joe Biden  menjadi Presiden Amerika Serikat berikutnya semakin besar. Kedua, walaupun dikalahkan, tetapi Donald Trump dan Trump-ism tetap berjaya.

Trump-ism adalah kultur politik yang tumbuh di Amerika Serikat karena pengaruh tata nilai dan pesona Donad Trump.

Esai ini akan mengeksplorasi fenomena itu.

Saya sering ditanya. Mengapa tak ada quick count dalam pilpres Amerika Serikat? Bukankah melalui quick count hasil Pilpres AS dapat diketahui lebih cepat? Di hari itu juga. Tanggal 4 Nov 2020. 

Kini sudah 7 Nov 2020. Sudah 3 hari sejak pencoblosan. Masih belum ada kepastian statistik siapa yang akan terpilih sebagai Presiden AS 2020-2024.

Dalam Pilpres 2019 di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memutuskan quick count pilpres dapat diumumkan paling cepat jam 15.00 di hari pemungutan suara.

Video di Youtube menunjukkan. Di era Pilpres Indonesia, 17 April 2019. Satu detik melewati jam 15.00, saya mewakili LSI Denny JA, tercatat paling cepat secara resmi mengumumkan kemenangan Jokowi.

Sekitar 5 minggu kemudian, (21 Mei 2019), KPU mengumumkan hasil resmi pemenang pilpres. Hasil quick count LSI Denny JA itu dicatat banyak media sangat akurat, paling akurat di antara lembaga survei yang ada. Ia hanya selisih 0,2%  dibandingkan hasil real KPU, 5 minggu kemudian.

Tiga alasan mengapa quick count tidak digunakan dalam pilpres Amerika Serikat.

Pertama, pemenang pilpres di Amerika Serikat tidak ditentukan oleh pemenang popular vote di tingkat nasional. Walau tetap menggunakan sistem one man, one vote, tetapi suara pemilih itu diterjemahkan menjadi “kursi” melalui electoral college.

Acap terjadi, seorang presiden terpilih di Amerika Serikat, walau ia kalah dalam populer vote, tetapi menang dalam electoral college

Donald Trump di 2016 kalah dengan Hilary Clinton dalam popular vote. Tetapi Donald Trump yang ditetapkan sebagai Presiden AS, 2016-2020, karena memenangkan electoral college.

Apa itu electoral college? Ia adalah sekumpulan elektor yang ditunjukan empat tahun sekali untuk memilih Presiden Amerika Serikat.

Konstitusi Amerika Serikat menentukan untuk membentuk elektor di semua negara bagian. Sejak tahun 1964, total jumlah elektoral itu 538. Capres yang memperoleh 270 elektor, terpilih sebagai Presiden AS.

Prosentase elektor di setiap negara bagian berbeda-beda sesuai dengan jumlah populasi atau anggota perwakilan di negara bagian itu.

Sebagai contoh, negara bagian California memiliki jumlah elektoral terbesar, 55 kursi. Negara bagian Wyoming hanya memiliki 3 kursi elektor saja.

Sistem yang berlaku adalah the winner takes all, untuk semua negara bagian. Terkecuali Maine dan Nebraska.

Katakanlah jika di California, satu calon hanya unggul 0,2% dalam popular vote di sana, ia akan ambil semua 55 kursi. Jika ia unggul 30% dalam popular vote, ia juga akan ambil 55 kursi. 

Itu sebabnya pemenang popular vote selalu tak sama dengan pemenang electoral collegeQuick count acap kali menghitung pemenang popular vote, bukan pemenang electoral college.

Kedua, acapkali dalam pilpres Amerika Serikat, persaingan di beberapa negara bagian sangatlah ketat. Selisih popular vote di negara bagian itu kadang di bawah 0,2%.

Contoh nyata sekarang di negara bagian Pennsylvania. Pada 7 November 2020, 3 hari setelah pencoblosan, Joe Biden mendapatkan 49,6%, sementara Donald Trump 49,3%. Masih ada 2% suara yang belum terhitung.

Ini yang sering disebut too close too call. Margin of victory, begitu kecilnya. Itu hanya selisih 0,3% saja antara Biden dan Trump.

Sementara quick count karena menggunakan sampel, pasti ada margin of error. Umumnya margin or error quick count itu plus minus 0,5%.

Jelaslah quick count tak bisa digunakan dalam persaingan sangat ketat, karena memiliki margin of error yang lebih besar dibandingkan margin of victory.

Ketiga, Amerika Serikat juga menggunakan mailing ballot (postal poting/mail in voting). Seorang pemilih yang terdaftar tak harus datang ke TPS untuk memilih. Ia dapat memilih melalui surat yang ia kirim lewat kantor pos yang ditunjuk.

Dengan sendirinya, tak semua mailing ballot ini bisa dihitung di hari pemilihan. Mailing ballot itu dapat datang beberapa saat setelah hari pemilihan. Di era pandemik, semakin banyak pemiliih yang menggunakan mailing ballot.

Tiga alasan di atas yang membuat quick count tak digunakan dalam pilpres Amerika Serikat.

Siapa duga? Tiga tonggak rekor sejarah dicatat dalam Pilpres Amerika Serikat kali ini.

Rekor pertama, walau di era pandemi, tetapi voter turnout, partisipasi publik mencoblos, tahun ini paling tinggi dalam sejarah Pilpres Amerika modern. Dalam bahasa lain, prosentase golput paling kecil sejak 120 tahun pilpres terakhir.

Tak pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat, prosentase voter turnout sekitar 67%. Akan datang banyak analisa. Mengapa justru di era pandemik, ketika penularan coronavirus sangat riskan, partisipasi publik untuk memilih justru paling besar? 

Sementara ini dua penjelasannya. Kultur politik Amerika Serikat semakin terbiasa dengan mailing ballot. Mencoblos lewat surat yang dikirim dari rumah lebih memudahkan. Mencoblos tanpa perlu datang secara fisik, dan tak perlu antri di TPS.

Alasan kedua, kuatnya pesona Donald Trump. Baik pendukung dan musuh politiknya semakin berlomba. Semakin militan untuk mempertahankan atau menumbangkan Trump.

Rekor kedua, akibatnyanya, baik Biden atau Trump akan tercatat sebagai presiden dan kompetitor dengan dukungan terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. Sebelum perhitungan suara berakhir, dalam popular vote, Biden diperkirakan mengumpulkan dukungan sekitar 80 juta pemilih. Donald Trump sekitar 73-75 juta pemilih.

Baik dukungan untuk Biden ataupun Trump lebih banyak dibandingkan Barack Obama ketika Ia terpilih di 2008. Bahkan dukungan Trump saat ini, walau ia dikalahkan, lebih banyak dibandingkan dukungannya ketika ia menang dalam Pilpres 2016. 

Rekor ketiga, jika benar Biden terpilih, maka untuk pertama kalinya sejak Amerika Serikat merdeka (1776, 246 tahun lalu), negara ini memiliki wakil presiden seorang wanita.

Walau kultur liberal sangat dalam di Amerika Serikat, tetapi politisi wanita tak pernah berhasil menjadi wakil presiden, apalagi presiden.

Bahkan presiden Amerika Serikat yang bukan kulit putih, lelaki dan protestan, hanya dua pemimpin yang mampu terpilih. Sepanjang sejarahnya, Amerika hanya pernah sekali memiliki presiden yang bukan protestan (Kennedy, Katolik), dan bukan kulit putih (Obama).

Inilah pemilu pilpres yang paling banyak membuat rekor sejarah yang penting. Ia justru terjadi di era mengganasnya Coronavirus.

Mengapa Donald Trump kalah, setidaknya dalam popular vote? Ia menjadi presiden kelima belas dalam sejarah Amerika Serikat (bukan keempat, seperti klaim Joe Biden), yang dikalahkan ketika menjabat presiden?

Banyak faktor sebagai penyebab. Salah satunya, Trump korban politik paling besar, politisi paling berpengaruh yang menjadi korban, akibat pandemik coronavirus. 

Sebelum datangnya coronavirus, ekonomi AS bangkit. Tetapi setelah datang era coronavirus, data berikut ini yang menimbulkan angry voters.

Pengganguran di Amerika Serikat di era pandemik pernah mencapai angka 14%. Ini tingkat pengangguran tertinggi dalam sejarah negara itu sejak era Great Depression pada 1930.

Sebanyak 20 juta orang di negara itu kehilangan pekerjaan. Sementara yang meninggal karena coronavirus di negara itu tertinggi di dunia. Sekitar 240.000 nyawa melayang. Dari total nyawa melayang di seluruh dunia karena coronavirus, 20% di antaranya terjadi di Amerika Serikat.

Di samping itu. Bagi kalangan pecinta demokrasi, keberagaman, dan politik yang beradab, Trump pun dianggap personifikasi dari sentimen buruk. Kebijakannya atas imigran, bahasa politiknya kepada kaum minoritas, dan prilaku suka membohong, menimbulkan kemarahan kelas menengah.

Trump dianggap politisi paling berpengaruh dalam sejarah amerika modern yang menghidupkan kultur Iliberal. Dignity, martabat dan elegancy kultur politik Amerika Serikat merosot akibat Trump berkuasa.

Tiga variabel ini bergabung menciptakan the angry voters. Yaitu, memburuknya ekonomi, buruknya penanganan pandemik, dan tumbuhnya sentimen jatuhkan Trump.

Mengapa Joe Biden menang, setidaknya dalam popular vote? Biden menang bukan karena pesona pribadi. Bukan karena programnya yang brilian. Biden menang karena meluasnya sentimen anti-Trump. Biden menang karena militansi semangat ganti presiden.

Trump besar kemungkinan tersingkir dari white house di 2020. Tetapi Trump- ism, kultur politik yang tumbuh karena pesona pribadi Trump akan terus berjaya.

Walaupun dikalahkan, Trump mengantongi dukungan hampir separuh dari populasi pemiih yang mencoblos di Amerika Serikat (48%). Jangan pernah mengabaikan kekuatan dukungan itu.

Ia menyatakan kepada lingkaran kecilnya. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk maju lagi dalam Pilpres 2024. Dari sekarang hingga Pilpres 2024, ia akan tetap aktif di ruang publik.

Ia memiliki akun twitter dengan follower sebanyak 88,5 juta. Ia hobi memposting tweet merespons isu yang hot dengan tone yang kontroversial. Tweetnya akan terus dikutip media. Dan pesonanya terus menjadi kontroversi.

Dalam waktu dekat dikabarkan, Ia akan melaunching Trump TV. Ini TV yang akan banyak menyebar tata nilai yang Trump yakini. Dengan kekayaan sebesar Rp36 triliun,  Trump akan mudah untuk terus menghidupkan komunitasnya.

Di kalangan pemilih Republik, Trump tetap merupakan figur yang paling dipilih. Sekitar 98% pemilih yang mengidentifikasi diri dengan partai Republik.

Trump sudah pula menjadi selebriti sebelum ia menjadi politisi. Acara TV yang ia buat cukup populer. Juga buku yang ia karang. Juga manuvernya selaku pengusaha properti dan pecinta wanita cantik.

Dan yang lebih kuat lagi, juga yang mengkhawatirkan musuh politiknya, Trump menjadi juru bicara gerakan ultra kanan. Ini paham yang semakin kuat menjadi Trump-ism.

Ialah kultur yang marah kepada imigran. Yang cenderung pada American First, bahkan white supremacy. Yang proteksionis dalam perdagangan. Yang bersedia menggerakan sentimen agama konservatif untuk politik.

Trump-ism akan terus mewarnai politik Amerika kedepan. Jika pun Trump memudar, kultur ultra kanan dalam politik Amerika Serikat akan mencari sejenis Trump yang lain.

Pendukungnya akan tetap bersorak. “Trump kalah. Hidup Trump-ism!”

(disarikan dari rilis)

img
Denny JA
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan