close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bandung Mawardi
icon caption
Bandung Mawardi
Kolom
Jumat, 17 Januari 2020 22:26

Bahasa dan pekerjaan

Pilihan belajar bahasa-bahasa asing dianjurkan jika ingin sekolah memiliki peran dalam pembentukan biografi para murid pintar.
swipe

Kita mengawali 2020 dengan tumpukan impian bahasa dan pekerjaan. Konon, bahasa itu bekal (ter) penting dalam mencari pekerjaan. Pengumuman-pengumuman lowongan pekerjaan sering mencantumkan ketentuan bagi pelamar: menguasai bahasa asing. Kita mencatat bahasa Inggris itu utama dibandingkan bahasa-bahasa asing lain. Belajar bahasa untuk bekerja. Faedah bahasa perlahan turun derajat. Bahasa tak lagi serumit pemikiran para filosof, pengarang, sejarawan, atau filolog. Bahasa dianggap bermakna asal bisa digunakan mendapatkan pekerjaan.

Menteri Agama Fachrul Razi menginginkan penambahan pelajaran bahasa asing di madrasah. Bahasa-bahasa asing diajarkan sebagai tambahan pelajaran, tak masuk di pelajaran pokok setiap hari. Penambahan dimaksudkan "meningkatkan daya saing siswa-siswi madrasah usai lulus dalam mencari kerja" (Republika, 9 Januari 2020). Kita membaca jelas hubungan bahasa dan pekerjaan.

Selama murid belajar di madrasah, ketekunan dan kemauan belajar bahasa-bahasa asing diharapkan membekali pemenuhan impian mendapat pekerjaan. Bahasa bukan mula-mula dimengerti dalam raihan pengetahuan atau membentuk diri bijak. Ingat, bahasa diakui berfaedah jika memenuhi ketentuan-ketentuan di pengumuman lowongan pekerjaan. Murid-murid di madrasah dianjurkan belajar bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, Mandarin, dan lain-lain. Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia belum menjamin masa depan pekerjaan.

Dulu, kita mengerti murid-murid di madrasah bakal mendapat pelajaran agama dengan kadar besar ketimbang pelajaran-pelajaran umum. Pada suatu masa, murid madrasah kadang diremehkan oleh murid-murid di sekolah umum. Babak itu berlalu. Pada abad XXI, madrasah sudah berbeda menuruti pelbagai kebijakan pemerintah dan perubahan tatanan politik, ekonomi, agama, sosial, dan teknologi.

Madrasah jangan lagi diremehkan tanpa argumentasi matang. Kini, madrasah ingin memiliki makna imbuhan dengan pengajaran bahasa-bahasa asing. Murid-murid madrasah setelah lulus berhak melanjutkan ke universitas di luar negeri atau bekerja. Ilmu agama tetap diperlukan meski tak sepenting penguasaan bahasa asing bila membaca pengumuman lowongan pekerjaan atau bursa kerja.

Kita sering capek memikirkan hal-hal mutakhir. Kita memilih mundur jauh untuk mengurusi bahasa berkaitan dengan pendidikan berpatokan agama. Kita memilih Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat sebagai tokoh berlatar masa kolonial. Ia menjadi santri di pesantren dan murid di sekolah-sekolah berkurikulum umum (Eropa) bentukan Belanda. Kita mengingat kebermaknaan belajar agama, bahasa, identitas, dan pekerjaan melalui buku berjudul Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936 dan 1996). Sekian bahasa dipelajari dalam membentuk biografi, sejak kecil sampai jadi pejabat.

Pada saat bocah, Achmad memiliki keinginan menjadi guru agama ketimbang pamongpraja. Ia lahir dan tumbuh di keluarga terhormat. Bapak adalah pejabat pribumi (bupati) di naungan pemerintah kolonial. Ia bertekad mendapat restu meninggalkan rumah menuju pesantren demi menambah pengetahuan agama Islam. Di situ, ia belajar agama dan bahasa Arab. Trauma dialami Achmad.

Semula, ia bakal bahagia dalam belajar bahasa Arab untuk mendalami agama. Pada episode pedih, ia mengalami peristiwa buruk. Ia kadang salah mengucapkan kata-kata Arab saat belajar. Kesalahan sulit dimaklumi oleh pengajar. Achmad malah mendapat omongan: "Tak akan masuk pelajaran ini ke dalam benakmu karena perutmu disumbat dengan nasi yang dibeli dengan uang haram."

Achmad memang anak ambtenaar. Pengajar itu menuduh kesulitan belajar bahasa Arab akibat Achmad makan nasi berasal dari gaji bapak. Gaji pemberian pemerintah kolonial. Dulu, orang-orang biasa menganggap pemerintah atau pihak Belanda itu kafir. Achmad tetap tekun belajar bahasa Arab. Bahasa untuk iman, bukan untuk mencari pekerjaan.

Pada masa berbeda, Achmad mulai belajar model pendidikan Barat. Ia ingin belajar bahasa Belanda, bahasa milik penjajah tapi penentu bagi hidup di zaman kemajuan. Achmad saat itu belajar di sekolah swasta di Pandeglang, selama empat bulan. Paman menjadi pihak paling bersemangat dalam studi Achmad. Paman memiliki ramalan pasti: "... bila bangsa Jawa bercita-cita hendak mencapai hasil besar dalam berbagai bidang, terlebih dahulu hendaknya ia berusaha menguasai ilmu pengetahuan, peradaban dan pemikiran bangsa Barat yang canggih. Maka paman menganggap bahasa Belanda adalah ibarat kunci untuk membuka pintu gudang ilmu, peradaban, dan pemikiran bangsa itu."  

Kita mengawali 2020 dengan tumpukan impian bahasa dan pekerjaan. Konon, bahasa itu bekal (ter) penting dalam mencari pekerjaan. Pengumuman-pengumuman lowongan pekerjaan sering mencantumkan ketentuan bagi pelamar: menguasai bahasa asing. Kita mencatat bahasa Inggris itu utama dibandingkan bahasa-bahasa asing lain. Belajar bahasa untuk bekerja. Faedah bahasa perlahan turun derajat. Bahasa tak lagi serumit pemikiran para filosof, pengarang, sejarawan, atau filolog. Bahasa dianggap bermakna asal bisa digunakan mendapatkan pekerjaan.

Menteri Agama Fachrul Razi menginginkan penambahan pelajaran bahasa asing di madrasah. Bahasa-bahasa asing diajarkan sebagai tambahan pelajaran, tak masuk di pelajaran pokok setiap hari. Penambahan dimaksudkan "meningkatkan daya saing siswa-siswi madrasah usai lulus dalam mencari kerja" (Republika, 9 Januari 2020). Kita membaca jelas hubungan bahasa dan pekerjaan.

Selama murid belajar di madrasah, ketekunan dan kemauan belajar bahasa-bahasa asing diharapkan membekali pemenuhan impian mendapat pekerjaan. Bahasa bukan mula-mula dimengerti dalam raihan pengetahuan atau membentuk diri bijak. Ingat, bahasa diakui berfaedah jika memenuhi ketentuan-ketentuan di pengumuman lowongan pekerjaan. Murid-murid di madrasah dianjurkan belajar bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, Mandarin, dan lain-lain. Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia belum menjamin masa depan pekerjaan.

Dulu, kita mengerti murid-murid di madrasah bakal mendapat pelajaran agama dengan kadar besar ketimbang pelajaran-pelajaran umum. Pada suatu masa, murid madrasah kadang diremehkan oleh murid-murid di sekolah umum. Babak itu berlalu. Pada abad XXI, madrasah sudah berbeda menuruti pelbagai kebijakan pemerintah dan perubahan tatanan politik, ekonomi, agama, sosial, dan teknologi.

Madrasah jangan lagi diremehkan tanpa argumentasi matang. Kini, madrasah ingin memiliki makna imbuhan dengan pengajaran bahasa-bahasa asing. Murid-murid madrasah setelah lulus berhak melanjutkan ke universitas di luar negeri atau bekerja. Ilmu agama tetap diperlukan meski tak sepenting penguasaan bahasa asing bila membaca pengumuman lowongan pekerjaan atau bursa kerja.

Kita sering capek memikirkan hal-hal mutakhir. Kita memilih mundur jauh untuk mengurusi bahasa berkaitan dengan pendidikan berpatokan agama. Kita memilih Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat sebagai tokoh berlatar masa kolonial. Ia menjadi santri di pesantren dan murid di sekolah-sekolah berkurikulum umum (Eropa) bentukan Belanda. Kita mengingat kebermaknaan belajar agama, bahasa, identitas, dan pekerjaan melalui buku berjudul Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936 dan 1996). Sekian bahasa dipelajari dalam membentuk biografi, sejak kecil sampai jadi pejabat.

Pada saat bocah, Achmad memiliki keinginan menjadi guru agama ketimbang pamongpraja. Ia lahir dan tumbuh di keluarga terhormat. Bapak adalah pejabat pribumi (bupati) di naungan pemerintah kolonial. Ia bertekad mendapat restu meninggalkan rumah menuju pesantren demi menambah pengetahuan agama Islam. Di situ, ia belajar agama dan bahasa Arab. Trauma dialami Achmad.

Semula, ia bakal bahagia dalam belajar bahasa Arab untuk mendalami agama. Pada episode pedih, ia mengalami peristiwa buruk. Ia kadang salah mengucapkan kata-kata Arab saat belajar. Kesalahan sulit dimaklumi oleh pengajar. Achmad malah mendapat omongan: "Tak akan masuk pelajaran ini ke dalam benakmu karena perutmu disumbat dengan nasi yang dibeli dengan uang haram."

Achmad memang anak ambtenaar. Pengajar itu menuduh kesulitan belajar bahasa Arab akibat Achmad makan nasi berasal dari gaji bapak. Gaji pemberian pemerintah kolonial. Dulu, orang-orang biasa menganggap pemerintah atau pihak Belanda itu kafir. Achmad tetap tekun belajar bahasa Arab. Bahasa untuk iman, bukan untuk mencari pekerjaan.

Pada masa berbeda, Achmad mulai belajar model pendidikan Barat. Ia ingin belajar bahasa Belanda, bahasa milik penjajah tapi penentu bagi hidup di zaman kemajuan. Achmad saat itu belajar di sekolah swasta di Pandeglang, selama empat bulan. Paman menjadi pihak paling bersemangat dalam studi Achmad. Paman memiliki ramalan pasti: "... bila bangsa Jawa bercita-cita hendak mencapai hasil besar dalam berbagai bidang, terlebih dahulu hendaknya ia berusaha menguasai ilmu pengetahuan, peradaban dan pemikiran bangsa Barat yang canggih. Maka paman menganggap bahasa Belanda adalah ibarat kunci untuk membuka pintu gudang ilmu, peradaban, dan pemikiran bangsa itu."  

Pada masa dewasa, Achmad mengerti bahasa Belanda penting dalam pekerjaan dan nasib keluarga. Pekerjaan di lingkungan birokrasi kolonial mementingkan penguasaan bahasa Belanda, selain menguasai bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Arab. Pada masa lalu, bahasa memang berkaitan pekerjaan. Achmad tak mutlak memiliki niat tunggal: belajar bahasa Belanda untuk bekerja. Ia belajar beragam hal dengan bahasa Belanda. Ia pun tak melupakan kebermaknaan membentuk identitas melalui bahasa Sunda, Jawa, Melayu, dan Arab. Persaingan dan sengketa bahasa sudah terjadi dengan struktur kolonial dan kesenjangan mutu pendidikan di tanah jajahan.

Kita membandingkan dengan tokoh berbeda mengenai pelajaran beragam bahasa. Pada masa 1920-an, Zoetmulder belum berpikiran bakal menekuni studi Jawa Kuno. Ia menuruti segala nasihat dan petunjuk. Ia turuti anjuran Pater Willekens untuk mempelajari bahasa Jawa Kuno. Zoetmulder pun diminta belajar bahasa Sanskerta dan Arab. P Swantoro (2006) mengandaikan beban berat dimiliki Zoetmulder. Ia harus belajar sekian bahasa dan menempuh studi imamat di Kolese Ignatius (Jogajakarta). Studi filsafat dan teologi dimeriahkan dengan "keharusan" menguasai sekian bahasa.

Pada masa berbeda, sekian bahasa itu bemakna dalam lakon hidup Zoetmulder. Bahasa bukan untuk pekerjaan. Sekian bahasa berfaedah dalam studi dan dakwah. Ia berhasil menguasai sekian bahasa, menghasilkan buku-buku penting: Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek Literatuur, Kalangwan, Old Javanesse-English Dictionary, dan lain-lain. Kita menduga episode belajar sekian bahasa memiliki pendasaran religius dan pengetahuan, tak melulu atau tiba-tiba berpusat ke pekerjaan. Diri dan bahasa dalam biografi Achmad dan Zoetmulder memiliki perbedaan tapi mengingatkan kita masalah bahasa dan lakon sejarah Indonesia, dari masa ke masa. Dua tokoh itu tak wajib dijadikan panutan untuk kebijakan mutakhir bahwa pelajaran dan penguasaan bahasa asing penting dalam mencari pekerjaan. Pemahaman itu mungki saja tak cuma berlaku di Indonesia.

Kita membaca buku berjudul Matinya Pendidikan (2019) garapan Neil Postman. Buku terbit dalam edisi bahasa Inggris pada 1995 itu menebar kritik atas model pendidikan di Amerika Serikat. Neil Postman menganjurkan agar berlangsung pengajaran beragam bahasa asing, tak mutlak segala ilmu diajarkan dengan bahasa Inggris. Keragaman perlu untuk mengajak murid-murid mengerti sekolah menjadi ruang belajar sejarah, kemanusiaan, perbedaan, dan religiositas. Bahasa Inggris jangan mendominasi.

Bahasa itu memang paling moncer di dunia dan tampak "dikultuskan". Pilihan belajar bahasa-bahasa asing dianjurkan jika ingin sekolah memiliki peran dalam pembentukan biografi para murid pintar, bijak, egaliter, humanis, dan beriman. Neil Postman tak membuat bab khusus bahwa belajar bahasa Inggris dan bahasa-bahasa asing memusat di pencarian pekerjaan.

Di Indonesia, bahasa Inggris terlalu dipuja. Bahasa Inggris "sudah tak lagi" bahasa asing. Bahasa penting di sekolah dan pekerjaan. Lakon bahasa Inggris turut ditentukan oleh pemerintah dan kaum pemilik modal. Kaum intelektual dan artis pun memberi pengaruh. Kita mendingan mengutip penjelasan Neil Postman untuk menghindari anggapan bahasa dan pekerjaan: "Bahasa Inggris adalah bahasa yang multikultural di atas bumi ini, dan siapa pun yang berbicara dengan bahasa Inggris maka dia telah berhutang budi pada seluruh orang di dunia ini." Kutipan mustahil dipaksa digunakan dalam pembenaran bahwa belajar bahasa-bahasa asing membuat orang mendapat pekerjaan. Begitu.

img
Bandung Mawardi
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan