close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi cabai./Foto englishlikeanative/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi cabai./Foto englishlikeanative/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 16 Januari 2024 20:00

Mengapa orang Eropa tak biasa dengan makanan pedas?

Di Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Afrika olahan kuliner pedas, dengan cabai sebagai bahan utama, sudah biasa dinikmati.
swipe

Hari ini, 16 Januari diperingati sebagai hari makan pedas sedunia. Perayaan ini merupakan sebuah cara dalam menghargai dan menikmati aneka ragam dan budaya kuliner pedas dari daerah-daerah di seluruh dunia. Cabai, yang mengandung senyawa kapsaisin, merupakan bahan utama membuat kuliner pedas.

Di Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Afrika olahan kuliner pedas, dengan cabai sebagai bahan utama, sudah biasa dinikmati. Namun, orang-orang Eropa cenderung tak biasa makan pedas.

Melansir Happy Spicy Hour, makanan pedas memang tak lazim di Eropa. Penyebabnya, kondisi geografis yang membuat iklim di Eropa tak cocok untuk menanam cabai, lada hitam, dan jintan yang menjadi bahan utama makanan pedas. Kondisi iklim di sebagian besar wilayah Eropa hanya ideal untuk menanam tanaman tertentu, seperti kentang, gandum, dan lobak.

Sebelum abad ke-15, hanya sedikit orang Eropa yang keluar dari benua tersebut karena kurangnya transportasi. Lalu, pada awal abad ke-15, baru ada kapal berperalatan lengkap yang mampu berlayar jarak jauh.

Lantas, ketika orang Eropa pertama kali mencapai Amerika Selatan dan Tengah, Asia, hingga Afrika, mereka menemukan berbagai macam rempah-rempah baru, termasuk cabai, kunyit, dan kayu manis. Mereka membawa sekarung rempah-rempah kering ke Eropa, tetapi karena bahan-bahan tersebut “tak lumrah”, mereka tak tahu cara memasaknya.

“Selain itu, dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk berlayar kembali ke Eropa dan kemungkinan besar saat para penjelajah mencapai pantai Eropa, tanaman rempah-rempah itu sudah mati,” tulis Happy Spicy Hour.

Karenanya, rempah-rempah yang sebagian besar memiliki cita rasa pedas, bukanlah bagian integral dari budaya Eropa. Penyebab kedua, orang Eropa membeli makanan segar setiap hari dan mengasinkan atau mengasapi sisa makanan, sebelum lemari es ditemukan. Mereka menyimpan makanan yang mudah rusak di luar ruangan selama musim dingin.

Penyebab lainnya, orang Eropa menciptakan makanan pedas dengan cara berbeda. Dikutip dari Happy Spicy Hour, alih-alih menggunakan cabai jalapeno atau saus pedas, orang Eropa secara tradisional menggunakan ramuan lain untuk membuat makanan pedas versi mereka sendiri. Contoh bahan tradisional yang digunakan orang Eropa untuk membuat “hidangan pedas” adalah moster (mustard) Inggris.

Dengan iklim yang lebih panas dan suhu hangat, orang-orang di Amerika Selatan atau Asia percaya mengonsumsi makanan pedas tak membuat mereka gampang sakit. Dipercaya, orang Amerika Selatan dan Asia membumbui makanan mereka dengan cabai karena sifat antimikroba dan antivirusnya.

“Praktik ini akhirnya menjadi hal yang lumrah dan menjadi bagian dari kari tradisional, hidangan cabai, dan saus yang kita kenal dan sukai saat ini,” tulis Happy Spicy Hour.

Seorang penulis keturunan India, Maanvi Singh menulis di NPR bahwa baik orang India maupun Eropa percaya kalau energi tertentu yang beredar di dalam tubuh memengaruhi kesehatan dan suasana hati secara umum. Maka, dengan mengonsumsi makanan yang tepat, orang percaya mereka dapat menyeimbangkan energi tubuh.

“Jadi, misalnya kalau Anda lesu, Anda bisa ‘disegarkan’ dengan mengonsumsi bumbu pedas,” kata sejarawan makanan di Texas University, Rachel Laudan kepada Singh.

Meski begitu, kata Laudan, ada pergeseran pengolahan saus antara di Asia dan Eropa. “Saus India—dan banyak saus di dunia—pada dasarnya dihaluskan dengan rasa dan rempah-rempah. Di Eropa, mereka beralih ke saus yang berbahan dasar kaldu daging,” ujar Laudan.

Akan tetapi, dikutip dari NBC News, sesungguhnya peradaban pra-sejarah di Eropa utara menikmati makanan dengan rasa pedas, menggunakan bumbu sejenis bawang putih mostar untuk membumbui masakan. Hal itu terjadi ribuan tahun sebelum puncak perdagangan rempah-rempah dunia.

Menurut NBC News, fakta itu ditemukan tim peneliti yang mempelajari endapan hitam di dalam panci masak kuno, dan menemukan jejak rempah-rempah pada pecahan tembikar. Situs arkeologi itu ditemukan di Denmark dan Jerman.

“Berasal dari periode Neolitikum—sekitar 6.200 hingga 5.900 tahun yang lalu,” ujar arkeolog di pusat penelitian BioArCH di University of York, Hayley Saul kepada Live Science, dikutip dari NBC News.

Temuan itu ditulis dalam hasil riset bertajuk Phytoliths in Pottery Reveal the Use of Spice in European Prehistoric Cuisine”, terbit di jurnal Plos One (Agustus, 2013). Para peneliti menganalisis residu di dalam panci masak kuno dan menemukan sisa-sisa mikroskopis yang mirip dengan tanaman modern, yang menghasilkan biji sawi bawang putih, yang punya rasa pedas dan kuat.

James S. Thornton dari Men’s Health Magazine dalam tulisannya “Why do people living in hot climates like their food spicy?” di jurnal Temperature (Januari-Maret, 2016) mengatakan, ada alasannya mengapa orang-orang yang tinggal di daerah beriklim panas dan hangat cenderung lebih menyukai makanan pedas, sedangkan orang-orang di daerah beriklim lebih dingin cenderung menyukai makanan yang lebih hambar.

Thornton mengatakan, salah satu hipotesis awal yang mendasari hal ini lantaran rempah-rempah pedas menyamarkan bau dan rasa makanan basi, sehingga membuatnya lebih enak. Alasan lainnya, pedas dari kapsaisin memicu keluarnya keringat dalam proses pendinginan evaporatif turbocharging, dan membuat hidup lebih nyaman bagi mereka yang tinggal di iklim panas.

Menurut Happy Spicy Hour, orang Eropa tak menyukai makanan pedas karena mereka tak terbiasa memakannya. Sebab, tak makan makanan pedas secara teratur, menyebabkan toleransi tubuh terhadap rempah-rempah, termasuk cabai, menjadi rendah.

“Begitu kita terbiasa mengonsumsi makanan pedas, toleransi kita terhadap bumbu meningkat. Tentu saja, kita harus membangun toleransi ini secara bertahap agar pencernaan kita tak terkena dampak buruk,” tulis Happy Spicy Hour.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan