close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Selasa, 09 April 2019 15:44

Jangan basmi hoaks dengan UU Terorisme

Wacana agar pembuat dan penyebar hoaks dikenakan UU Terorisme membuat polemik di masyarakat
swipe

Fenomena hoaks bukanlah sesuatu yang baru. Hoaks sudah lama tercipta. Hoaks sendiri mempunyai arti, sebuah kabar bohong. Dari berbagai sudut pandang, hoaks memiliki arti berbeda-beda. Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah sebuah berita bohong.

Sementara epistemologi dari akademisi barat, menyebutkan, hoaks adalah kabar berita bohong yang sengaja dibuat dengan tujuan kejahatan.

Di era digital seperti ini, berita tersebar dengan mudahnya, siapapun bisa membuat berita, artikel ataupun dalam informasi ke khalayak luas. Keterbukaan era digital, memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Di antaranya adalah kemudahan menciptakan sebuah informasi, tetapi kita tidak mengetahui apakah itu valid atau palsu (hoaks).

Berita hoaks ternyata beragam, mulai dari selebriti, politik, hingga info cuaca atau bencana alam. Kasus terakhir terjadi ketika gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Di mana setelah terjadi gempa, ada yang memberitakan akan terjadi gempa susulan lebih dahsyat dan disertai tsunami. Tak ayal lagi, informasi ini mengakibatkan masyarakat menjadi panik. Betapa jahatnya oknum yang menyebarkan sebuah informasi hoaks itu.

Tidak bisa dipungkiri, hoaks bukan hanya diciptakan dengan sengaja. Tetapi bisa terjadi dari kesalahan penerimaan informasi dalam menyampaikan sebuah berita. 

Wacana agar pembuat dan penyebar hoaks dikenakan UU Terorisme membuat polemik di masyarakat, apalagi UU ini tidak berkesinambungan dengan definisi hoaks. Menjeratkan pelaku hoaks dengan UU ini, adalah sebuah langkah gegabah dan asal ceplos, tidak ada pertimbangan hukum sekalipun. 

Menjeratkan pelaku hoaks dengan menggunakan UU Terorisme bukan hal yang tepat. Bahkan menjadikan kemunduran pada indeks demokrasi dan berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Pendekatan pencarian pelaku hoaks pada UU ini akan lebih kepada sistem intelijen. Potensi pemerintah memata-matai warga negaranya sendiri menjadi sebuah keniscayaan dan itu akan menjadi sebuah kemunduran indeks nilai demokrasi.

Kita tahu intelijen yang mematai-matai warga negaranya sendiri sebuah kemunduran demokrasi, bahkan negara maju sudah meninggalkan sistem seperti ini.

Oleh karena itu, Pemerintah harus bisa membuat kebijakan lain dengan cara yang lebih efektif dan humanis. Misalkan saja membuat badan atau yang setingkat, khusus menjawab klarifikasi berita-berita hoaks yang bertebaran. Cara itu akan menjadikan citra pemerintah menjadi lebih baik dan bisa mendewasakan nilai-nilai demokrasi kepada masyarakat.

Indonesia perlu belajar dari pengalaman Uni Eropa (UE) melawan hoaks. Mereka membuat sebuah regulasi dengan menekan para platform sosial media tersebut. Salah satunya dengan sanksi yang akan dijatuhkan bila para raksasa internet tak memenuhi dan menandatangani kode etik Uni Eropa.

"Jerman membuat regulasi menekan hoaks dengan menekan para platform sosial media dengan denda yang cukup fantastis, yaitu jika dalam jangka waktu 24 jam, Facebook tidak menghapus informasi (berita) yang mengganggu, maka mereka harus membayar biaya penalti hingga 500 ribu euro,” kata politikus dari Jerman, Thomas Ludwig Albert Oppermann, dalam wawancaranya dengan majalah Der Spiegel.

Dari situ bisa dipelajari, melawan hoaks bukan dengan menekan warga negara. Apalagi dengan menjerat warga negara dengan pasal yang tidak masuk akal dengan pasal terorisme. Ini sama saja dengan mencurigai warga negara itu sendiri dan sebuah langkah yang sangat memundurkan indeks demokrasi di Indonesia. Bukan hal yang tidak mungkin jika memang UU Terorisme akan di berlakukan, berpotensi menyebabkan terjadinya konflik sosial.

img
Muhammad Farras Fadhilsyah
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan