close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Diskusi 01 Rural Urban 4.0 di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta Timur, Sabtu (27/4). /instagram.com/jakartscouncil
icon caption
Diskusi 01 Rural Urban 4.0 di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta Timur, Sabtu (27/4). /instagram.com/jakartscouncil
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 27 April 2019 22:51

Label kota dan desa di mata penulis novel

"Jakarta adalah kota yang paling mungkin dibayangkan seorang penulis untuk lekas jadi pusat perhatian," kata Mahfud.
swipe

Barangkali dalam pandangan kebanyakan penulis novel saat menulis karyanya, kota lebih seksi daripada desa. Pandangan tersebut disampaikan penulis novel Dawuk (2013) Mahfud Ikhwan dalam diskusi “01 Rural Urban 4.0” di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Sabtu (27/4).

"Jakarta adalah kota yang paling mungkin dibayangkan seorang penulis untuk lekas jadi pusat perhatian," kata Mahfud.

Lebih lanjut, pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 dan anugrah Sastra Khatulistiwa 2017 ini mengatakan, hal itu sebagai wujud ketimpangan antara kota dan desa. Di Jakarta, kata Mahfud, penulis lebih mudah mendapatkan label "penulis nasional", meski cap itu tak jelas artinya.

Menurut Mahfud, jalan kepenulisannya pun tak mulus. Novel pertamanya, Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) merupakan bukti bahwa dedikasi dan kerja keras saja tak cukup menjadi penulis sukses. Mahfud percaya, pengalaman buruknya dengan proses penerbitan buku itu tak lepas dari faktor-faktor di luar teks.

“Karena saya tinggal di Yogyakarta dan tak bergaul dengan orang-orang berpengaruh di industri buku nasional,” ujarnya.

Mahfud mengatakan, editornya memaksa kisah Ulid sebagai pengalaman dirinya sendiri.

"Mengikuti Laskar Pelangi yang luar biasa populer, karya yang saya kerjakan selama enam tahun itu dipasarkan sebagai novel motivasional,” ucapnya.

Hasilnya, kata dia, Ulid tak sampai ke pembaca sasaran penerbit, karena ia memang bukan novel motivasi. “Dan tentu tak pernah sampai ke pembaca sasaran saya," tuturnya.

Selain Mahfud, dalam diskusi bagian pertama dari tujuh "Diskusi Prafestival" Jakarta International Literary Festival (JILF) sepanjang April 2019 hingga Juli 2019 ini juga hadir jurnalis dan novelis asal Papua, Aprila Wayar.

Sementara dalam pandangan Aprila, hanya ada tiga hal yang jadi perhatian media nasional tentang Papua, yakni baku tembak, bencana alam, dan Freeport.

“Karena itu kami harus bergerak sendiri, bicara mewakili diri kami sendiri," kata Aprila, yang mengawali karier jurnalistiknya di Tabloid JUBI. Acara puncak JILF sendiri akan digelar pada 20 hingga 24 Agustus 2019.
 

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan