Pemerintah menyatakan Khilafatul Muslimin sebagai organisasi terlarang setelah pemimpinnya Abdul Qadir Hasan Baraja ditangkap personel Polda Metro Jaya di Lampung, pertengahan Juni lalu. Dalam penangkapan yang disertai penggeledahan tersebut, polisi menemukan belasan ribu dokumen keanggotaan organisasi yang mengusung gagasan khilafah tersebut.
Eksistensi Khilafatul Muslimin terkuak ke publik saat kelompok tersebut menggelar aksi konvoi pengendara motor, akhir Mei lalu. Selain di DKI Jakarta, anggota kelompok tersebut terekam menggelar konvoi serupa di Cirebon, Jawa Barat; Brebes, Jawa Tengah; dan sejumlah daerah lainnya.
Konvoi itu viral dan bikin heboh lantaran para peserta konvoi mengaspal sembari menyerukan "kebangkitan khilafah". Salah satu peserta konvoi, misalnya, kedapatan membawa poster bertuliskan, "Sambut kebangkitan khilafah Islamiyah. Jadilah pelopor penegak khilafah ala minhajin nubuwwah."
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen (Pol) Ahmad Nurwahid mengatakan BNPT telah memonitor aktivitas Khilafatul Muslimin sejak lama. Meskipun pentolannya pernah terkait aksi terorisme, BNPT belum mengategorikan organisasi tersebut sebagai kelompok teroris.
"Khilafatul Muslimin masih tergolong organisasi massa yang intoleran dan radikal walaupun pendirinya sangat dekat dengan tokoh dan kelompok-kelompok teroris. Ada pula beberapa eks anggota Khilafatul Muslimin yang bergabung dengan kelompok radikal terorisme seperti ISIS," ujar Nurwahid kepada Alinea.id, Selasa (21/6).
Khilafatul Muslimin didirikan Abdul Qadir Baraja pada 1997 di Lampung. Pada 2014, sejumlah lembaga menyebut organisasi tersebut telah menyatakan dukungan terhadap Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sebelum mendirikan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir sempat terlibat dalam kasus pengeboman Candi Borobudur pada 1985.
Menurut Nurwahid, Khilafatul Muslimin baru berani terang-terangan mempromosikan gagasan khilafah ke publik pada era Reformasi. Tak hanya lewat pertemuan-pertemuan tatap muka, promosi juga digelar via media digital. Sebelumnya, kelompok tersebut cenderung bergerak di bawah tanah.
"Kelompok ini bukan tiba-tiba muncul dan menjadi persoalan. Sejak awal, tentu saja pergerakan dari kelompok ini sudah termonitor. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat mendorong kelompok-kelompok seperti ini membuka diri dan muncul di depan publik," kata Nurwahid.