close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bayu Priyambodo
icon caption
Bayu Priyambodo
Kolom
Selasa, 28 Juli 2020 08:38

Debat lobster, sampai kapan?

Dampak penangkapan benih harus dipertimbangkan berdasarkan ketersediaannya secara regional.
swipe

Belakangan ini, upaya penangkapan benih lobster untuk budi daya dan perdagangan besar, mencetuskan kekhawatiran sebagian masyarakat dan pengamat bidang perikanan dan kelautan.

Muncul pernyataan di media bahwa penangkapan benih seperti itu akan menimbulkan dampak negatif pada populasi lobster dewasa. Berkembang pula isu bahwa penangkapan bayi-bayi lobster itu tidak ramah lingkungan. Namun mengacu pada kegiatan penelitian lobster Aciar SMAR/2008/021 yang berkolaborasi dengan KKP (DJPB), terungkap fakta yang menunjukkan bahwa isu yang berkembang ini tidak benar.

Mengapa?

Sejarah panjang telah membuktikan bahwa budi daya lobster dengan tangkapan benih bening alam di Vietnam sudah dibangun dan berkelanjutan sejak 25 tahun yang lalu. Kegiatan ini ternyata tidak menunjukkan tren penurunan produksi lobster dewasa di alam dan tidak mengubah level populasi lobster dewasa di alam. Ingat, Vietnam pun memiliki sumber daya benih bening lobster lokal di negaranya sendiri yang sudah dikelola dengan cerdas sejak 1990-an.

Penangkapan benih bening lobster tidak berpengaruh pada perikanan tangkap lobster dewasa dan penangkapan benih bening lobster dapat memberikan manfaat yang signifikan pada produksi lobster
melalui industri budidaya. Yang justru menurunkan populasi lobster dewasa secara drastis adalah penangkapan induk lobster yang bertelur!

Penelitian populasi genetika yang dilakukan oleh Aciar mengungkapan data bahwa populasi lobster (spesies yang diteliti - Panulirus ornatus dan Panulirus homarus), adalah homogen di seluruh distribusi regionalnya (Dao, et al., 2013). Durasi perkembangan larva yang berlangsung lama dari tahap telur hingga menetas, dengan mode planktoniknya di lautan, membuat kapasitas penyebarannya sangat besar. Arus laut yang spesifik memungkinkan larva lobster yang ditelurkan di Australia terdeposit (mendarat) di pantai Timur Filipina, dan dari Filipina ke Vietnam atau Lombok.

Pasti ada kemungkinan pemijahan lobster dewasa di setiap bagian dari distribusi regional -mulai dari Taiwan di utara ke Australia di selatan, dan dari Sumatera Barat di barat ke Kepulauan Solomon di timur, dapat mengakibatkan pueruli terdeposit ribuan kilometer jauhnya (Dao, et al., 2015).

Melalui studi dalam penelitian Aciar ini, teridentifikasi jalur utama untuk penyebaran larva lobster yang sesuai dengan arus laut utama di wilayah tersebut. Namun, ini hanyalah jalur primer, dan masih ada banyak jalur tambahan lainnya yang tersedia melalui banyak pusaran arus dan sub-arus yang diketahui ada. Jadi, baik Lombok atau Vietnam atau bahkan lokasi “pendaratan” benih bening lobster lainnya di regional ini, kemungkinan menerima pasokan benih dari beberapa populasi dewasa yang berbeda sumbernya.

Seharusnya, dampak penangkapan benih harus dipertimbangkan berdasarkan ketersediaannya secara regional. Bila kesepakatan dapat dicapai di semua yurisdiksi serta rangkaian menyeluruh dari peraturan pengelolaan sumberdaya diimplementasikan, maka mengelola sumberdaya ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. 

Sifat biologi dan ekologi lobster yang terbukti unik, membuat pengelolaan harus didasarkan atas sifat perilakunya ini di alam. Mengingat fakta populasi alam untuk lobster dewasa P ornatus di Vietnam dan P. homarus di Lombok sangat rendah, hal ini membuktikan bahwa populasi dewasa lokal tidak secara langsung terkoneksi dengan kemelimpahan benih yang “mendarat” di sana.

Artinya, banyaknya lobster dewasa di suatu wilayah tidak membuat otomatis benih lobsternya juga melimpah. Ini berkaitan dengan fenomena “sink dan source” dalam pola penyebaran benih bening lobster secara natural. Fenomena “sink” memungkinkan benih bening lobster terdeposit dalam jumlah sangat melimpah di suatu area tertentu. Namun, populasi dewasa di daerah itu sangatlah rendah. Fenomena “sink” sangat dipengauhi oleh pola arus regional dan kondisi geografis alam regional.

Belakangan ini, upaya penangkapan benih lobster untuk budi daya dan perdagangan besar, mencetuskan kekhawatiran sebagian masyarakat dan pengamat bidang perikanan dan kelautan.

Muncul pernyataan di media bahwa penangkapan benih seperti itu akan menimbulkan dampak negatif pada populasi lobster dewasa. Berkembang pula isu bahwa penangkapan bayi-bayi lobster itu tidak ramah lingkungan. Namun mengacu pada kegiatan penelitian lobster Aciar SMAR/2008/021 yang berkolaborasi dengan KKP (DJPB), terungkap fakta yang menunjukkan bahwa isu yang berkembang ini tidak benar.

Mengapa?

Sejarah panjang telah membuktikan bahwa budi daya lobster dengan tangkapan benih bening alam di Vietnam sudah dibangun dan berkelanjutan sejak 25 tahun yang lalu. Kegiatan ini ternyata tidak menunjukkan tren penurunan produksi lobster dewasa di alam dan tidak mengubah level populasi lobster dewasa di alam. Ingat, Vietnam pun memiliki sumber daya benih bening lobster lokal di negaranya sendiri yang sudah dikelola dengan cerdas sejak 1990-an.

Penangkapan benih bening lobster tidak berpengaruh pada perikanan tangkap lobster dewasa dan penangkapan benih bening lobster dapat memberikan manfaat yang signifikan pada produksi lobster
melalui industri budidaya. Yang justru menurunkan populasi lobster dewasa secara drastis adalah penangkapan induk lobster yang bertelur!

Penelitian populasi genetika yang dilakukan oleh Aciar mengungkapan data bahwa populasi lobster (spesies yang diteliti - Panulirus ornatus dan Panulirus homarus), adalah homogen di seluruh distribusi regionalnya (Dao, et al., 2013). Durasi perkembangan larva yang berlangsung lama dari tahap telur hingga menetas, dengan mode planktoniknya di lautan, membuat kapasitas penyebarannya sangat besar. Arus laut yang spesifik memungkinkan larva lobster yang ditelurkan di Australia terdeposit (mendarat) di pantai Timur Filipina, dan dari Filipina ke Vietnam atau Lombok.

Pasti ada kemungkinan pemijahan lobster dewasa di setiap bagian dari distribusi regional -mulai dari Taiwan di utara ke Australia di selatan, dan dari Sumatera Barat di barat ke Kepulauan Solomon di timur, dapat mengakibatkan pueruli terdeposit ribuan kilometer jauhnya (Dao, et al., 2015).

Melalui studi dalam penelitian Aciar ini, teridentifikasi jalur utama untuk penyebaran larva lobster yang sesuai dengan arus laut utama di wilayah tersebut. Namun, ini hanyalah jalur primer, dan masih ada banyak jalur tambahan lainnya yang tersedia melalui banyak pusaran arus dan sub-arus yang diketahui ada. Jadi, baik Lombok atau Vietnam atau bahkan lokasi “pendaratan” benih bening lobster lainnya di regional ini, kemungkinan menerima pasokan benih dari beberapa populasi dewasa yang berbeda sumbernya.

Seharusnya, dampak penangkapan benih harus dipertimbangkan berdasarkan ketersediaannya secara regional. Bila kesepakatan dapat dicapai di semua yurisdiksi serta rangkaian menyeluruh dari peraturan pengelolaan sumberdaya diimplementasikan, maka mengelola sumberdaya ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. 

Sifat biologi dan ekologi lobster yang terbukti unik, membuat pengelolaan harus didasarkan atas sifat perilakunya ini di alam. Mengingat fakta populasi alam untuk lobster dewasa P ornatus di Vietnam dan P. homarus di Lombok sangat rendah, hal ini membuktikan bahwa populasi dewasa lokal tidak secara langsung terkoneksi dengan kemelimpahan benih yang “mendarat” di sana.

Artinya, banyaknya lobster dewasa di suatu wilayah tidak membuat otomatis benih lobsternya juga melimpah. Ini berkaitan dengan fenomena “sink dan source” dalam pola penyebaran benih bening lobster secara natural. Fenomena “sink” memungkinkan benih bening lobster terdeposit dalam jumlah sangat melimpah di suatu area tertentu. Namun, populasi dewasa di daerah itu sangatlah rendah. Fenomena “sink” sangat dipengauhi oleh pola arus regional dan kondisi geografis alam regional.

Mengidentifikasi secara akurat populasi lobster mana yang memijah yang telah “mengirimkan” benih-benihnya ke Vietnam dan Lombok hampir tidak mungkin dilakukan. Namun, sumber daya benih bening lobster yang melimpah di beberapa titik di WPPNRI, kemungkinan besar tidak berkontribusi secara signifikan pada populasi adanya lobster-lobster yang memijah tersebut.

Artinya munculnya lobster-lobster dewasa itu tidak bisa disimplifikasi sebagai buah dari banyaknya benih lobster di wilayah itu. Kembali ke teori “source dan sink” tadi. 

Ini menunjukkan kalau kelangsungan hidup alami dari benih hingga dewasa sangatlah rendah. Dengan demikian, penangkapan benih lobster untuk mendukung industri budidaya lobster yang berkelanjutan, tidak signifikan mengganggu lingkungan. Manfaat ekonomi dan lapangan kerja yang besar dalam mata rantai industri budidaya serta minimnya dampak lingkungan dari penangkapan benih lobster, membuat sektor ini dapat digarap lebih serius ke depan.

Di Lombok itu sendiri, terdapat setidaknya lima juta ekor benih yang tertangkap setiap tahunnya (walaupun jumlah riil di alam -yang tidak tertangkap- bisa mencapai beberapa puluh kali lipatnya. Sehingga dapat diestimasi kalau kurang dari 0.01% nya (500 ekor) dari lima juta ekor benih itu akan bertahan hingga ukuran dewasa di alam.

Pengelolaan keberadaan benih-benih tadi untuk pengembangan industri budi daya lobster, dengan asumsi sintasan 70% (seperti budi daya lobster di Vietnam), malah akan mengembangbiakan produksi atau sejumlah 1.750 ton lobster ukuran konsumsi (250-300 gram per ekor). Ini dapat bernilai Rp1 triliun, dan punya arti sangat penting karena memberi alternatif lapangan pekerjaan bagi ribuan masyarakat kita di pesisir.

Budi daya lobster di Indonesia, faktanya lima tahun yang lalu dilarang. Pun penelitian lobster juga diberangus. Kerugian yang paling besar akibat terbitnya Permen KP 56/2016 adalah terhentinya kegiatan budi daya dan penelitian untuk mendukung kemajuan perikanan budi daya. Malah, penyelundupan benih bening lobster ke luar negeri utk memenuhi kebutuhan pasar gelap justru sangat mendominasi. Manfaat terbesar sumber daya justru dinikmati oleh pelaku pasar gelap. Konsideran yang menjadi pertimbangan Permen 56/2016 ternyata Pasal 7 UU 31/2004 untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, huruf q) suaka perikanan dan huruf t) jenis ikan yang dilindungi. 

Usaha yang sebelumnya tidak illegal menjadi tindakan kriminal. Kematian mendadak bagi para pembudi daya yang sudah bertahun-tahun mengandalkan hidup dari usaha pembesaran lobster muda menjadi ukuran konsumsi, tanpa ada solusi.

Isu yang digunakan untuk membenarkan penerbitan aturan lama tersebut antara lain: (1) Lobster adalah biota yang terancam punah sehingga diperlukan upaya pelestarian atau pencegahan kepunahan, dengan aksi-aksi heroik penangkapan penyelundupan dan pelepasliaran kembali benih bening lobster; (2) Lobster yang berukuran kecil (belum mencapai ukuran konsumsi) harus diberi kesempatan tumbuh di alam, (3) nilai tambah per ekor benih setelah mencapai ukuran konsumsi berpuluh kali lipat tanpa menyebutkan peluang sintasannya, seolah-olah semua benih akan hidup 100%; (4) Budi daya lobster bikin repot, lebih baik alam yang membesarkan. 

Publik awam lebih banyak yang menerima alasan kekhawatiran tanpa dukungan keilmuan di atas, seolah aksioma yang masuk akal. Persepsi publik seperti ini melekat hingga saat ini, terlihat dari postingan di media sosial yang mengecam keras perubahan Permen 56/2016 dengan alasan perlindungan plasma nutfah. 

Padahal perubahan aturan tersebut yang tertuang dalam Permen KP 12/2020 bertujuan untuk pengelolaan sumber daya lobster, kepiting, rajungan yang lebih rasional, yaitu mendukung pemanfaatan benih untuk boleh dibudidayakan kembali di tanah air, pengaturan ukuran yang boleh diperdagangkan, dan membuka peluang ekspor benih dengan pembatasan yang ketat dan terukur.  Langkanya peneliti lobster di luar pemerintahan yang dapat mengkritisi dan menunjukkan bukti yang dapat menegasikan pendapat tersebut, mengakibatkan tiadanya counter opinion kerugian ekonomi dari sektor yang potensial berkontribusi menjadi sumber pendapatan. 

Peraturan Menteri KKP Edhy Prabowo akan memberi kesempatan pemanfaatan benih (budi daya dan ekspor) merupakan legal basis pengelolaan untuk kesejahteraan sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 33. Aspek konservasi telah terakomodasi dalam Permen 12/2020 dengan pembatasan atau kuota ekspor dan prioritas budi daya, serta kewajiban restocking pada ukuran 50 gram per ekor (Bukan restocking/pelepasliaran saat masih berupa benih bening yang di masa lalu sering kita saksikan di layar kaca). 

Pihak-pihak yang mengkhawatirkan akan ancaman kepunahan harus memberikan argumen disertai data sahih untuk menunjang pengelolaan yang berkelanjutan. Bukan dengan mengedepankan prasangka tak berdasar atau "utak atik gatuk data". 

Kelemahan tata kelola memang biasanya bukan pada kesempurnaan regulasi, tapi lebih pada pengawasan, penegakan hukum dan konsistensi pelaksanaannya. 

Peraturan ini harus dikawal untuk implementasi yang konsisten untuk mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya yaitu pemanfaatan yang berkelanjutan dan berkeadilan, bukan penyelundupan yang berkelanjutan.

Sebagai penutup, marilah kita bijak memanfaatkan sumberdaya alam lobster karunia Tuhan ini dengan mengurangi penangkapan calon induk produktif, mengimbangi peningkatan produksi melalui budi daya dalam arti seluas-luasnya, seraya memanfaatkan sumber daya benih bening lobster alam untuk dua keperluan keberlanjutan, yaitu konservasi dan ekonomi.

img
Bayu Priyambodo
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan